Un Pâle Visage et Le Joyau Noir

451 27 12
                                    

Wajah Pucat dan Permata Hitam
——————————————————


Ini terlalu cepat bagiku. Waktu berlari, menyeretku dengan kilat hingga aku ada di dalam situasi yang tak mampu aku jabarkan. Terhuyung-huyung dalam mengartikan, memaksa diri harus selalu sadar bahwa aku ada dalam dunia yang nyata. Seratus persen sepenuhnya nyata.

Déren menjadi lebih sering lagi terlihat. Dia memang selalu terlihat, tetapi kali ini dia muncul di mana-mana seperti hantu penasaran. Menampakan diri kapan pun dan di mana pun aku berada. Menggentayangiku dengan seringai menawan dan sorot iris biru terang.

Rupanya tawaran untuk menjemputku tempo hari adalah sebuah awalan. Kini, tawaran itu sudah berubah jadi antar-jemput setiap hari dan hal itu entah bagaimana memancing amarah dari Marc yang —mungkin saja— tidak terima sahabat dekatnya menempel pada orang lain.

Semakin hari bergulir, aku semakin tidak mengerti dengan perasaanku sendiri. Ini sama saja seperti aku menjebak diriku untuk terus terpesona dengan Déren. Melawan prinsip hidupku untuk tidak bermain-main dengan anak konglomerat. Itu sama berbahayanya dengan mengunci diri di kandang singa lapar yang di mana aku telah jatuh hati pada sang makhluk buas. Mengabaikan rasa ragu dan canggung yang kian menggunung, pula menepis peringatan Joseph padaku tempo hari lalu. Seolah itu hanya bumbu penambah ketegangan tanpa arti.

"Aku tidak tahu kau punya teman dekat selain Marc dan kawan-kawannya."

Dad menegurku, di hari keempat aku dijemput oleh Déren. Dia menengok sekilas melalui jendela ruang tamu sambil memakai sepatu bot kulit, bersiap menuju peternakan.

Aku mengernyit "Kurasa itu bukan hal buruk. Berteman dengan banyak orang?" Aku memandang Dad. Dia tinggi dan sangat kebapakan. Lalu dia menepuk bahuku dan tersenyum singkat.

"Aku tidak mempermasalahkan soal berteman, tentu saja. Tapi anak itu agak asing dan ...." Ucapannya menggantung. Mata hijau gelap Dad menelisik Déren dari balik kaca. Aku pun ikut mengintip lelaki itu yang sedang melihat-lihat sekitar. Bersandar pada pintu Porsche merah mengilapnya santai, seolah udara menggigit kulit Murren tidak mengusiknya seujung kuku pun.

"Dan apa?" Aku menyela, cukup tak sabar dengan kalimat lengkap Dad. Aku sempat melihat Dad mengernyit juga, persis seperti yang aku lakukan sedari tadi.

"Dan aku agak tidak setuju jika kau berkencan dengannya. Tidak ada yang lain?"

Seperti bom meledak di dalam kepala, aku hampir saja limbung tak keruan. Apa Dad baru saja menjelaskan tentang berkencan dengan Déren? Dan ... apa dia juga mengutarakan kalau dia ... tak setuju? Aku rasa aku belum terbangun dari tidur dan sedang bermimpi buruk.

"Dad!"

"Apa?"

Aku mengusap wajahku yang pasti memerah, campuran antara malu dan kesal. Menatap Dad yang menatapku balik. Sama-sama dengan seksama.

"Kita tidak akan bicara soal kencan, ingat?"

"Yeah, tapi kau sudah cukup dewasa untuk punya, 'kan?"

Ugh! Aku tak suka ini. Ini bukan sesuatu yang bisa jadi topik pembahasan di pagi hari! Demi Tuhan!

"Aku tidak akan membahasnya lagi, Dad. Kurasa kau dan Mum harusnya sudah cukup puas dengan kejujuranku." Aku memberi jeda. Menjilat bibirku yang tiba-tiba saja terasa sangat kering. Oh, aku benci menjadi gugup. "Dan dia bukan teman kencanku. Maksudku adalah, jelas aku tidak berkencan dengannya. Tidak dengan yang lain juga! Dad tidak usah khawatir, oke? Kita selesai. Aku berangkat sekarang. Bye!" Aku menggeleng tak percaya, meninggalkan Dad yang masih memberiku tatapannya yang menyelidik.

Les Yeux BleusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang