Mimpi-Mimpi Tentangnya
———————————————
Aku terbangun. Bermandikan keringat dingin dengan jantung yang berpacu kuat. Mendesah, aku mengusap dahiku yang benar-benar basah. Mataku menerawang sekitar dan berharap ada sesuatu yang bisa menjelaskan kejanggalan ini.Mimpi itu datang lagi. Mimpi yang sama yang terus berulang akhir-akhir ini tiap kali aku tertidur. Menggangguku dengan amat sangat. Memaksaku untuk memahami arti dari tiap kejadian dalam mimpi itu. Mimpi yang mirip sekali seperti bayangan yang aku lihat saat pertama kali menatap iris mata Déren.
Menyibakkan selimut perlahan, aku beranjak dari ranjangku menuju jendela yang gordennya terbuka. Bulan bersinar cukup terang, membuat jajaran pohon pinus di luar sana terlihat lebih bersahabat untuk dipandang dan dikagumi di tengah malam begini. Sedikit membantuku menenangkan pikiran yang masih berlari-lari mencari penjelasan yang cukup masuk akal untuk kuyakini.
Tidak ada. Ya, masih belum ada.
Kelelahan akan pencarianku, aku menyerah untuk memandang sedikit pada cincin yang masih melingkar manis di jariku. Sinar rembulan memantul cantik pada permatanya, memberikan gambaran pemandangan indah malam hari. Senyum kecil terulas perlahan pada bibirku. Meski kebingungan masih mendera, tetapi benda bulat itu mampu membuatku terenyuh kembali. Aku mungkin memang belum menemukan motif dari pemberian cincin ini, namun kebahagiaan kecil yang abstrak dan tak terdeteksi asalnya tersebut tidak mampu aku hindari.
Kurasakan garis bibirku semakin lebar kala aku mengkhayalkan sosok pria berjas hitam dalam mimpiku berwujud sebagai Déren yang asli. Aku yakin lelaki itu akan sangat sempurna jika saja dia akan datang ke pesta kelulusan dengan setelan persis seperti yang aku lihat di tiap tidurku. Namun, seperti tertampar, aku tersadar bahwa kenyataannya Déren tidak pernah mau datang pada pesta apapun yang diadakan pada malam hari. Karena seperti pada umumnya, pesta kelulusan atau pesta sekolah lainnya yang mengandung unsur kegaduhan dan kesenangan bagi para siswa-siswinya, selalu diselenggarakan saat matahari telah jauh terbenam.
Bukan aku asal menerka, tapi hal itu memang sungguhan. Kemisteriusan menjelma gosip ini selalu saja sangat panas diperbincangkan seolah menjadi yang pertama kalinya tiap kali sekolah mengadakan pesta pada malam hari. Pesta penyambutan murid untuk ajaran baru September lalu yang diadakan tepat setelah mentari terbenam seharusnya menjadi moment pertama seluruh penghuni Horison High School melihat wujud Déren sebagai siswa pindahan. Namun, realitanya lelaki tinggi pucat itu tidak hadir. Jangan lupakan Joseph yang selalu mengekorinya. Dia juga nihil.
Bosan dengan segala keruwetan yang melintasi kepalaku, aku berhenti membuat diriku sendiri semakin ngaco. Masih ada tiga jam lagi menuju waktu di mana aku biasa bangun tidur dan aku memilih untuk menyerah pada sisa masa yang lumayan itu untuk membereskan kantukku. Tepat sebelum aku jatuh ke ranjang, mata biru sendu tertangkap sekilas oleh retinaku di antara rimbunnya pepohonan. Aku terkesiap, rasa takut yang biasanya mendominasi, kali ini dengan mengagetkan terkalahkan oleh rasa rindu yang menelusup diam-diam. Terperanjat oleh apa yang aku pahami secara tidak sadar, aku menggeleng keras. Bisa-bisanya ada perasaan semacam ini! Harusnya aku ketakutan!
Ini sangat amat gila! Mengapa melihat sorot mata yang bisa saja adalah milik sesosok monster mengerikan membuat aku rindu? Aku tidak mungkin sudah sakit jiwa, 'kan? Ini tidak bisa dibiarkan! Déren benar-benar paham membuat manusia lemah hati semacam diriku merasakan perasaan aneh menggelitik yang membahagiakan. Padahal baru imajinasi tentangnya! Ya, aku pasti sakit jiwa!
***
“Kau tahu? Kalau saja aku tidak kenal kau, mungkin aku sudah mengira Murren kedatangan sesosok zombie.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Les Yeux Bleus
FantasíaJohan tahu bahwa ketika mata itu menatapnya, ada yang janggal di sana. Ada rasa kelam yang mendalam dan hasrat yang begitu berat. Nalurinya bisa salah, tapi hatinya selalu benar. Dia ingin menyanggah, tapi jejak napas yang tertinggal di kaca jendela...