Bab 13 - The Reason

10.6K 1.3K 72
                                    

Bab 13 - His Past

Waterloo, 1815

Di daerah Waterloo, tepatnya di tanah lapang yang dikelilingi medan berbukit yang terbagi menjadi 3 wilayah perkebunan anggur: Hougoumont di bagian barat, La Haye Sainte di bagian selatan dan Papelotte  di bagian timur.

Terjadi pertempuran antara Napoleon yang memimpin pasukan Perancis, ingin menghapuskan sistem monarki pada kerajaan-kerajaan Eropa, melawan pasukan sekutu Inggris yang dipimpin oleh Duke of Wellington dan Field Marshall Blucher.

Pertempuran hebat, yang berakhir sehari, menewaskan banyak manusia dari kedua belah pihak.

Aaric jatuh rebah di atas tanah, menunggu kematian, mayat-mayat dengan beraneka seragam yang berbeda bergelimpangan di sekitarnya. Aroma pekat darah, mesiu, dan kematian mengisi paru-paru pria berusia dua puluh tiga tahun itu.

Ingatan Aaric terisi akan perpisahan terakhir dengan adik perempuannya yang masih berusia sepuluh tahun dan kedua orang tuanya.

Matahari turun, menyebabkan langit menjadi gelap. Beberapa sekutunya berteriak memanggil apakah masih ada tentara yang hidup di antara mayat yang memenuhi lapangan tempat mereka bertempur.

Aaric terlalu lemah menjawab, luka tembak yang menembus perutnya menyebabkan pria itu mulai kehabisan darah.

Saat pandangannya mulai kabur, tiba-tiba berdiri di hadapannya, seorang pria yang mengenakan sebuah kerudung hitam, berjongkok, menginjak mayat tentara musuh yang telah dibunuh Aaric sebelumnya, pria itu membuka tudung yang menutupi wajahnya. Terlihat rupa yang luar biasa tampan memerhatikan Aaric dengan penuh minat, pria itu mendekatkan wajah dan berbisik lembut . "Aku menyukaimu ..."

Tidak berapa lama, dari kesadaran Aaric yang mulai menghilang, dia dapat merasakan pria itu menengadahkan wajahnya dan sesuatu mengalir ke dalam mulutnya. Rasa manis yang nikmat melalui tenggorokan dan memenuhi tubuh Aaric.

Perlahan, rasa sakit dan perih pada perut pria itu mereda, kesadarannya berangsur-angsur kembali, kedua mata pria itu berubah semerah darah, dua taring kecil mencuat, kuku-kukunya memanjang, dan rasa lapar yang amat sangat menguasai Aaric.

Radford, tuannya, membiarkan dia meminum darah dari mayat-mayat yang bergelimpangan sepuas hatinya.

Kesetiaan Aaric hanya ditujukan untuk pria itu, bersyukur telah diberikan kehidupan baru.

Tidak berniat menemui keluarganya dengan tubuh baru, Aaric setia selalu berada dekat dengan tuannya, menuruti semua perintah dan keinginan Radford.

Hingga hari itu.

Radford dan beberapa budaknya sedang ingin berpesta. Memilih sebuah rumah di pedesaan yang berisi keluarga, ayah, ibu, dan dua orang anak laki-laki.

Aaric yang tidak pernah menyukai kemeriahan, berdiri, menyendiri di luar rumah, memerhatikan ladang gandum yang terhampar di hadapannya.

Tidak menghiraukan suara jeritan bercampur dengan tawa yang menyeruak ke dalam indra pendengaran.

Setengah jam berlalu, tuannya beserta dua orang budak lain, keluar rumah dengan senyum puas. Kedua mata merah Radford berkilau menatap Aaric. "Sayang sekali kau tidak ikut ... pria itu melawan dengan sengit."

Terkekeh salah satu budak, memamerkan taring yang basah oleh noda merah. "Darah anak kecil paling nikmat dibanding manusia dewasa."

Aaric tidak berkata apa-apa, dia hanya menatap tuannya, menunggu perintah, sama seperti biasa.

Berjalan melalui Aaric, tuannya berbisik, "Bakar rumah dan mayat yang berada di dalamnya."

Mengikuti perintah majikannya, Aaric melangkah masuk ke dalam tempat itu, empat mayat tergeletak di ruang tamu. Luka cabik di sekujur tubuh, terlihat jelas pada tubuh pria yang merupakan kepala keluarga. Pandangan Aaric berhenti kepada benda berkilau yang dikenakan pria itu.

Merasa mengenali kalung tersebut, Aaric berjongkok lalu meraih benda yang masih melingkar pada leher jenazah. Napas pria itu tercekat saat membaca tulisan pada liontin yang berada dalam genggamannya. Dia ingat, dulu, dia pernah memberikan sebuah kalung dengan liontin berukir emas untuk adik kecilnya.

Tubuhnya gemetar, saat dia berdiri memerhatikan jutaan bintang di langit, tuan beserta kedua temannya, membantai keturunan adik kecilnya.

Berteriak dan menangis, dia memutuskan untuk meninggalkan Radford selamanya.

*****

Aaric membuka mata, tidak ingin mengingat kenangan yang menyakitkan. Kereta telah berhenti pada tempat yang dia kehendaki.

Bangkit dari duduk, pria itu melangkah keluar, menuju kawasan kumuh kota London, melewati bangunan-bangunan tua, menuju dermaga kecil yang dipenuhi rumah-rumah kotor, beberapa remaja duduk di pinggir jalan, merokok atau pun berbincang-bincang.

Beberapa pasang mata mengawasi Aaric yang memiliki penampilan rapi. Saling sikut, dua di antaranya berdiri lalu mulai membuntuti pria itu.

Aaric tersenyum samar, berjalan semakin jauh, menyusuri sungai Thames yang berada di sisi selatan pemukiman, pria itu tiba-tiba berbelok pada ujung gang yang sepi.

Kedua anak muda yang mengekor menyeringai, buruan mereka masuk ke jalan buntu, hanya ada saluran pembuangan limbah yang berada di tempat itu.

Berlari kecil dengan meraih pisau lipat dari saku mereka, tanpa disadari itu adalah hari terakhir mereka dapat menatap cahaya bulan.

*****

Pembaca yang baik hati, tolong tekan tanda bintang.^^

22 Juni 2017

Benitobonita

Aaric's Bride : Pengantin sang Vampir : Fantasi RomansaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang