*
Sore itu, Marja terdiam dalam diamnya. Ia memang pribadi unik yang penuh tanya. Ia mempertanyakan segala hal layaknya Plato dan Socrates. Aku mendekat. Parasnya cantik dengan pembagian bagian-bagian wajah yang proporsional sesuai dengan fengshui wajah artis barat. Kulitnya putih langsat karena memang begitu keadaannya sejak lahir tanpa pernah dijamah oleh sinar mentari. Satu yang disayangkan dari segala kecantikannya itu adalah kantung mata yang semakin hari semakin menghitam. Matanya lelah menatap dirinya sendiri yang menatap kosong. Lingkungannya terbatas pada teritori rumahnya yang hanya terdiri dari sebuah ruang tamu, dua buah kamar tidur, ruang keluarga minimalis dan dapur serta kamar mandi.
"Pram, bagaimana keadaan di luar sana?" ia bertanya tanpa harap. Ini pertanyaan wajib setiap saat aku berjumpa dengan dia.
Kuceritakan tentang apa yang sedang terjadi di kota. Kota terdekat adalah empat puluh kilometer jauhnya dari rumah Marja. Ia hidup di desa kecil yang jarak antar rumahnya jarang-jarang karena secara peruntukan daerah ini lebih diperuntukkan untuk lahan pertanian. Bisa dibayangkan, rumah di tengah-tengah lahan pertanian. Ia memang tidak sendiri di rumah itu. Ada dua orang tua penggarap lahan yang memang tinggal di rumah itu namun jika pagi hingga siang rumah itu ditinggalkan.
Kuceritakan tentang pola politik di negara yang pada dasarnya tak pernah ia kenal. Marja seperti fiktif saja di muka bumi ini kecuali pada saat pendataan kartu keluarga yang biasanya dilakukan pintu demi pintu oleh petugas dinas kependudukan setempat. Ia mengikuti perkembangan perhelatan politik dalam sebuah tabung kaca yang berpendar dengan acara-acara klise yang didaur ulang untuk memuaskan pecandunya. Marja mengakui bahwa ia adalah pecandu tabung kaca itu karena memang tidak ada cara lain untuk menikmati sejengkal hidup ini selain berbuat demikian.
"Bagaimana kabar pohon di ujung jalan sana? Mengapa tidak ada obat untuk menyembuhkan penyakitku? Mengapa harus ada agama di dunia namun perang atas nama agama tetap masyhur? Siapa yang pertama kali membuat iklan di tabung kaca berpendar itu? Apa perkelindanan teori Hegel dengan masyakarat distopia? Apakah kita siap dengan pencangkokan embiro? Bagaimana sejatinya hujan bekerja? Mengapa burung-burung dapat bertengger pada kawat kabel listrik dengan sejuta sengat mengancam di bawahnya?" ia mengajukan pertanyaan tanpa memberi jeda padaku untuk menjawab. Atau bisa jadi ia sudah menulisnya dalam catatan hariannya sendiri.
Hari ini aku sengaja untuk menyetor buku-buku yang memang sudah kubaca agar ia tetap melek terhadap dunia literasi. Rumah nan kecil di tengah lahan pertanian itu bisa jadi merupakan repositori seluruh buku pembelianku selama kurun waktu puluhan tahun ini. Sudah ber-rak-rak timbunan bukuku di sana dan kamu menjaga dengan baik semuanya itu.
"Bawa bacaan apa?" ia bertanya dengan manja.
Aku menyukai dirinya yang membaca karena hanya dengan hal itu ia dapat melupakan limitasi dunia ini. Aku ingin membuat Marja sadar bahwa ia itu istimewa dan unik sebagai makhluk semesta ini. Aku ingin membuatnya tahu bahwa kamu itu besar dan luas seperti samudera dan segala isinya. Tentunya dengan mekanisme pembangkitan kesadaran yang hanya ia sendiri yang akan mengetahui pada nantinya seiring dengan berjalannya waktu. Selama ini dunia mengajarkan kepada kita terlalu banyak limitasi. Dunia mengajarkan pada kita bahwa kita ini kecil dan mikron di hadapan semesta yang serba luas. Masyarakat mendikte kaumnya harus bagaimana dan bagaimana.
Akhirnya kita habiskan sore ini dengan menyesap secangkir teh buatannya yang penuh serotonin itu. Kita bercanda tawa membahas bagaimana kisah-kisah Orwell yang legendaris itu. Dan kemudian hujan turun dengan tiba-tiba. Cukup lima menit. Ia menjelaskan tentang hujan zenith. Kemudian pandangannya beralih ke jendela di ujung ruangan sana. Tempias warna-warni spektrum pelangi tergelar seperti karpet merah para finalis pemenang nominasi penghargaan film. Pada momen itu ia bertanya,
"Aku selalu takjub, bagaimana sebenarnya pelangi memendarkan warna? Bagaimana mekanismenya sehingga tercipta tujuh bagian warna yang padu?" Ia bertanya sambil melihat tempias cahaya itu.
"Bagiku bagaimana jawabannya itu hanya dia dan imajinasinya-lah yang dapat menjawabnya," tukasku.
"Kenapa begitu?" kini wajahnya yang cantik dan putih pualam itu berpaling padaku.
"Karena yang terpenting buatku adalah, kamu seorang. Kamu yang penuh dengan imajinasi-imajinasi liarmu," aku menjawab sambil menunggu reaksi wajahmu.
Marja menyunggingkan senyumnya.
Selanjutnya, pelangi-pelangi indah berkerumun di antara kita berdua. Aku tak melihat lagi ada perabot di sekelilingku, semua berganti asap-asap merah muda seperti baru saja dibombardir misil-misil serotonin.
Aku tak sadarkan diri.
[]
KAMU SEDANG MEMBACA
Bagaimana Sejatinya Merayakan Kehilangan
Historia CortaAdalah sebuah kumpulan cerpen sastra