CHAPTER 5

974 186 9
                                    

"Kamu tidak perlu cemas untuk dibenci lebih dari ini karena kebencianku padamu sudah berada di puncak tertinggi."

15 Bulan - Maria

Ketika pintu ruangan dengan temaram lilin aroma terapi itu terbuka. Kegugupan pun langsung menyerangnya. Perlahan-lahan mulai merambati perasaannya seperti sulur-sulur yang mulai tumbuh menjalar tanpa terkendali.

Jantungnya pun semakin berdebar dengan ritme cepat ketika suara langkah kaki terdengar semakin mendekat. Dan, kini organ pemompa darah itu bertalu-talu bagai terkena godam raksasa ketika sosok itu sudah berdiri tak jauh dari jangkauannya.

Irene langsung berdiri tegak dengan wajah tertunduk. Menggigit bibir bawahnya untuk meredakan gigi bergemetuk akibat badannya yang menggigil.

Irene sangat takut pun juga cemas. Semua perasaan itu membuatnya seperti tikus kecil di hadapan seekor ular besar. Nyalinya mengkeret hingga seukuran biji bayam. Dan, Irene yakin hidupnya akan berubah sepenuhnya setelah malam ini.

Irene tetap berdiri tertunduk seperti patung yang tidak bisa bergerak. Bayangan apa yang akan dilakukan sosok itu padanya membuat keberaniannya menghilang. Saking takutnya, Irene bahkan tidak mampu lagi melihat sosok itu dan hanya melihat ujung sepatu pria tersebut.

"Bukalah bajumu!" Suara bariton bernada memerintah membuatnya tersadar dari lembah ketakutannya.

Selama sekian detik, Irene merasa tubuhnya disorientasi ketika menyadari sosok itu sudah duduk di tepi ranjang. Menunggunya.

"Mendekatlah!" seru sosok itu tidak sabar ketika Irene tidak mematuhi perintahnya.

Ketika Irene masih saja membeku dan tetap tidak berbuat apa-apa. Pun tidak mematuhi perintahnya. Sosok itu berdiri dan menarik tubuh Irene mendekati ranjang besar lalu mendorong dan segera menindihnya.

"Aku membencimu."

Kalimat pendek yang diucapkan Irene dengan sisa-sisa keberanian yang entah muncul darimana membuat sosok itu berhenti menyerangnya. Namun, jeda itu hanya terjadi sekian detik sebelum bibirnya kembali dipaksa menyapa bibir pria itu.

"A-aku membencimu."

Irene kembali mengucapkan kalimat tersebut. Berharap sosok itu akan berhenti seperti sebelumnya.

Dan, benar saja, dugaannya tepat.

Pria itu langsung berhenti, seperti sebuah film yang tiba-tiba berhenti di tengah jalan, lalu sosok itu pun mendongak mencari manik Irene dalam kegelapan.

Ketika mata bertemu, beradu, memasuki sebuah titik yang ditimbulkan dari segala perasaan yang tengah berkecamuk. Dua kubu yang jelas-jelas berbeda. Irene melihat jelas jika pria itu tengah menyeringai.

"Kebetulan, aku juga sangat membencimu," gumam pria itu dengan suara lirih yang entah kenapa terdengar begitu sendu. Seolah-olah pria itu memang tidak berniat menyembunyikannya. Seolah-olah dia ingin Irene juga mengetahui kesedihannya. "Oleh karena itu kamu tidak perlu cemas jika aku akan membencimu lebih dari ini suatu saat nanti karena kebencianku sudah berada di puncak tertinggi."

Irene terbangun dari tidurnya dengan napas terengah-engah. Dia mengerjap-ngerjapkan mata berkali-kali seraya mengatur napasnya untuk kembali tenang.

Mimpi itu terasa begitu nyata. Bahkan, ketakutan dan kecemasan dari bunga tidur tersebut masih bersemat dengan sempurna sebelum fokusnya teralihkan oleh sesuatu.

Irene merasa tenggorokannya kini kering kerontang seperti musim kemarau panjang tiada hujan.

Ketika Irene berniat beranjak dari tidurnya dan mengambil minum, mata Irene langsung terbelalak terkejut ketika menyadari dia tidak sendirian di kamar inapnya. Ada seorang pria di sana. Tengah terlelap di kursi dengan kepala bersandar pada ranjang.

