3

3.7K 217 12
                                    

Aku bermimpi tengah bercumbu dengan seseorang. Ia punya lidah yang terasa manis, nafas beraroma mint dan wangi kulit yang segar. Tapi dalam mimpiku itu, aku tidak melihat siapapun. Aku hanya merasakan sesuatu yang tidak normal tengah berjalan--mempermainkan gairahku sendirian.

Kejadian itu bukan pertama kalinya terjadi. Meski berlangsung begitu cepat, tapi sangat membekas.

Pagi itu aku terbangun dalam keadaan kacau dengan futon kosong di sebelahku.

"Ini hari libur kan? Jangan terburu-buru bangun. Sarapan masih belum siap." Kyota berseru dari dapur, menuangkan beberapa potongan lobak untuk sup.

Daripada memikirkan sarapan, piyamaku bagian bawah tiba-tiba terasa basah. Aish! Ini sudah keterlaluan. Aku harus berbuat sesuatu dengan tubuhku.

"Hibi-chan, kau mau mandi? Tolong masukkan bajuku ke atas mesin cuci. Tadi, aku melupakannya."Kyota berteriak kecil, menghampiri ruang tengah yang kutinggalkan begitu saja dalam keadaan berantakan.

Awalnya aku tidak peduli dengan pakaian kotor itu. Aku hanya perlu mengangkatnya untuk di campur dengan pakaian kotor lain.

Namun saat pandanganku tiba-tiba saja terpaku pada boxer hitam milik Kyota, bagian tengahnya membuat refleku langsung bekerja. Aku membuatnya miring seperti berusaha keras untuk membayangkan ukuran dari isi celana.

"Argh!!! Dasar menyebalkan!" Teriakan kesal keluar saat aku mulai menyadari kemesumanku.

Kekesalanku langsung bertambah saat Kyota berlari mendekat, memperlihatkan wajah khawatirnya.

"Apa terjadi sesuatu? Kau tidak apa-apa?"tanyanya masih memegang sendok sup beserta celemek di dadanya.

"Pergi! Aku tidak apa-apa!"
Pintu didepanku tanpa sadar kubanting, menyisakan nada tak terima dari mulut Kyota. Tentu saja, sikapku aneh dan tidak jelas. Tapi percayalah. Aku sudah mulai gila sekarang.

Setengah jam kemudian, di atas meja makan, kami makan tanpa bicara. Tapi aku tidak menolak saat Kyota memilihkanku makanan seperti biasa.

"Apa kegiatanmu hari ini?" tanya Kyota menyodorkan segelas susu sapi. Ia persis seperti ibu rumah tangga yang pandai mengurus putrinya. Memperhatikan gizi hingga hal terkecil.

"Aku mau keluar. Aya- san mengundangku ke rumahnya untuk bermain video game,"sahutku mencari-cari alasan untuk menghindarinya seharian ini.

"Aneh, biasanya kau tidur,"gumam Kyota berdiri untuk menaruh piring kotor ke wastafel. Alis tebalnya menaut bingung.

Akh. Terserah.

"Mulai sekarang, aku ingin lebih banyak bergaul. Menghabiskan masa remajaku dengan teman-teman SMA." Aku mengunyah sisa lobak dalam mulutku, mendorongnya cepat dengan tegukan terakhir susu.

"Kau tidak berbohong kan? Kencan diam-diam adalah hal yang tidak termaafkan." Ia melempar celemeknya di atas bangku ruang tengah. Menatapku dengan ekspresi tidak suka.

Sebenarnya, aku ingin menonton film horor dengan Kyota hari ini. Kebersamaan kami adalah alasan kenapa aku selalu enggan keluar dan selalu menolak ajakan jalan-jalan.

Tapi, aku pikir menghindarinya adalah keputusan paling tepat untuk saat ini.

Pandanganku padanya mulai tidak sehat dan aku takut salah menafsirkan perasaanku.

"Kalau kau tidak percaya, antar saja. Jemput saat kau inginkan,"ucapku menghela nafas kesal.

Beberapa menit lalu, aku sudah menghubungi Aya agar mau menampungku di kamarnya hari ini. Ia sudah menyanggupinya dan jika aku tidak cepat-cepat, aku takut membuatnya menunggu lama.

