Gemeresik dedaunan membuat Johan terbangun dari tidurnya. Mengawasi kamarnya yang gelap gulita. Matanya fokus pada satu titik di kaca jendela. Berada di antara dua perasaan; takut dan penasaran, membuat indranya semakin menajam.
Sudah seminggu hal seperti ini selalu terjadi. Tepat seminggu, Johan yakin sekali. Pun selalu pada waktu yang sama. Tengah malam. Tidak bergeser semenit pun hingga pemuda itu hapal hal yang sama akan terjadi lagi di keesokan malam.
Kali ini dia bangkit dari ranjangnya. Menanggalkan selimut tebal hangat yang akan menjaganya dari dinginnya udara. Rasa penasaran sudah membumbung sampai ubun-ubun hingga dia tak mampu lagi memenangkan si ketakutan. Benar-benar sudah tidak bisa tinggal diam jika benar ada bahaya yang mengancam di balik jendela. Pencuri kah? Atau malah lebih buruk?
Johan mengambil palu besi yang ayahnya tinggalkan setelah membetulkan pintu kamar mandinya tadi siang. Mengendap sampai ke samping jendela agar tak ketahuan. Entah oleh siapa. Tangannya sudah terangkat, siap menghantamkan palu di genggamannya pada siapa saja yang akan muncul di balik jendela.
Namun, gerakannya terhenti. Embusan napas terdengar kuat dan embunnya menyisakan jejak dingin di kaca jendela. Diikuti suara geraman rendah yang berat, membuat bulu kuduk Johan berjingkat. Lehernya meremang membayangkan hal apa yang bisa menimbulkan bunyi seseram itu.
"Dia sudah kutemukan ...."
Bisikan itu begitu jelas seakan diperdengarkan tepat di telinganya. Ini salah, batin Johan. Langkahnya untuk melawan rasa takut adalah kesalahan besar. Kini, kakinya melinu. Seakan semua tulang kakinya menghilang perlahan-lahan berubah menjadi jelly tanpa tenaga. Dia jatuh di dekat pinggiran meja, masih berusaha keras menahan hasrat untuk tidak teriak.
"Kau yakin? Dia lelaki! Dia bukan Jessie!"
"Kau meragukanku? Kali ini, pria atau wanita, tak akan aku meninggalkannya lagi!"
Johan semakin menciut. Suara geraman itu bukan hanya satu, tapi dua, dengan nada tinggi yang begitu serak dan berat pada makhluk kedua yang bicara. Karena Johan yakin, apapun yang ada di luar kaca jendelanya, mereka bukan manusia. Tidak ada satu manusia pun yang bisa menghasilkan suara serak yang dalam seperti itu. Seperti monster, ah tidak, seperti werewolf?
Johan menggeleng cepat. Ini dunia nyata, bisa-bisanya dia berpikir hal yang hanya ada dalam film seperti itu bisa jadi kenyataan. Namun, apa yang bisa bicara dengan cara seperti itu? Johan yakin sekali kalau dia tidak sedang bermimpi. Ini begitu nyata dan begitu menakutkan.
"Mengapa kau tidak bisa menerima kepergiannya? Sudah satu abad dan kau masih bersikap bodoh dengan mencarinya?!"
"Aku yakin dia akan kembali padaku. Dengan wujud apapun. Aku yakin."
"Bodoh! Sangat bodoh! Cinta hanya akan membunuhmu dan membuat kita gagal bertahan! Kau sudah mengacaukan segalanya sejak awal! Jangan bodoh dengan mengulanginya lagi!"
Geraman yang keras membuat kaca jendela kamar bergetar cukup kencang. Johan menutup mulutnya, menahan napasnya, bahkan berharap degup jantungnya berhenti sejenak agar mereka tak tahu bahwa dia tengah bangun, mencuri dengar apapun yang sedang mereka bicarakan.
"Kau akan membangunkan dia!" Geraman kedua terdengar lebih rendah, tetapi begitu sarat akan emosi. Secara tidak langsung mengirim rasa linu aneh yang menyebar ke seluruh bagian tulang Johan. Membuatnya berjengit dan tak sengaja menatap ke kaca jendela.
Tersentak, Johan merasa kaku. Tubuhnya seakan tidak lagi berfungsi dan menurut pada apa yang dia perintahkan. Ada dua mata besar menyala dengan terang tepat di depan kaca jendelanya. Biru. Bersinar. Membuatnya mampu melihat sekeliling wajah makhluk itu. Berbulu coklat gelap dengan taring sepanjang jari telunjuk keluar dari mulutnya. Menatap penuh intimidasi pada -mungkin- makhluk yang sama sepertinya yang menjadi teman bicaranya sedari tadi.
Ini benar-benar tidak mungkin! Johan merasa tenaganya sudah hilang tersedot habis entah kemana. Di sisa kesempatannya untuk kabur, makhluk itu malah balik menatapnya. Masih dengan mata yang sama. Biru benderang yang menyilaukan siapapun, namun dengan sorot yang lebih sayu. Itu sungguh menjadi hal terakhir yang Johan ingat sebelum dia kehilangan kesadarannya. Selain satu bisikan lagi. Lebih lembut. Lebih dalam dan rendah.
"Mon amour¹ ...."
***
¹Cintaku
Hai semua~ mohon maaf tiba-tiba mengganggu tengah malam kalian :") long time no see, huh?
Maaf beribu maaf Hwa ucapkan atas discontinued-nya cerita ini selama 2-3 tahun lamanya 😭 ini benar-benar di luar ekspektasi.
Singkat cerita setelah drama mau dijadikan buku dan sudah mau open PO, laptopku rusak dan filenya ada di sana tanpa ada salinannya di manapun. Membuat aku akhirnya pasrah nggak bisa ngapa-ngapain. Dan setelah 2 tahun berlalu, akhirnya ada yang mau bantu aku untuk dapetin file ini lagi :") alhamdulillah, puji syukur :")
Dan akhirnya di sinilah Les Yeux Bleus akan aku repost lagi dari awal mengingat ada beberapa perubahan dari versi yang awal dengan versi yang sudah aku jadikan pdf ini.
So, enjoy ❤ I hope you guys still wanna read this. Once again, I wanna say that I'm deeply sorry.
With love, Hwa ❤
01Jun17
Edit 15Mar20
KAMU SEDANG MEMBACA
Les Yeux Bleus
FantasyJohan tahu bahwa ketika mata itu menatapnya, ada yang janggal di sana. Ada rasa kelam yang mendalam dan hasrat yang begitu berat. Nalurinya bisa salah, tapi hatinya selalu benar. Dia ingin menyanggah, tapi jejak napas yang tertinggal di kaca jendela...