4

3.5K 191 15
                                    

Ayaka adalah orang pertama yang antusias saat mendengar permintaanku untuk dikenalkan dengan seseorang.

"Kau ingat Oba-kun?"tanyanya keesokan harinya saat jam makan siang kami hampir selesai.

Ya, mana mungkin aku lupa. Dia adalah pria Osaka tetangga Aya-san. Lebih tua setahun dari kami dan punya hobi bela diri. Aku pernah bicara dengannya beberapa kali dan--langsung tidak suka.

"Aku tidak suka padanya,"ucapku sedikit ketus. Menyodorkan seorang pria tidak laku, sama saja memandangku sebelah mata.

"Lalu? Kau mau yang seperti apa? Kalau ingin seperti Kyota, jangan minta bantuanku,"ucap Ayaka mengerutkan bibirnya yang dipoles dengan sedikit gincu.

Rasanya diantara teman wanita di kelas, hanya aku yang belum pernah memakai make up dengan benar. Selain bedak bayi dan lipgloss, aku sama sekali buta untuk urusan seperti itu.

"Aku heran padamu, kenapa mendadak ingin punya pacar? Kulihat kau baik-baik saja. Selama ini kau bahkan selalu sibuk dengan Kyota dan tidak pernah menghabiskan satu hari liburpun dengan kami. Apa itu terdengar tidak aneh? Ada apa sebenarnya?"Harumi yang sejak tadi diam, akhirnya angkat bicara. Ia meletakkan kotak bekalnya yang telah kosong ke dalam tasnya.

Jujur, aku bingung sekali untuk menjawabnya. Aku sendiri bahkan malu mengakui keinginanku itu. Ya, akan lebih baik kalau mencari alasan lain.

"Haru-chan? Setelah kupikirkan lagi, ucapanmu tentang kakakku mungkin ada benarnya. Aku tidak mau dijadikan alasan kenapa dia tidak punya kekasih selama ini."

Mendengar pengakuanku yang terdengar menyentuh, kedua sahabatku saling pandang tak percaya.

"Hah? Kenapa baru sekarang kau menjadi adik yang baik?"kata Ayaka menyenggol siku Harumi. Keduanya saling melempar senyum geli.

"Tapi bukan karena kau mengalami pubertas usia lanjut kan?" kata Harumi cekikikan, ia terlihat sengaja menghalangi mulutnya yang membuka dengan sebelah tangan.

Akh, aku tahu alasan dramatis seperti itu, tidak akan berhasil. Kami bertiga sudah saling mengenal, menghabiskan masa kecil hingga tumbuh besar seperti sekarang. Mana mungkin mereka percaya begitu saja?

"Kenapa sih? kalian meributkan hal lain? Mau membantu atau cuma menertawaiku?"Aku berdiri, pura-pura marah agar suara berisik dari mulut mereka berhenti.

Sebentar lagi jam makan siang kami berakhir dan yang kudapat hanya cemooh. Pubertas usia lanjut? Perkataan macam apa itu?

"Iya, aku akan carikan. Tapi sebelum itu terjadi, kau harus merubah dirimu."Himeko mendekatiku, menyentuh rambut lalu dagu.

"Apa maksudnya? Aku tidak mau kalau harus mengikuti style mu,"keluhku mengambil ujung rambut bergelombang milik Harumi. Itu memakan banyak waktu dan tentu saja conditionernya setara dengan tiga bungkus taiyaki.

Uang sakuku bisa habis sebelum musim semi berakhir. Lagipula aku sedang bertengkar dengan Kyota gara-gara pembicaraan terakhir kami. Bisa gawat kalau aku harus minta maaf duluan hanya gara-gara uang?

"Sudah, lupakan. Aku mau mencarinya sendiri. Pasti ada seorang pangeran yang mau menerimaku apa adanya. Bukankah itu adalah cinta sejati? Kyota selalu bilang padaku kalau kita tidak perlu berubah demi orang lain."

Pasti ucapanku terdengar aneh sampai-sampai kedua temanku itu tersenyum satu sama lain.

"Terserahmu saja, Hibino."

...

Malam ini, Kyota terlambat pulang. Ia tiba-tiba mengambil kerja paruh waktu di dekat kampusnya. Alasannya ia hanya menghabiskan empat jam dari minimal delapan jam kerja.

Boleh dibilang, meski ini pertengkaran kami yang paling lama, Kyota tetap tidak mengacuhkanku sedikitpun. Sarapan, uang saku juga pakaian bersih tergantung di lemari.