Irene tidak tahu jika malam ini pria itu akan menginap di rumah sakit. Tidak seperti biasanya, pulang larut setelah mendapati dirinya telah tertidur atau mungkin berpura-pura tertidur.

Sebastian pasti mencemaskannya hingga memutuskan menghabiskan malamnya di rumah sakit. Itulah alasan yang paling memungkinkan jika menilik bagaimana sifat dan tingkah laku Sebastian beberapa hari ini. Jika tidak pria itu tidak akan repot-repot menjaganya seperti ini.

Irene pun berpikir Sebastian mungkin tidak akan tega meninggalkannya sendiri setelah dia menangis histeris ketika mengetahui tubuhnya kini tengah berbadan dua. Terdapat kehidupan lain bersemanyam dalam rahimnya.

Irene mengernyitkan alis ketika menyadari sesuatu. Sesuatu yang membuatnya tak lagi menatap Sebastian dengan tatapan prihatin dan penuh perhatian karena terharu dengan semua pengorbanan pria tersebut.

Jika Sebastian memang berniat bermalam di rumah sakit, kenapa Sebastian tidak tidur di ranjang tamu kamar inapnya?

Mungkinkah Sebastian ikut tertidur setelah dia membaringkan tubuhnya ke dalam ranjang?

Irene pun menghela napas panjang dan menghentikan pikirannya yang kemana-mana. Sekarang yang terpenting dia harus membangunkan pria itu dan menyuruhnya tidur di ranjang untuk mengistirahatkan tubuh suaminya dengan posisi nyaman.

Ketika Irene hendak membangunkan Sebastian dan meminta pria itu tidur di ranjang tamu di kamar inapnya. Sedetik kemudian Irene mengurungkan niatnya. Dan, dia malah membeku di tempat.

Netranya memperhatian suaminya yang tengah terlelap dalam posisi duduk. Posisi yang menurutnya sama sekali tidak nyaman. Namun, entah kenapa pria itu terlihat sangat lelap dalam tidurnya. Wajah tidurnya terlihat begitu damai. Matanya yang kini terbungkus kelopak mata dengan bulu-bulu panjang membuatnya terlihat lebih muda dari biasanya. Seperti Sebastian yang ditemuinya pada reuni sekolah mereka satu minggu lalu.

Oh, tidak.

Irene mengoreksi pikirannya. Reuni akbar sekolahnya digelar dua tahun lalu.

"Seb-Sebastian, bangun." Irene mengguncang-guncangkan bahu Sebastian yang terantuk di tepi ranjang. "Sebastian..."

"Irene?" tanya Sebastian dengan mata terkedip sebelum akhirnya menutup mulut dengan tangannya ketika menguap. "Ada apa?"

"Kau tidak seharusnya tidur seperti ini, tubuhmu nanti sakit," gerutu Irene dengan suara lirih karena tidak ingin membuat kegaduhan di tengah malam.

Sebastian hanya tersenyum lemah melihat respons istrinya yang tiba-tiba membangunkannya karena dia tidur dalam posisi duduk.

"Bagaimana keadaanmu?" tanya Sebastian mengalihkan pembicaraan.

Irene menyatukan alisnya. "Seharusnya aku yang bertanya padamu setelah kau tidur dalam posisi seperti itu."

"Aku tidak apa-apa, Irene. Aku sudah terbiasa tidur seperti ini ketika aku menunggumu terbangun dari koma."

"Koma?" tanya Irene tidak mengerti. "Bukankah kecelakaan ini hanya membuat kepalaku terbentur dan melupakan 15 bulan kehidupanku?"

"Sebelum kecelakaan ini terjadi, lima bulan lalu kamu mengalami kecelakaan yang jauh lebih parah dari ini. Membuatmu koma hampir dua minggu dan mengalami amnesia parah hingga tidak mengenal identitasmu sendiri."

"Ja-jadi, sebelumnya...." Irene tergagap karena terkejut mendengarkan fakta mencengangkan. "Aku sudah mengalami hilang ingatan?"

Sebastian mengangguk pelan, "Dan selama lima bulan ini kamu hidup sebagai Maria, dirimu yang hanya memiliki ingatan ketika kamu masih remaja."

***

Jangan lupa vote dan komentar jika kamu suka cerita ini.

15 bulan - 28 Mei 2017
690 dalam romance
2.38k viewer
555 vote

⚠️ 15 Bulan [On Hold]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang