—3—
AKU terbangun seperti biasa di kamarku. Mencuci muka, menyiapkan sarapan untuk Sean, lalu pergi ke sekolah. Setiap hari selalu seperti itu. Sangat membosankan. Hidupku berjalan begini-begini saja. Huh, aku membencinya. Aku benci hidupku.
Terkadang, aku ingin mati saja. Dan setelah itu, aku tak merasakan rasa sakit ini. Sean selalu membenciku. Setiap hari dia memperlakukanku seolah aku ini pesuruh yang bukan adiknya. Aku tahu Sean pasti sudah membenciku sejak aku lahir. Kebenciannya bertambah saat ayah kami pergi. Kini tinggal kami berdua hidup di rumah ini, tanpa orangtua.
Sean setiap hari bekerja di sebuah restoran menjadi pramusaji. Aku bersyukur, saudara laki-lakiku itu tidak membuangku ke jalanan, mengingat aku ini adalah biang masalah di dalam keluargaku. Untunglah Sean setidaknya masih mau menghidupiku dan juga biaya sekolahku.
Aku pergi ke sekolah seperti biasa. Berjalan kaki karena aku tak punya kendaraan sekali pun itu sepeda. Dan, saat aku sedang berjalan, suara lelaki membosankan itu muncul.
"Morning, Elena," ujarnya ramah. Spencer Turner, anak tetanggaku yang rumahnya hanya berjarak satu rumah dari rumahku.
"Hm, too," ujarku singkat sambil terus berjalan. Aku bisa melihat Spencer bersepeda seperti biasanya di sampingku, menyeimbangi langkah cepatku.
"Mau tumpangan?" tanyanya.
"No," tolakku singkat, seperti biasanya. Aku bahkan muak melihat wajah konyol Spencer yang tiap hari selalu menyapaku itu.
Dan seperti biasanya lagi, Spencer terus mencoba mengobrol padaku tentang hal-hal tidak penting di sekolah yang hanya aku iya-iyakan saja. Sampai akhirnya dia bosan, ia mendahuluiku dengan sepedanya untuk menuju ke sekolah.
---
MALAM hari. Aku selalu senang ketika tiba waktuku untuk tidur. Aku sudah menanti saat-saat aku bisa bahagia lagi bersama keluargaku.
Aku sedang berpiknik ke sebuah taman kota bersama dengan keluargaku. Ayah, ibu, Sean dan aku. Semuanya lengkap. Kami terlihat bahagia. Mereka masih ada di sisiku. Aku senang sekali.
Kami menghabiskan hari libur pagi kami di taman. Karpet piknik digelar di atas permukaan rumput hijau segar yang terletak di bawah pohon rindang taman kota itu. Kami menikmatinya. Semuanya terlihat baik-baik saja. Memakan sandwich isi sayuran dan sosis lezat kesukaanku, kue muffin cokelat bertabur gula bubuk yang manis, cokelat manis, cone es krim, dan juga jus mangga kesukaanku yang dibuat ibu.
Tak lama kemudian, tiba-tiba saja ibu dan ayah memutuskan untuk pulang. Mereka berkemas, dan Sean juga. Aku tidak mau pulang secepat itu. Aku mencegah mereka, namun mereka tak mau mendengarkanku. Mereka cepat-cepat mengemasi barang-barang.
Di situ aku heran. Setelah mereka selesai dengan barang-barang, mereka seperti tak mempedulikanku. Aku diabaikan begitu saja. Aku ditinggalkan oleh mereka. Keluargaku pulang meninggalkanku yang masih berdiri di bawah naungan pohon rindang ini. Di situ aku menangis melihat mereka pergi. Entah kenapa aku tak mengejarnya.
---
AKU terbangun dari tidurku. Yah, seperti biasanya. Terbangun dari mimpi indahku bersama keluargaku. Kurasakan pipiku basah. Aku menangis.
Pagi ini, aku kembali menyiapkan sarapan untuk Sean. Sean makan di meja makan. Aku yang biasanya tidak pernah sarapan, kali ini membuat sarapanku secara diam-diam. Aku juga memakannya di pojok ruangan dapur dengan sembunyi-sembunyi, agar Sean tak melihatku makan.
Aku ingat saat Sean melihatku makan di meja makan dengan junk food yang begitu enaknya. Malam itu aku beruntung, teman sekolahku mentraktirku junk food karena dia ulang tahun.
Sean merebut makananku dengan paksa sambil memarahiku kenapa aku malah menghabiskan uangnya untuk membeli junk food. Ia mengira bahwa aku membelinya, padahal sepenuhnya salah. Aku tidak membelinya. Aku bahkan hanya diberi temanku.
Sejak saat itu aku takut makan ketika Sean sedang di rumah. Saat pagi aku biasanya tak pernah sarapan. Aku hanya akan membeli makanan murah di kafetaria sekolah. Sean selalu pulang malam, jadi aku bisa makan siang di rumah tanpa sepengetahuan Sean. Malam harinya aku tak makan. Namun, kadang-kadang aku selalu membeli roti di toko untuk mengganjal perutku ini di malam hari. Itu sebabnya bisa dibilang aku ini gadis yang kurus.
---

KAMU SEDANG MEMBACA
2# A Girl with her Dreams
Short StoryKau percaya pada mimpi? Aku tidak pernah percaya pada mimpi hampir di sepanjang hidupku. Tapi sejak usiaku menginjak lima belas tahun, aku ingin percaya. Aku ingin mimpi itu nyata. Aku ingin apa yang kuimpikan sepanjang malam itu menjadi kenyataan...