Jika saja ia punya istri, pasti istrinya itu tidak berguna.

"300¥."

Suara kasir minimarket mengusik lamunanku.

Ini akhir pekan dan aku tidak menyangka sama sekali bahkan untuk toko sekecil Ozigawa minimart dipenuhi pembeli. Biasanya, untuk menghindari antrian di supermarket, aku ke sini. Ternyata tidak jauh berbeda. Tahu begini, aku ke supermarket saja. Di sana selalu ada diskon untuk ramen.

"Maaf, ada uang kecil?"tanya si kasir menatap selembar uang seribu milikku.

Aku menggeleng," Maaf, aku hanya membawa satu lembar."

"Apa ada masalah? Aku sedang terburu-buru."Seorang pria yang berdiri di belakangku tiba-tiba menyela. Ia mengangkat satu keranjang penuh miliknya ke atas counter kasir.

Aku menyingkir, menatapnya dari samping. Ia terlihat familiar, apa aku mengenalnya? Tidak--pasti aku salah.

"Nona ini hanya butuh 300¥ untuk membayar 2 cup ramen. Tapi sayangnya kami tidak punya kembalian untuk seribu yennya."

Pria berhidung mancung itu menoleh ke arahku. Pupil matanya sedikit melebar, terkejut.

"Hibi-Chan? Sepertinya kali ini kau berhutang 'lagi' padaku."Ia mengambil sebuah kartu kredit untuk diangsurkan pada kasir,"biarkan aku yang membayarnya, tapi tolong tagihannya terpisah saja."

Apa-apaan dia?

"Hei, itu tidak perlu." Penolakanku tidak digublis.

Melihat antrian yang masih mengular, aku akhirnya menyerah. Mengambil belanjaanku dari tangannya.

Kalau dilihat lebih detail, ia punya tinggi yang tidak jauh berbeda dengan Kyota. Jemarinya panjang dan ada sedikit otot yang membayang dari balik kaosnya.

Dagunya yang sedikit tirus mengingatku pada gestur wajah Yamazaki Kento, aktor jepang favoritku.

Tapi yang terpenting dari semua rasa penasaranku adalah bagaimana bisa ia tahu namaku?

Tiga menit menunggu di pintu keluar minimarket, aku menemukannya berjalan menjauh untuk menyeberang jalan.

"Hei, kau. Iya, kau! Bisa kita bicara sebentar?"seruku berlari membuntuti pria itu.

Ia hanya menoleh tanpa menghentikan langkahnya di atas trotoar. Sepertinya ia buru-buru sekali. Sialan, gara-gara 300¥, aku harus mengejarnya seperti ini. Untung saja Kyota tidak sedang ada di rumah. Kakakku yang sedikit over dalam ketepatan waktu, selalu keberatan jika aku pulang tidak sesuai perjanjian.

"Sudah, jangan mengekoriku. Hari ini akan ada perayaan hanami di rumah. Aku sibuk."
Ia menunjuk sebuah jalan yang tikungannya berlawanan dari arah rumahku. Apa dia sedang memberitahuku letak rumahnya?

"Baiklah, tapi maaf. Apa kita saling mengenal?"tanyaku hati-hati.

Pada akhirnya, ia berhenti. Menatap padaku yang sedang menunggu.

"Aku ada di kelas 4, tepat di sebelah kelasmu. Wajar kalau kau tidak ingat. Wajahku memang pasaran. Aku Asayuko Kairi. Kita pernah bertukar nomor ponsel waktu kelas satu, saat study wisata di Okinawa." Pria itu--Kairi tiba-tiba tersenyum kecil. Melipat bibirnya lalu membungkuk.

Ia sopan dan langsung membuatku seperti perempuan tidak tahu tata krama.

Tapi, tunggu dulu. Okinawa katanya? Apa Kairi ini adalah Kairi yang itu? Atlet renang yang memenangkan medali emas tahun ini?

Jika benar, aku malu sekali. Itu berarti dia adalah orang yang memberiku nafas buatan saat tanpa sengaja aku terjatuh ke laut.

Oh Shit. Dulu saking marahnya karena menganggap ciuman pertamaku direbut, sampai sekarang, aku belum sempat berterima kasih.

Asayuko Kairi, dia--boleh juga.

___1015

Yamazaki Kento as Asayuko Kairi.

My Sexy BrotherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang