Asal Muasal Kematianku (1)

236 5 0
                                    

Aku terbangun dari tidurku. Garib rasanya. Ada perasaan aneh dan tak biasa.

Kepalaku berputar seperti terbentur pualam dengan sebegitu kerasnya. Bergidik aku dan meremang bulu romaku saat aku melihat diriku sendiri ternyata masih terbaring dalam baringku. Pucat pasi, kaku, seperti baru saja meregang nyawa sehingga semua sendi dan otot seperti mengeras bak pualam. Jeritku seperti tidak berguna karena tak ada suara yang keluar dari pita suaraku ini. Aku takut. Aku merasa sendiri di dunia yang asing ini. Dunia dimana aku hanya bisa melihat diriku sendiri yang mati tak berdaya.

Aku mencari-cari Gabriel atau Lucifer yang dalam sermon sering disebut-sebut akan menemanimu ketika ajal kelak menjemput. Tak ada satu makhluk lain pun yang kutemukan. Ada keinginan aku mencari Simon, dia yang meracuniku. Dasar bedebah sialan! Tapi aku juga bodoh. Mengapa aku hirup udara tengik itu? Mengapa aku tidak keluar kamar saja agar tidak jadi seperti ini? Penyelasan memang menurut pepatah akan selalu datang di akhir. Aku tengok ke bible cabinet-ku, kutepuk keningku sendiri. Baru sadar aku sekarang. Mungkin karena aku mempersilakan Simon meminjam buku koleksi pribadiku, The Catcher in the Rye, mungkin ia terilhami teknik-teknik pembunuhan dari rekonstruksi bacaan sialan itu. Iya, seperti bagaimana pembunuh John Lennon bertindak. Uh, tapi sepertinya Simon akan terlalu keren untuk disamakan dengan pembunuh itu.

Aku merenung di sudut kamar yang semakin gelap itu. Aneh bagiku karena sepertinya waktu tidak menghasilkan efek buatku. Sekelilingku gelap, namun aku merasa seperti berpendar layaknya kunang-kunang. Apakah ini berkah sesudah matiku? Di sudut jiwaku yang terdalam mungkin aku antrikan pertanyaan ini, namun pertanyaan prioritasku adalah: Apa tidak ada orang yang mengenali ada yang aneh dengan tiadanya aku? Apakah aku sebegitu anti-sosialkah?

Aku mengingat-ingat kembali kenangan-kenanganku yang tersumirkan dalam beberapa bingkai foto yang sebagian lapuk di ujung kamar. Beberapa lagi memang aku simpan di album fotoku yang tidak terurus lagi karena seorang teman menyarankanku untuk memindahkan semua foto-ku ke sebuah album di dunia maya bernama instagram. Hampir aku tak punya pengikut kecuali memang akun-akun yang aku pun sendiri tidak mengenalnya. Pantas saja tak ada seorang pun yang berasa berbeda dengan tidak hadirnya aku, hm, selama empat jam ini.

*

(bersambung ke bagian 9)

Bagaimana Sejatinya Merayakan KehilanganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang