Malam tanpa bintang. Bulan pun tak seindah malam-malam kemarin. Angin masuk lewat celah jendela yang tak tertutup rapat. Suara detik jam dinding seolah menjadi backsound di keheningan itu.
Nimas Bening Asyifa atau akrabnya dipanggil Bening. Gadis ceria yang bisa berubah galau tingkat dewa kalau sedang di hadapankan oleh suatu masalah. Seperti halnya malam ini. Ia ingat mengenai penuturan ayahnya yang akan dipindah tugaskan ke luar kota dalam jangka waktu yang tidak sebentar. Bening tidur dengan posisi miring seraya memeluk Teddy Bear coklat pemberian Bevan. Ia meluapkan kekesalan dengan menyendiri. Tangannya berusaha mencabuti bulu boneka itu. Tak peduli usahanya sia-sia.
Tokkk... Tokkk... Tokkk...
"Boleh Abang masuk?" itu suara milik Bevan -kakak kandung Bening- usianya 20 tahun. Terpaut empat tahun dengan Bening.
"Masuk aja, Bang. Nggak dikunci kok." suara Bening terdengar lewat Teddy Bearnya. Wajahnya kini tenggelam dalam busa empuk.
Terdengar bunyi derit. Tak lama setelah itu, sosok laki-laki jangkung berambut pirang karena efek pewarna rambut. Bevan berdiri di depan pintu. Langkahnya mendekat ke kasur bersprei motif bunga-bunga.
Bening masih dengan keadaan yang sama. Telungkup tanpa mau menoleh kearah Bevan.
"Masih mikirin tentang itu?" tanya Bevan duduk di samping Bening sambil mengelus lembut kepala adik kandung semata wayangnya.
Bening menggangguk.
"Mami sama papi nggak maksa kamu kalau kamu emang nggak mau pindah. Abang tahu, berat buat kamu untuk pindah ke tempat baru yang kamu sendiri nggak kenal sama tempat itu. Disini kamu udah nyaman sama tetangga-tetangga kita, lingkungannya, belum lagi sama sekolahmu. Abang ngerti itu semua."
Bening beranjak dari duduk. Rambutnya terlihat acak-acakkan.
"Kalau aku tetap tinggal disini... tinggal sama siapa? Mami, papi, abang, semua kan ke Semarang."
"Kita kan punya saudara. Tante Mira pasti mau jagain kamu. Bi Asih juga ada, Pak Tejo juga."
Bening menggeleng. "Nggak mau. Rasanya bakal beda tinggal sama keluarga kandung dan orang lain sekalipun itu juga saudara."
"Hmm... adek gue ini ribet banget. Kamu tuh udah gede, Bening. Bentar lagi mau tujuh belas tahun. Diubah dong pola pikirnya. Jangan egois. Papi pindah kerjakan juga untuk menghidupi kita. Lagian tempat yang kita tuju itu Semarang! Semarang, my sist. Tempatnya nggak terlalu padat kayak Jakarta."
Bening manyun. Dia tahu kalau dirinya merasa banyak maunya. Tapi bukan salah dia juga. Hal itu wajar menurutnya. Sebagai anak dia ingin didengar suaranya.
"Maksud aku bukan begitu, Bang. Aku tahu kalau papi kerja ya pasti buat menghidupi keluarganya. Masalahku itu aku nggak bisa ninggalin sekolahku. Aku udah nyaman sama sekolahku. Ratna, Ayu, Sesil, Brian, pokoknya banyak deh. Aku pasti kangen sama mereka. Dan juga, aku harus ninggalin taekwondo." pandangan Bening tertunduk. Menghela nafas.
"Ya Allah Dek, kalau cuma itu gampang. Sekarang kan zamannya udah canggih. Kalian bisa video call, chatting, atau kirim pesan dalam hitungan detik juga bisa. And kalau masalah taekwondo ada kok di Semarang. Pasti di sekolah baru kamu juga ada estrakurikulernya. Sekarang Abang tanya, emang teman cuma ada di SMA kamu? Nggak kan? Emang ekstrakurikuler taekwondo cuma di sekolahmu? Nggak juga kan."
"Tetap beda, Bang. Kalau di sekolah, aku udah nyaman. Aku udah kenal sama teman-temanku. Kalau aku pindah sekolah itu artinya adaptasi lagi."
"Terus waktu kamu masuk untuk pertama kali ke sekolah itu nggak adaptasi namanya?"
![](https://img.wattpad.com/cover/111140465-288-k126346.jpg)