—2—
SAMAR-SAMAR aku mendengar teriakan dari luar kamarku. Aku bisa menyadari bahwa Sean sedang memanggilku, terdengar sedang marah. Oh, tidur malamku terganggu karena itu.
Masih terdengar Sean memangil-manggil namaku dengan nada marah. Aku merasa sangat malas untuk membuka pintu dan bertanya 'ada apa Sean?' jadi aku memilih tidur lagi saja. Toh, kejadian Sean marah padaku kemarin 'kan hanya mimpi buruk.Tiba-tiba pintu kamarku dibuka paksa dari luar. Aku terlonjak kaget. Kulihat Sean berdiri di ambang pintu dengan muka memerah. Aku jadi takut padanya. Sebenarnya, kenapa dia marah? Apa karena aku belum bangun juga dari tadi?
"Bangun, pemalas! Siapkan aku sarapan sekarang juga!" Sean kembali marah-marah.
Aku menggeliat malas. "Nanti ya, sebentar lagi. Tumben kau ingin aku yang membuat sarapan. 'Kan ada ibu," ujarku malas.
Sean kembali membentakku. "Hah?! Kau ini bicara apa? Kau gila, ya!? Sudahlah, pokoknya cepat buatkan sarapan! Aku harus kerja pagi ini!" Dia kembali marah-marah tidak jelas, lalu pergi meninggalkan kamarku.
Hah? Sean bilang aku gila? Yang benar saja! Aku masih punya akal sehat kok.
Lantas aku bergegas dari tempat tidur, menuju dapur. Saat aku hampir sampai di dapur, aku memanggil ibuku yang aku tahu biasanya ada di dapur pagi-pagi begini.
"Ibu?" Hening. Tidak ada jawaban. Aku kembali memanggilnya. "Ibu?" Masih sama. Tidak ada jawaban.
Aku sampai di dapur. Ruangan kecil yang sedikit gelap. Yang aku tahu, ibuku setiap pagi selalu ada di dapur, memasak untuk keluaraga kami. Namun kali ini kenapa ibu tidak ada di dapur?
Aku ingin mencari ibu dan bilang padanya bahwa Sean minta dibuatkan sarapan. Jadi, aku pergi ke kamarnya. Kamar kedua orangtuaku. Kuketuk pintunya beberapa kali, tetapi sunyi. Tidak ada seseorang yang menyahut dari dalam. Lalu aku masuk saja ke kamar itu.
Hal pertama yang kulihat adalah satu ranjang tempat tidur yang terletak di sudut ruangan. Kemudian aku juga melihat nakas di samping tempat tidur, lalu lemari, dan juga karpet di lantai. Aku berpikir, kenapa orangtuaku tidak ada di kamar?
Aku iseng berjalan ke sisi tempat tidur, lalu duduk di atasnya. Kuedarkan pandanganku ke seluruh penjuru ruangan, hingga pandanganku sampai pada sebuah potret seorang wanita yang terletak di atas nakas, dibingkai rapih. Aku mengambilnya. Kuamati wajah wanita itu. Wajah ibuku. Dia sungguh cantik.
Saat kubalik bingkai fotonya, aku mendapati sebuah tulisan tangan.
Jennifer Boylan, my wife. Rest in Peace in 16 June 2000.
Aku terbelalak, menyadari sesuatu. 16 June 2000, persis seperti tanggal lahirku.
Lalu, aku sadar. Aku sadar bahwa ini nyata. Sekarang ini aku duduk di kamar ayahku sendiri yang kemarin sudah memilih pergi meninggalkan aku dan Sean. Kejadian kemarin di mana keluargaku masih utuh, masih baik-baik saja, itu semua hanyalah mimpi.
Saat itu aku ingin mempercayai mimpi. Aku ingin mimpi itu nyata. Maka mulai saat itu, aku selalu ingin tidur untuk bermimpi yang mana di situ semuanya akan baik-baik saja. Sejauh aku bermimpi, mimpiku tidak pernah membuatku ketakutan ataupun mengerikan. Mimpiku selalu indah selama bersama ibuku dan keluargaku. Aku merasa bahagia di dalamnya.
---
KAMU SEDANG MEMBACA
2# A Girl with her Dreams
Short StoryKau percaya pada mimpi? Aku tidak pernah percaya pada mimpi hampir di sepanjang hidupku. Tapi sejak usiaku menginjak lima belas tahun, aku ingin percaya. Aku ingin mimpi itu nyata. Aku ingin apa yang kuimpikan sepanjang malam itu menjadi kenyataan...