"Sebenarnya hari ini ada pembukaan festival musim semi. Aku punya dua tiket masuk dan sebuah Yukata untukmu,"kata Kyota seakan memancingku agar mengubah rencana.

Festival? Aku tidak pernah melewatkan suasana yang baik saat bersamanya. Selalu ada saja yang mendekati Kyota begitu tahu aku hanyalah adiknya. Menyebalkan.

"Aku tidak mau. Tahun ini aku malas pergi kemana-mana. Jangan beli tiket lagi, simpan uangmu untuk hal yang lebih penting."

Kyota sesaat berhenti bicara. Menatapku dengan lebih teliti.

"Kau marah? Benarkan kau marah padaku? Berhenti melakukan hal kekanak-kanakan! Sekarang apalagi salahku? Tadi malam kita sudah tidur bersebelahan. Aku juga merelakan punggungku pegal karena tidak bisa pindah posisi. Kali ini apa yang kau inginkan!"

Ia marah. Baru kali ini ia berteriak karena aku bersikap seenaknya.

"Aku memang kekanak-kanakan! Tapi, Onii! Berikan aku sedikit ruang untuk bernafas. Hari ini aku sudah memutuskan ingin hidup sesuai keinginanku." Aku membalas tatapannya dengan nada kecil dan takut.

Bagaimanapun, ia sudah seperti orangtua juga sosok penting dalam hidupku. Terlalu kejam jika aku mengabaikannya.

Kyota terdiam, berakhir duduk di depan televisi besar. Alisnya terus menaut, enggan mengendur sedikitpun.

"Apa kau ingin menuntut kebebasanmu dalam bergaul? Menjalin hubungan lebih dari teman? Punya pacar?" Ia menoleh, memberiku isyarat agar duduk di depannya.

Tatami itu sudah usang dan hari ini aku baru sadar, selama separuh waktu yang pernah kuhabiskan dengan Kyota, aku tidak pernah membantunya menangani pekerjaan rumah.

Saat aku duduk di depannya, aku tertunduk, mulai menyadari banyaknya keegoisanku selama ini.

"Onii, bisakah aku menjalin hubungan dengan seseorang? Aku ingin punya kekasih seperti yang lain."

Entah apa benar aku menginginkannya atau tidak. Itu adalah solusi paling efektif agar hubungan kakak adik diantara kami berdua tetap bisa terjaga dengan baik.

Aku butuh pelampiasan biologis seperti Aya dan Harumi yang telah melepas perawan mereka jauh-jauh hari.

"Kau serius?" Kyota bersuara dengan nada tak percaya,"Untuk apa? Memangnya untuk apa kau punya pacar, aku bisa memberi semua perlindungan sebagai seorang pria hingga kau menikah nanti."

"Tidak, Onii. Kau memang kakakku, tapi bukan kekasihku. Aku butuh hal lain yang tidak bisa diberikan olehmu. Usiaku sudah cukup. Seperti yang lain, berikan aku kebebasan itu."

Sejenak, jeda panjang tercipta pada perdebatan kami. Benar, tidak ada yang salah dengan ucapanku. Dewasa adalah kalimat paling ampuh, apalagi sebentar lagi kartu identitas cukup umur akan segera kukantongi.

"Seks? Apa itu yang kau butuhkan?"

Mataku membola tak percaya karena Kyota bahkan sama sekali tidak canggung saat mengatakan hal itu di depanku.

Kalau aku menjawabnya dengan malu-malu mungkin dia akan terus menganggapku belum cukup umur untuk seranjang dengan seorang pria.

"Ya, aku sudah memikirkannya sejak lama. Itu wajar di masyarakat kita." Aku mencoba untuk berkilah, menghindari pandangan mata Kyota.

Tak segera menyahut, kakakku itu malah membuang wajahnya dariku.

"Jika itu tujuan utamamu, aku hanya berpesan satu hal. Lakukanlah dengan pria yang benar-benar kau inginkan. Karena yang pertama tidak terlupakan, bukan?"

Kenapa hatiku malah sakit sekarang? Kenyataan Kyota melepasku dengan begitu mudah, melukai perasaanku.

Onii. Pria yang kuinginkan itu kau. Apa aku harus memilih menjadi seorang perawan seumur hidup?

Aku ingin mengatakannya, tapi ujung lidahku seakan tertekuk, menatap kepergian pria tinggi itu menjauh dari pandanganku.

__1056

My Sexy BrotherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang