Malam itu, kami menyelesaikan makan malam tanpa pembicaraan. Sekotak pasta cabai dan ikan laut asap, tidak berhasil memperbaiki suasana hati kami yang memburuk. Padahal itu adalah makanan terbaik dalam minggu ini.
Berulang kali, Kyota kedapatan menggigit sumpitnya. Ia pasti bingung karena beberapa hari ini aku membantu beberapa pekerjaan rumah hingga menguras isi akuarium tanpa diminta.
Padahal aku termasuk pemalas, aku sering membiarkan Kyota merapikan tempat tidurku. Tapi, rupanya perubahan itu diartikan berbeda.
"Kau marah dengan pertanyaanku kemarin?"
Ia bersuara, mengalahkan bunyi mesin penghangat tua di tengah ruangan."Tidak, aku sedang belajar mengurus diriku sendiri,"sahutku menatap sisa ikan di atas piring lauk. Sejak tadi, ia belum makan dengan benar. Hanya mengunyah potongan tomat dari sisa-sisa pasta cabai.
"Baiklah, sekarang habiskan makanmu."Kyota mengambil potongan ikan terakhir, meletakkannya di atas mangkuk nasiku.
Jika dulu aku akan senang mendapatkan jatah makannya, sekarang aku tiba-tiba muak karena terus diperlakukan seperti anak kecil.
"Hentikan, Onii. Kau belum makan ikannya sejak tadi. Mulai saat ini, bersikaplah adil untuk dirimu sendiri,"tolakku memindahkan lauk yang ia berikan ke atas mangkuknya sendiri.
Kyota kesal,"Kau yang berhenti bersikap seperti itu."
"Aku juga tidak berharap kau memanjakanku terus. Kita tidak akan seperti ini selamanya. Akan ada saatnya kau akan meninggalkanku. Jadi, berhenti. Jangan membuatku tergantung padamu."
Kyota menatapku bingung,"Apa perhatianku selama ini adalah beban bagimu?"
Seharusnya aku tidak mengangguk karena itu pasti melukainya. Sejak kecil, ia selalu melindungiku dari teman dan merangkulku saat seseorang membuatku sakit. Kyota adalah sosok setulus ibu yang bahkan tidak pernah mengeluh saat nilaiku berada di urutan terbawah.
Aku merasa jahat. Tapi, dia adalah kakakku, seseorang yang tidak akan menemaniku sampai pipiku mengeriput.
"Maafkan aku, Onii. Tapi, selama ini, kau hanya hidup untukku. Apakah tidak pernah sedikitpun terlintas dalam pikiranku untuk punya kekasih? Aku mohon, mulailah menata hidupmu."
Setelah mengatakannya, tubuhku mendadak kedinginan. Musim semi baru saja datang. Tapi kenapa tubuhku serasa menggigil? Lidahku bahkan serasa digigiti oleh ratusan kebohongan.
Aku mendongak, menatap lekuk wajah Kyota. Gejolak yang tidak wajar lagi-lagi datang. Tidak normal dan jantungku bahkan berdetak jauh lebih cepat dari saat terakhir aku menatapnya.
Gawat.
Mata tajam Kyota berkedip, kecewa saat mendengar kalimat itu dari bibirku.
"Kenapa harus seperti itu? Aku melakukannya bukan karena terpaksa. Tapi aku menyukainya. Dengar, jangan pernah berpikir untuk melakukan hal-hal di luar batas. Aku ini bukan hanya kakakmu, tapi juga seorang wali. Bagiku, mengurusmu adalah kebahagiaanku. Aku tidak peduli dengan ucapan orang lain,"ucapnya penuh rasa kecewa.
"Onii. Terima kasih telah merawatku selama ini. Tapi, aku lebih bahagia kalau kau membiarkanku menentukan keinginanku sendiri,"ucapku ikut berdiri,"aku mau tidur."
Aku berbalik menuju kamar, penuh ketidak pedulian. Suara Kyota yang mendadak lembut saat memanggilku, justru terdengar menyakitiku.
Benar, ketidak normalan ini harus cepatnya diakhiri. Sesampainya di kamar, aku duduk di atas futon yang terlipat rapi. kuraih ponselku di atas tumpukan buku. Seharusnya, aku masih menyimpan Kairi. Dulu, kalau tidak salah, ia pernah menghubungiku beberapa kali.
Asayuko Kairi, kelas 4. Apa benar ini nomornya? Gumamku berhenti menggeser ibu jari. Aku menamainya accident? Berlebihan sekali.
Ini sudah terlalu larut untuk mengirim sebuah pesan permintaan maaf. Lagipula kenapa aku tiba-tiba menghubunginya?
Baiklah, mungkin aku hanya butuh sebuah keberanian untuk memulai sebuah hubungan.
....
Tapi paginya, rencanaku untuk mendekati Kairi gagal. Saat aku melihatnya berjalan di pintu gerbang, aku terkejut melihat kepopulerannya. Kemana aku selama ini? Aku tidak pernah melihat fenomena alay yang menjijikkan seperti itu di sekitarku. Para siswi itu seperti kerumunan lebah yang berpusat pada satu bunga.
"Jadi, apa targetmu si manusia sombong itu?"tanya Harumi menyenggol sikutku dari arah belakang. Seperti biasa, selain roknya yang semakin pendek, ia memakai riasan lengkap. Persis dandanan yang sering dipakai untuk ke goukon (kencan buta).
Karena terlalu terkejut, aku meninggalkan Harumi menuju loker kelas 4. Di celah yang memisahkan antar kelas itu, Kairi sempat menatapku.
Aku hanya berhutang 300¥. Itu nominal yang terlalu kecil untuk diperdebatkan.
"Harumi, apa yang kau lakukan kalau berhutang 300¥ pada seorang pria asing?"tanyaku meraih ujung tas dan bersiap untuk mengunci kembali pintu loker. Aku melirik Kairi yang masih berdiri, memasukkan sepatunya ke dalam susunan loker.
Harumi berpikir sebentar."Tergantung. Kalau pria itu tampan, aku akan mengembalikannya. Kalau tampangnya di bawah standart--,"Harumi menggeleng sambil mencembik kesal.
Tidak adil. Mana ada gadis waras yang bertingkah seperti dia? Harumi memang tipe orang yang berpikir praktis untuk dirinya sendiri.
Tanpa bicara lagi, kami berjalan beriringan menuju ruang musik. Kelas pertama di hari rabu adalah milik Sensei Sato, guru bersuara merdu yang sering menyanyi untuk kami di kelas musik.
Kami masuk, memutuskan duduk di sudut ruangan yang dikelilingi recorder. Ponselku tiba-tiba bergetar. Siapapun yang menghubungiku, pasti dia pengangguran. Ini waktu yang tidak tepat untuk bermain ponsel.
"Hibino, kau harus mematikan suaranya." Harumi menepuk punggungku gelisah.
Pasti Kyota yang kutinggalkan pagi-pagi buta tadi. Tidak mungkin orang lain.
---
Ada apa? Kau mau mengembalikan 300¥ itu? Tidak usah.--Accident.
____Kairi? Kebetulan. Aku harus membalasnya. Ini kesempatanku untuk mengenalnya lebih dekat. Siapa tahu dengan ini aku bisa melenyapkan Kyota dalam pikiranku.
___Aku akan menggantinya. Tapi dengan hal lain. Apa kau menolak keinginan baikku?
Send.
__Baik, tapi aku akan lihat dulu apa pemberianmu. --Accident.
___Aku akan memikirkannya nanti. Sudah dulu, pelajaran musikku hampir dimulai.
Send.
___Aku cepat-cepat mengantongi ponselku saat sosok Sensei Sato memasuki kelas dengan sebuah piano kecil di tangannya.
Wanita modis, seksi dan pintar itu adalah sumber inspirasiku. Kadang, aku ingin dia menjadi kakak iparku.
__1011

KAMU SEDANG MEMBACA
My Sexy Brother
RomanceHibino tak menyangka kalau ia bisa jatuh cinta pada kakaknya sendiri. "Hibi-chan, apa pembalutmu habis? Bagaimana dengan underwear? Kapan kau ingin menggantinya?" "Dasar, menyebalkan! Aku sudah besar dan hanya butuh uang untuk membelanjakan kebutuha...