four

410 117 14
                                    

—4—

"MORNING," Elena." Suara menyebalkan itu lagi. Well, aku bosan mendengarnya.

Aku tersenyum tipis, tak ikhlas. Aku tahu ia tahu bahwa aku tak suka padanya. Tapi sampai detik ini juga, Spencer tak pernah bosan menyapaku setiap pagi.

"Hei, ngomong-ngomong, apa hobimu?" Tiba-tiba saja ia bertanya seperti itu yang bahkan aku tak tahu apa tujuannya.

"Ehm, tidur."

Spencer tertawa. Aku meliriknya dan mengembuskan napas sebal. Di sela tawanya, dia berkata, "Untuk apa kau suka tidur?"

"Karena aku ingin bermimpi," jawabku dingin, tanpa adanya nada bercanda sedikit pun.

Spencer tertawa lagi. Huh, aku sungguh muak mendengarnya. Ia lalu berkata, "Kenapa kau ingin bermimpi?"

Aku kembali menjawab tanpa basa-basi, "Karena dalam mimpi, hidupku selalu lebih indah dari pada kenyataan. Dan satu hal yang harus kautahu. Aku ingin mimpi itu nyata."

Spencer terdiam. Sepertinya ia sedang mencerna setiap kata-kataku. Tak lama kemudian ia merespon, "Memangnya, kau ada masalah? Ayolah cerita padaku. Kali saja aku bisa membantumu." Aneh. Spencer jadi berubah baik seperti ini?

"Hm, kau tak perlu tahu. Ini masalah pribadiku," jawabku tegas.

Spencer adalah orang pertama yang kuberitahu tentang hobiku dan kesukaanku soal bermimpi itu. Tapi hanya sekilas saja, karena aku tak mau dia tahu lebih banyak tentangku.

---

SUATU hari aku bermimpi. Ehm, entahlah aku tak begitu peduli apakah ini mimpi atau kenyataan. Yang terpenting bagiku adalah aku bisa bahagia dan tak merasakan sakit.

Di musim gugur ini, keluargaku dan aku pergi berkemah di sebuah pegunungan. Aku sangat senang sekali, tentu saja. Kami lengkap. Ayah, ibu, Sean dan aku. Tentu saja tidak ada permusuhan di antara kami berempat. Kami keluarga yang damai.

Aku benar-benar bahagia. Di sini tidak ada yang membuatku cemas dan khawatir karena mereka sepenuhnya mencurahkan perhatiannya padaku.

Kami berkemah dengan lancar. Membangun tenda, membuat api unggun, dan menikmati indahnya matahari sore di dekat tebing.

Malam harinya kami duduk melingkar di dekat api unggun. Ayah menceritakan sebuah kisah seram pada kami bertiga. Aku sampai ketakutan dan meringkuk di samping Sean ketika ayah menceritakan kejadian paling seram yang pernah kudengar. Tak lama kemudian, kami tidur di tenda.

Pagi harinya, aku bersyukur karena kali ini aku masih bisa bersama mereka lebih lama. Ayah mengajak kami menikmati sunrise di dekat tebing. Di bawah kami, ada jurang yang begitu dalam. Aku bisa melihatnya, dan aku agak ketakutan. Ayah mendekapku, dia bilang tak apa-apa.

Tapi tiba-tiba kurasakan tubuhku didorong ke depan, dan tubuhku jatuh. Berguling di lereng tebing. Tubuhku sakit sekali saat terkena ranting-ranting pohon.

Aku tak menyangka. Ayahku setega itu.

Kupejamkan mataku sekejap untuk menahan sakit saat aku terjatuh nanti. Hingga akhirnya aku benar-benar terjatuh ke permukaan. Kepalaku membentur tanah. Dan itu sakit sekali. Sampai akhirnya, aku terpejam.

---

"ELENA, bangun! Kau tak apa? Ada apa, Elena?!" Samar-samar aku mendengar sebuah suara seseorang memanggilku.

Aku membuka mata, dan mendapati wajah Spencer di depanku. Aku terlonjak, membelalakkan mata. Kudorong tubuh Spencer yang begitu dekat denganku.

