Seperti malam sebelumnya, Kyota pulang lebih larut karena jam belajarnya telah berbeda pada saat kami masih SMA dulu. Aku sempat menunggunya hingga tanpa sadar tertidur dengan televisi masih menyala.
Saat aku terbangun, terdengar suara berisik dari arah dapur. "Hibi-chan? Lain kali tidak usah menungguku. Tidurlah di kamar dan kunci pintu rapat-rapat. Bagaimana jika ada penyusup?"Kyota menggerutu, menuangkan air panas pada cangkir yang terisi oleh teh lemon. Wajah kakakku itu terlihat sedikit kusut, mungkin karena lelah.
Aku tak menyahut. Ini sudah malam dan aku malas berdebat.
"Onii, ayo tidur denganku. Sudah lama aku tidak mencium punggungmu.""Jangan bercanda. Kau sudah besar dan kamarku sempit. Banyak barang yang belum aku rapikan,"tolak Kyota kesal. Ia memang tidak pernah suka mendengar rengekanku. Kami memang bukan anak kecil lagi. Tapi, aku tidak peduli.
"Hei, Hibi-chan, pindah ke kamar sana!" Kyota dengan cuek melepas kemejanya di depanku, membuangnya untuk dikumpulkan bersama tumpukan pakaian kotor lain. Apa ia mau mencuci malam-malam begini?
"Tidak, aku mau tidur di sini. Menunggumu selesai mencuci baju,"sahutku keras kepala. Wajahnya sudah mengantuk tapi masih mau bekerja? Selalu seperti itu, padahal aku bisa melakukannya besok sewaktu senggang.
Kyota mengacak rambutnya kesal. Sekilas, bibir tipisnya memberengut, membuat reaksi tidak setuju. Meski terlihat uring-uringan, Kyota tidak pernah bisa menolak permintaanku lama-lama. Segera setelah mengeringkan sebagian cucian, ia mengambil dua lapis futon ke tengah ruangan.
Kami sepakat tidur bersebelahan malam ini. Di sebelah jendela besar yang berdekatan dengan atap, terlihat, puluhan bintang berkelip, terselimuti oleh kabut tipis.
"Apa tadi kau kehujanan?"
Suara besarnya bergema dari sisi pembaringan. Aku berdehem, beringsut mendekat begitu Kyota membuka bahunya untuk alas tidurku. Ia baru saja mandi dan ada sisa aroma sabun yang menempel di balik piyama putihnya."Kau tidak seempuk dulu,"ucapku bergerak untuk mencari sesuatu yang nyaman. Rasanya aku kecewa karena tidak mendapatkan apa yang aku inginkan.
"Berhenti bergerak. Itu menggangguku!"Kyota menepuk punggung tanganku saat jemariku berkeliaran ke bagian bawah perutnya.
Aku menjerit, membuka mataku kesal,"Sakit, kau melukaiku!"
Kyota memutar bola matanya,"Kau membuatku geli. Sudah kubilang, kita tidak bisa tidur seperti dulu. Aku bukan bantal dan tubuhku sudah dipenuhi otot. Jangan di samakan dengan tubuh gemuk anak umur 9 tahun." Wajah Kyota berpaling tidak suka."Kalau begitu, ayo balik badan! Aku hanya butuh punggungmu!"seruku.
"Apa? Jadi sekarang kau sedang berencana memanfaatkan tubuhku?" Nada protes bercampur ketidakpercayaan menyirat hebat dari mulut kakakku. Ia bangkit, menyingkap ujung selimut seperti akan bersiap pergi.
"Onii, apa yang sedang kau pikirkan? Ayo kembali tidur, ini sudah malam,"rengekku, menarik tangannya agar kembali berbaring.
Meski menggerutu, aku mendapatkan apa yang aku inginkan. Pria itu --Tsubaki Kyota menghempaskan tubuhnya tepat di sisiku.
Aku memeluknya, merasakan kembali aroma kecil yang mengusik alarm pubertasku.
"Onii, apa kau tidak ingin punya pacar?"Aku membalik, memberi tatapan penasaran.Mata yang semula telah tertutup, kembali terbuka,"Kenapa kau tiba-tiba menanyakan hal itu?"
"Aku menyadari satu hal kalau suatu saat, kau akan pergi. Menjalani sebuah hubungan lain yang lebih penting."Kyota tak segera menyahut, menatap kosong pada langit- langit. Sebuah helaan keluar dari mulutnya,"sebelum kau menikah, aku tidak akan pergi."
Tak lama hening. Dulu, aku tidak pernah menyangka akan tinggal bersamanya seperti ini dan bertarung hebat dengan perasaanku sendiri.
"Oh, apa itu berarti kau juga menungguku punya pacar, baru kau juga mau pacaran?"Alis Kyota langsung menaut, menyimpulkan hal lain dari ucapanku,"Kau ditembak?"
"Ha? Apa itu?"
"Apa ada seorang pria yang ingin menjadikanmu pacar?"tanya Kyota terusik. Ia kini ikut berbalik, untuk menatap ke dalam mataku.
Seharusnya, aku tidak berbohong. Tapi, bukankah aneh jika aku bilang tertarik secara seksual pada kakakku sendiri?
"Bagaimana kau tahu, Onii? Memang ada yang ingin melakukan hal itu padaku,"ucapku sekenanya.
Di luar dugaan, reaksi Kyota justru terlihat terkejut sekaligus marah,"Melakukan? Hei, pria brengsek mana yang mengatakan hal sekotor itu pada adikku?" tiba-tiba ia tersulut.
Ups. Apa aku salah bicara?
"Bukan seperti itu. Aku hanya salah memilih kalimat. Intinya ada anak dari kelas lain yang ingin menjalin hubungan. Itu saja,"ucapku buru-buru berpikir serasional mungkin.
Ya ampun. Mana ada yang seperti itu?
"Kau tidak bohong?"
Aku mengangguk gugup, mencoba mengalihkan perhatiannya dengan menarik ujung selimut hingga sebatas leher,"Aku mengantuk. Ayo tidur saja." Rupanya, sikap menghindarku, membuat Kyota semakin curiga.
"Hibi-chan, kalau kau tidak jujur, awas saja, aku akan menemukan kebenarannya sendiri."
Ucapan terakhir Kyota membuatku sedikit 'ngeri' dan mulai membayangkan bagaimana seandainya saja ia mengetahui tentang perasaanku ini.
Apa ini normal atau hal yang menyimpang? Aku tidak tahu.
Sepuluh menit kemudian, kami memutuskan untuk benar-benar tidur.
Aku masih terjaga saat sinar bulan tiba-tiba masuk, menerangi sudut remang ruang tengah itu. Aku menatapnya saat suara dengkuran halus dari mulut Kyota menggema kecil dari sisi futon yang sama.
Hatiku yang berdebar aneh, menuntun jemariku untuk memeluk punggung lebar pria itu dari belakang.
Kyota tidak bergerak. Hanya saja tidak lagi mendengar suara dengkuran. Mulutnya mungkin telah mengatup dan suaranya ikut menghilang.
Aku menginginkanmu, Onii.
___947
KAMU SEDANG MEMBACA
My Sexy Brother
Любовные романыHibino tak menyangka kalau ia bisa jatuh cinta pada kakaknya sendiri. "Hibi-chan, apa pembalutmu habis? Bagaimana dengan underwear? Kapan kau ingin menggantinya?" "Dasar, menyebalkan! Aku sudah besar dan hanya butuh uang untuk membelanjakan kebutuha...