Asal Muasal Kematianku (2)

182 5 1
                                    

Suara pintu kamarku didobrak oleh beberapa anggota kepolisian.

Dua belas jam sesudah aku menyadari kematianku.

Petechial Haemoraeging. Kornea mataku sudah memputih, pucat, indikasi mati yang menyedihkan karena cekikan. Leherku memerah karena bekas cekikan itu. Simon bertingkah rupanya. Ia bersandiwara di depan para detektif yang tanpa aturan itu. Iya, aku menyayangkan bagaimana detektif-detektif ini bekerja. Tanpa sarung tangan lateks, tidak ada alat-alat lain selain luminol. Ah, ya sudah pikirku. Tak akan pula Simon mendekam di jeruji besi. Tidak ada tes hereditas. Tidak ada otopsi yang aku pikir akan menyenangkan untuk kutonton karena entah kenapa keluargaku sendiri melarang tubuhku untuk diotopsi.

Jasadku sudah diangkut entah kemana. Aku masih meraung di ruangan yang semakin sendu itu. Di luar hujan dan ini sudah jam sepuluh malam. Jam dimana biasanya aku membaca buku entah apapun itu. Di jendela yang aku tatap ini juga biasanya aku menerawang indahnya kota New York yang sibuk dengan dengung-dengungan mobil patrol polisi atau ambulans.

Sekawanan Lucifer pun membawaku pergi dari ruangan kelam itu.

Menjauh dari dasar dimensi tiga menuju dimensi empat lima dan seterusnya kau hitung sendiri. Orang bilang, dalam dimensi kelima itu ada variabel gravitasi sebagai pendukung selain ruang dan waktu. Iya sih, memang aku juga merasa sama. Aku tak dapat lagi menapaki lantai di bawahku. Terus meninggi dan menjauh dari pusat bumi. Kemudian aku bertanya-tanya, apakah gravitasi tidak berlaku untuk orang yang sudah tak bernyawa.

(bersambung ke bagian 10)


Bagaimana Sejatinya Merayakan KehilanganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang