Ulang Tahun
————————————————Menyingkirkan buku terakhir yang harus aku bereskan dari mejaku sebelum turun ke ruang makan, bergabung sarapan bersama orang tuaku, aku mendesah. Tugas rumah akhir-akhir ini banyak menggangguku. Lebih mengganggu dari apapun yang paling sering berputar di otakku. Sedikit banyak mengesampingkan soal makhluk bermata biru dan Déren yang semakin sering muncul di hadapanku akhir-akhir ini— dan, ya, itu hal yang bagus tentu saja.
Di luar mendung. Salju turun bersamaan dengan kabut. Dingin mengigit ini lebih parah dari hari-hari sebelumnya, padahal masih awal Desember. Kilas balik seminggu ini menari-nari di kepalaku. Sungguh aku tidak mengerti mengapa Déren jadi semakin mudah menemukanku— atau ditemukan. Menatapku secara terang-terangan, tapi masih dengan mulut dibungkam. Ditambah lagi kini aku tidak hanya dapat satu tatapan, tapi dua, karena di manapun Déren berada, di situ pula Joseph berdiri setia di sampingnya.
Aku merinding tiap kali ingat pada sorot mata Joseph. Lelaki itu benar-benar mistis. Kulit pucat dan kantung mata tebalnya seakan perpaduan yang cocok untuk menakutiku. Ada yang berbeda antara tatapan Déren dan Joseph. Si Joseph ini punya ujung mata lancip yang sangat tajam. Aku seolah buronan ketika mata Joseph menusuk ke dalam retinaku.
Dua orang itu memang berbeda dari semua orang di Murren. Bahkan sekuat apapun mereka mencoba berbaur, —jika saja mereka berusaha— mereka akan tetap berbeda dan asing. Tidak ada orang yang punya kulit seputih mereka di kota kecil ini. Seperti darah tidak mengalir di kulit mereka, melainkan semuanya bermuara ke bibir. Mata dua orang itu sama-sama besar. Diameternya aku yakin melebihi manusia pada umumnya. Juga warnanya yang terlalu mencolok untuk orang yang tinggal bersama hutan seperti semua penduduk Murren. Seringkali aku berpikir bahwa mereka adalah model yang tidak bisa lepas dari lensa kontak, tapi kemudian aku menampar pikiranku sendiri. Tidak mungkin ada model yang mau tinggal di daerah pelosok begini.
Tapi sungguh, kenyataannya baik Déren maupun Joseph akan selalu menarik bagaimanapun mereka. Hanya dengan berjalan saja, mereka berdua bisa membuat para gadis menjerit tertahan, atau yang lebih parah, menggoda mereka seperti anjing mengikuti tuannya. Berdiri diam tanpa suara pun mereka tampak bak pria dalam cover majalah fashion ternama. Ini sangat membingungkan bagiku yang sama sekali tidak punya apapun untuk menarik perhatian orang, karena Déren selalu seolah menjatuhkan pandangannya padaku alih-alih aku adalah orang paling kaya dan menarik sedunia. Semakin aku mendapat perlakuan aneh itu, semakin pula aku berpikir benar-benar telah melakukan hal yang salah pada mereka.
Kejadian tiga hari lalu soal sosok di waktu makan malam bersama keluarga Schmid hampir terlupakan kalau Gerald tidak meneleponku semalam. Memberitahuku bahwa dia baru saja menemukan buku lain soal Loupgre di perpustakaan kota. Menambah beban pikiran yang aku rasa bisa meledak kapan saja. Seakan satu persatu dari mereka ingin mengeroyokiku bersamaan.
Aku menghela napas, menutup buku Biologi-ku dan memasukannya ke dalam tas. Aku berpikir dan mulai meyakini sedikit demi sedikit jika makhluk aneh yang aku lihat pada malam itu dan juga sosok pada saat makan malam keluarga Schmid adalah Loupgre. Kecemasan mulai menyusupi sendi-sendiku. Mungkinkah Loupgre itu nyata? Rasa penasaran itu bagai ketakutan yang menyenangkan. Tak bisa kupungkiri bahwa hal itu membuatku merinding, tapi di saat yang bersamaan mengirimkan sinyal pada bibirku untuk tersenyum.
Mum sudah membawa sepiring kentang panggang saat aku tiba di meja makan. Mengusak rambut pirangku yang tanpa kusadari kini telah melewati bahu dan mulai membagikan telur juga sosis goreng ke tiga piring yang telah dia siapkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Les Yeux Bleus
FantasyJohan tahu bahwa ketika mata itu menatapnya, ada yang janggal di sana. Ada rasa kelam yang mendalam dan hasrat yang begitu berat. Nalurinya bisa salah, tapi hatinya selalu benar. Dia ingin menyanggah, tapi jejak napas yang tertinggal di kaca jendela...