"Hei, ada apa, Elena?" Spencer yang tersungkur di bawahku bertanya.

Aku mengaduh, merasakan sakit yang luar biasa di kepalaku. Kupegang keningku.

Saat itu juga Spencer pergi dan kembali lagi dengan segelas air minum di tangannya. Ia menyodorkannya padaku. "Ini, minumlah dulu."

Aku berusaha duduk dengan benar. Menerima air minum yang diberikan Spencer, lalu meminumnya dengan perlahan.

Setelah itu, Spencer bertanya lagi padaku, "Kau kenapa? Bisa cerita padaku? Tadi kau berteriak sangat ketakutan," tanyanya cemas.

Aku bergumam pelan, lalu berpikir keras. Mengingat-ingat apa yang terjadi. Apa yang menimpaku di mimpiku. Benar, itu hanya mimpi, bukan kenyataan. Jadi, lupakan saja.

"Ehm, aku hanya mimpi buruk. Terima kasih, Spencer." Kuedarkan pandanganku ke sekelilingku. Aku tak sedang berada di kamarku atau pun kamar di rumahku. Dan ini tentu saja bukan di dalam jurang. Ini bukan mimpi, ini nyata. "Aku di mana?"

"Kau di rumahku, tepatnya ruang tamu," jawabnya.

"Kenapa aku di sini?"

Spencer duduk di sofa depanku. "Aku melihatmu tadi tidur di teras rumahmu. Kau terlihat pulas sekali. Aku pikir, kenapa kau tidur di situ? Jadi aku berniat untuk membantumu. Saat aku mencoba membuka pintu rumahmu, ternyata terkunci, dan aku pun tak tahu di mana kuncinya. Jadi, aku membawamu ke sini. Maksudku, bukan aku. Ibuku yang membawamu ke sini."

"Oh, terima kasih Spencer, kau baik sekali." Kusadari bibirku tersenyum. Tak biasanya aku tersenyum tulus pada Spencer seperti ini.

"Jadi, kenapa kau tidur di luar?" tanyanya.

"Aku menunggu Sean pulang. Aku menghilangkan kunci rumahku. Dan ternyata, aku tertidur. Oh, ya. Jam berapa ini?"

Spencer melirik ke arah dinding yang mana tergantung sebuah jam di permukaannya. "Jam sebelas malam."

Aku terbelalak kaget melihat jam dinding yang tadi dilirik Spencer. "Gawat! Sean pasti sudah pulang! Aku bisa dimarahi nanti! Aku harus cepat pulang, Spencer," ujarku panik setengah mati.

"Hei-hei, tenanglah, Elena. Tenang dulu. Baiklah, kau bisa pulang. Aku akan mengantarmu. Ehm, maksudku, aku dan ibuku akan mengantarmu. Tenang saja," Spencer mencoba menenangkanku.

Aku diantar pulang oleh Spencer dan ibunya. Setelah sampai di depan rumahku, aku berterima kasih pada mereka. Pintu rumah terbuka dari dalam. Dan kurasa itu adalah Sean. Benar saja, aku mendapati Sean menatapku penuh khawatir.

Tiba-tiba Sean memelukku. "Ke mana saja kau Elena? Aku mencemaskanmu." Tidak ada nada marah sedikit pun pada ucapannya.

Aku tersenyum. "Maafkan aku, Sean. Aku ketiduran di rumah Spencer. Maaf."

Spencer yang mendengarku mengaku seperti itu, ia berkata, "Tadi aku melihatnya tidur di teras rumah ini. Saat kubuka pintu rumah ini, ternyata terkunci. Aku kasihan padanya, jadi kubawa ke rumahku untuk tidur di sofa," jelas Spencer.

Sean melepas pelukan dan berkata pada Spencer, "Terima kasih banyak."

Kemudian tak lama, Spencer dan ibunya pulang ke rumah mereka. Malam ini aku sedikit senang, rupanya Sean masih mencemaskanku.

---

2# A Girl with her DreamsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang