Une Légende

1.1K 150 46
                                    

Sebuah Legenda

—————————————————

(Disarankan mendengarkan instrumen Yiruma - River Flows In You)

“Apa yang dia mau?” adalah pertanyaan Marc yang mungkin sudah ke seribu kali. Aku melirik si gondrong itu lelah. Aku tidak mengerti kenapa kejadian kemarin bisa menjadi sebegitu pentingnya bagi Marc.

“Dia tidak mau apapun! Jangan buat aku mengulanginya lagi!” jelasku emosi, meninggalkan Marc yang masih keras kepala. Dia terus mengekoriku sepanjang lorong sekolah di waktu istirahat. Tidak sedetikpun membiarkanku mendinginkan kepala dari pikiran-pikiran yang semakin acak.

“Johan, kumohon ....”

Aku akhirnya menoleh, memberi kesempatan pada keingintahuan Marc yang sangat memaksa. Lelaki itu menghela napas, memandangku lekat-lekat.

“Dengar, kalau kau sakit, kau bisa langsung menghubungiku. Aku bisa membawamu ke dokter, atau menemanimu, setidaknya. Pergi tanpa sepengetahuanku, kau pikir aku baik-baik saja?” Kilat emosi begitu kentara di lensa coklat gelap Marc. Bercampur bersama asa yang kosong.

“Aku sudah bilang padamu aku baik-baik saja. Hanya demam, Marc. Aku juga sudah minta maaf, bukan? Bisakah kau bersikap biasa?” Mataku beradu pandang dengan miliknya. Memohon untuk sesuatu yang seharusnya tidak perlu diperdebatkan.

“Tapi kenapa harus Déren? Kau membiarkanku cemas! Kalau aku tidak bertemu suster UKS ketika pergantian kelas, aku tidak akan pernah tahu kau sakit!”

Ini memang bukan pertama kalinya Marc kelewat peduli, dan aku sudah melewati yang sebelum-sebelumnya dengan baik. Tapi kali ini, Marc benar-benar melampaui batas. Aku tidak mengerti dengan sikapnya.

Kenapa harus Déren?” tiruku, jengkel. “Dia yang memaksaku ke UKS, kalau menurutmu rincian ceritanya begitu penting. Aku hanya demam dan dia menyeretku ke hadapan suster sekolah, menjebak dirinya sendiri sampai dia harus mengantarku pulang! Aku minta maaf sekali lagi karena membuatmu cemas hingga bolos dan menerobos hujan kemarin. Aku sangat-sangat menyesal. Kau puas sekarang?”

Aku merasa dadaku penuh sesak karena kesal. Napasku terengah karena emosi yang entah datang dari mana. Secara aneh menyusup begitu saja ketika nama Déren seolah direndahkan di telingaku.

“Kau kelihatannya begitu membencinya?” cecarku, balik menyudutkan Marc yang masih menyipitkan mata. Lelaki itu lalu mendengus. Setengah tertawa setengah kesal. Menyunggingkan seringai menyebalkan yang biasa dia berikan pada seseorang yang dia benci. Tapi hey, ini aku! Bukankah aku sahabatnya? Jantungku berdebar tidak suka karena itu.

“Benci katamu?” desis Marc kejam. Namun sepersekian detik menengahi, Marc melemaskan bahunya. Nada suaranya melembut dan tatapannya kembali seperti Marc yang aku kenal sejak kami jadi tetangga.

“Andai aku bisa bercerita ....”

Marc tersenyum kecil, tangannya mengambang di udara. Nyaris bersentuhan dengan pipiku, tapi beralih ke bahu. Menepukku sekali dan pergi. Rasanya aku ingin jatuh saat ini juga. Kakiku begitu lemas. Ekor mataku masih melirik kepergian Marc yang berbelok di ujung koridor. Menyisakan rasa sesal dan puas yang beriringan.

Lelaki itu ... Marc, acap kali membuatku bingung dengan tingkah-tingkahnya. Sejak aku secara resmi diterima di Horison High School, satu-satunya SMA yang paling layak di Murren, Marc semakin berubah menjadi pengawal bagiku. Awalnya memang menyenangkan punya seseorang yang baik padamu ketika semua melihatmu sebelah mata, tetapi lama-lama hal ini mengganggu juga. Apalagi jika kau seseorang sepertiku. Punya ketertarikan khusus itu memang terkadang merepotkan.

Les Yeux BleusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang