6

2.9K 175 6
                                    

Sore ini, langit sangat cerah. Beberapa batang pokok sakura, digantungi puluhan lampion kecil berwarna merah. Udara yang tidak begitu berangin pasti akan membuat festival musim semi di taman Beika, berlangsung lebih meriah dari tahun sebelumnya.

Aku berada di antara keramaian itu, duduk di tepian sebuah bangku lingkar di bawah pohon sakura terbesar.

Lima belas menit berlalu sejak aku menunggu Kairi, tapi ia belum juga muncul. Apa mungkin ia mempermainkanku? Aku sudah berusaha mati-matian agar Kyota mengijinkanku tadi. Pasti Kairi tidak tahu, bagaimana aku meluluhkan hati kakakku yang sekeras batu. Aku justru merasa kecewa karena Kyota mulai melunakkan sikapnya. Ia mulai memberiku ruang yang sebenarnya tidak aku perlukan.

Mulutku selalu mengatakan lebih banyak kebohongan, tapi hatiku tidak. Kakakku--Kyota Tsubaki, mungkin seumur hidupnya tidak akan pernah sadar, aku begitu tersiksa karena menginginkannya selama ini.

"Apa kau menunggu lama?"
Laki-laki berhakama coklat tua, memotong lamunanku. Aku mendongak, menemukan wajah Kairi yang ternyata mampu mencuri perhatianku.

"Kairi? Kupikir kau tidak pakai Hakama,"ucapku terkejut, buru-buru berdiri. Mengunjungi festival dengan tipe pakaian yang berbeda sering dianggap sedang menjalani hubungan tanpa status.

"Akh, Ibuku terlalu senang karena mengira aku sedang berkencan dengan seseorang. Bahkan tadi perkataanku tidak didengar sama sekali." Kairi menggaruk tengkuknya kikuk. Meski wajahnya tetap datar, rona merah tiba-tiba menguasai kedua pipinya.

Jika dilihat lebih teliti, gaya rambut Kairi yang biasanya terkesan jatuh, kini tersisir acak dengan sedikit wax. Ia mirip tokoh pria dalam film Hajime ko ikematsu. Apa dia juga akan beralasan kalau ibunya yang memaksanya memakai wax?

Kupikir ia tipe pria yang susah. Image dinginnya yang terbangun di sekolah, seketika menguap.

"Maaf, Awalnya kupikir kita bertemu sekalian memanfaatkan tiket masuk dari kakakku, tapi ternyata malah membuat ibumu salah paham." Aku menatap dua lembar tiket masuk dalam genggamanku.

Kairi bergumam kecil,"Tidak masalah. Apa yang sebenarnya ingin kau bicarakan? Kita di sini atau masuk saja?"

Oh ya ampun, aku lupa. Sebentar lagi festival puncak akan segera dimulai. Iring-iringan dari pemusik tradisional akan mengular di sepanjang jalan menuju kuil utama.

"Ayo, kita masuk saja. Tiketnya akan hangus kalau kita menunggu di luar seperti ini,"ucapku menunjuk loket yang sebentar lagi akan ditutup.

Kairi menurut, mengikutiku seperti seorang pengawal. Terlihat sedikit aneh memang karena ia tidak juga berjalan di sampingku. Bahkan sejak lima menit yang lalu, aku harus berkali-kali menoleh untuk memastikan keberadaannya.

"Kairi? Apa kau bisa lebih cepat? Aku ingin duduk di dekat lentera kertas." Aku mencoba membuat alasan agar kekakuan di antara kami mencair.

Meski sudah menatapnya dengan wajah ceria, ia hanya memberiku tatapan lurus dan membosankan. Kesal menghadapi sikapnya, aku memutuskan untuk berhenti di bawah lampion. Berada di keramaian pengunjung festival, membuat jarak pandang juga pendengaran kami terbatas.

Kairi mungkin tidak langsung menangkap ucapanku, tapi saat jarak kami semakin jauh, ia tiba-tiba mendekat, menarik lenganku.

"Apa kau tidak lihat? Aku bersamanya!" Kairi tiba-tiba berteriak pada pria asing yang hampir saja menyentuhku. Pria mesum? Sejak kapan aku diikuti?

"Hei, dari tadi aku lihat dia sendirian. Apa kau pria satu malamnya? Pakaian kalian sungguh berbeda." Pria cabul itu menepis tangan Kairi dengan ekspresi sinis. Aku ketakutan, mendekat lalu menurut saat Kairi menarikku untuk berlindung di balik punggung.

Kejadian ini sebenarnya bukan pertama kalinya, jika dulu Kyota yang selalu melindungiku, kini Kairi. Meski fisiknya belum matang, tapi keduanya mempunyai aura yang sama.

Tak lama, pria asing itu memilih pergi, berpura-pura mengumpat karena kesalahpahaman yang diciptakan oleh kami. Mungkin itu karena beberapa orang yang berkerumun menyiutkan nyalinya untuk berbuat terlalu jauh.

Di ruang publik yang ramai seperti itu, pelecehan memang sering terjadi dan pelakunya terus bertambah karena sangsi pasal yang terlalu ringan.

"Jadi, berjalanlah disampingku,"kata Kairi me
menoleh, tanpa canggung, ia meraih tanganku.

Jemarinya sedikit lebih besar dariku. Kulit tangan yang dingin juga aroma parfumnya yang bersatu dengan harum bunga sakura. Itu hal pertama darinya yang aku suka. Kami berjalan, terus menggenggam, tanpa pembicaraan.

Di bawah tempat lentera kertas digantung, tepatnya di tangga pertama kuil, kami duduk, menarik tangan masing-masing.

"Terimakasih untuk tadi." Aku bergumam, menetralisir keadaan yang mengendap karena rasa canggung.

Kairi mengangguk kecil, mengusapi bagian tengkuknya.
"Kau tidak perlu berterima kasih. Jika aku berjalan bersamamu sejak awal, mungkin hal itu tidak akan pernah terjadi."

Apa dia malu? Setiap selesai menggosok leher, pipinya selalu memerah seperti tomat.

"Kairi, apa kau sudah punya pacar?"

Ia terkejut. Alisnya menyatu menatapku bingung."Hibino? Apa maksud dari pertanyaanmu? Aku pikir, kita tidak terlalu dekat untuk membahas hal seperti itu,"kata Kairi keberatan.

Itu sudah termasuk tindakan penolakan. Aku yang tidak pernah dekat juga tertarik dengan siapapun, langsung down. Meski Kairi bersikap manis, ia tetap tidak suka dengan pertanyaan pribadi di pertemuan pertama kami.

"Maaf, aku pikir kita bisa menjalin hubungan dekat kalau kau tidak punya kekasih. Tapi, kelihatannya kau bahkan menolakku meski kau sedang sendiri."
Akh, baiklah. Sudah terlanjur. Setidaknya aku sudah berusaha.

"Jadi, apa kau sedang menembakku?"
Pertanyaan itu sungguh konyol. Apa perkataanku kurang jelas atau ia sengaja mempermalukanku?

"Apa kau menyukaiku? Hanya saja aku merasa ada yang terlewat disini. Kau tidak bilang apa kau menyukaiku atau tidak,"kata pria itu menggeleng bingung. Ia bisa meraba ketidakberesan. Mana mungkin aku menyukai pria yang baru saja aku kenal? Sebaik apapun dia, Kairi masih asing bagiku.

Ini demi hubungan sehat antara aku dan Kyota. Hanya itu.

"Apa kau keberatan kalau aku ingin menjadi pacarmu meski aku tidak menyukaimu?"tanyaku melemparkan perkataan tidak masuk akal itu padanya.

Kairi terdiam, mengalihkan tatapannya pada kerumunan orang-orang.

Beberapa meter dari tempat kami duduk, berjejer kios makanan juga permainan yang dipenuhi oleh para pasangan. Kami menemukan banyak senyuman di sana tanpa bicara.

"Aku menyukaimu. Jadi meski kau tidak mempunyai perasaan yang sama padaku saat ini, itu tidak masalah bagiku."

Apa? Dia menyukaiku? Omong kosong!

"Hibi-chan, ayo berkencanlah denganku."

....

___1045.

Yamazaki Kento as Asayuko Kairi

My Sexy BrotherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang