Dari dua puluh delapan tahun yang lalu aku selalu menganggap diriku sebagai aku. Kenapa? Aku membingungi diriku sendiri. Bukan karena namaku Aku, namun aku hanya tak mau dipanggil Aku.
Mungkin karena sebuah firasatku yang kadang-kadang subjektif dan memang belum tentu benar, aku bukanlah aku. Aku tahu itu dengan jelas. Aku seperti berkejaran dengan diriku sendiri dalam insepsi. Aku tak bisa membedakan mana yang khayal dan mana yang realita. Gamang.
Sampai di sebuah titik dalam hidupku. Selepas sembahyang asar di surau dekat rumah, aku menemui diriku yang bukan aku. Bagaimana sejatinya, jika aku ini memang bukan aku. Hanya tulang yang berbalut daging yang suatu saat mati dan digerogoti belatung dan semut tanah.
Aku bukan aku karena aku ini tak berdaya secara psikis. Namun, bisa juga aku bukan aku karena aku ini sudah jauh melangkah meninggalkanku yang dahulu. In the crossroad of my destiny. Pilihan kembali pada aku yang bukan aku itu. Pil merah atau pil biru. Nyatanya aku akan kembali semakin bukan aku dan aku tak pantas membangga-banggakan segalanya yang berhubungan dengan aku. Bukan amalku, tidurku, doaku, hidupku dan segalaku.
Aku sudah berijab qabul sekarang. Semoga bisa istiqomah di jalan yang berliku ini bukan sebagai siapa-siapa, namun sebagai aku yang bukan aku.
...
19 Mei 2017
KAMU SEDANG MEMBACA
Bagaimana Sejatinya Merayakan Kehilangan
Krótkie OpowiadaniaAdalah sebuah kumpulan cerpen sastra