Ini akan menjadi musim panas yang terakhir.
Hujan turun di atas Lincolnshire hampir setiap hari sejak awal Agustus, udara selalu lembab. Ada pohon willow tua di sudut halaman The Velvet Bean yang kulewati setiap hari, air yang berjatuhan membuat daun-daunnya selalu berserakan di sepanjang trotoar yang basah dan abu-abu. Daun-daun itu tirus, pucat, dan kering. Aku terbiasa menandai kilometer-kilometer lari dengan pohon itu, lalu pucuk gereja Saint Ignatius, lalu belokan menuju Cornbury. Merasakan paru-paru yang kian memanas setiap titik-titik ini terlewati, dan selama beberapa hari terakhir, tak bisa tidak merasakan bunyi-bunyian di dalam kepalaku sendiri.
Juga, percakapan dengan Aidan usai konser terakhir.
Petikan kunci-kunci pianonya yang terdengar sedih, saling terpisah, begitu menyayat. Malam sudah larut ketika itu, sudah terlambat untuk disebut malam, tetapi terlalu awal untuk disebut pagi. Kursi-kursi sudah kosong. Ia meraih sebatang mild yang bertengger di tepi piano, yang sudah ia biarkan terbakar sendiri hingga abunya berjatuhan di lantai.
Di saat-saat seperti ini, tak ada suara yang lebih keras daripada yang ada di dalam kepala kita sendiri.
"Aku tak suka melihatnya, Aidan, dan aku tak tahu bagaimana mengatakan ini," ujarku. "Tapi, terima kasih sudah membelaku di depan Edgar kemarin."
Ia mengangguk, menghisap rokoknya. Matanya yang sudah mengantuk itu menyipit di kepulan asap. Dari dalam tasku aku mengulurkan cangkir merah miliknya, dan untuk sesaat itu ia tertegun. Cangkir merah itu jatuh hingga terbelah dua beberapa hari yang sebelumnya.
Sekilas, sinar di kedua matanya menyala lagi.
"Gwen...."
"Dilem, pakai lem keramik," kataku. "Mungkin nggak tahan lama juga, tapi mudah-mudahan nggak jatuh lagi."
"Terima kasih, ya."
Ada sesuatu tentangnya yang membuatku sadar, barangkali dia juga sudah lama tahu. Meski pengetahuan itu terasa tak mungkin, karena dibantah terlalu banyak alasan. Karena rasanya seperti pengkhianatan. Hingga ia tak mau percaya, sebab orang cenderung percaya apa-apa yang mereka mau dan yang mampu mereka terima saja. Namun Aidan terlalu pintar, dan aku sendiri meragukan kepandaianku dalam hal menutupi. Ia barangkali hanya bergelut dengan alasan-alasan hingga akhirnya diam. Sebab begitulah Aidan. Ia menyayangi terlalu banyak teman, ia menyayangi temannya terlalu banyak.
"Gue minta maaf tentang Edgar, Gwen."
"Aku minta maaf tentang Maya."
Ke dalam cangkir merah itu, ia menjatuhkan serpih-serpih kecil sisa pembakaran rokoknya. Kepalanya tertunduk menatap tuts, asap rokok membumbung membentuk awan tipis di depan wajahnya.
"Tau nggak," ujarnya, sambil memainkan jemari di antara kunci-kunci putih. "Gue mikir, mungkin benar juga yang mereka semua bilang. Akan selalu ada satu yang paling kita inginkan itu, yang tak bisa kita miliki. Sedangkan kita tak bisa sendiri, tak berani. Itu sebabnya kebanyakan dari kita berakhirnya dengan yang terbaik kedua. The second best."
Aku ingin tinggal lebih lama, mengabaikan kantuk dan lelah, untuk dia. Namun menuruti itu hanya akan menjadi seperti menggaruki luka, hanya sekadar memuaskan rasa penasaran dan membuatnya semakin berdarah. Malam semakin dekat kepada pagi. Maka kutarik juga ritsleting sarung gitar, menutupnya.
"Pulanglah, Aid," ujarku. "Sudah larut."
Aku tak memutar tubuh lagi sebelum pamit. Itu tak sulit, aku sudah terlalu terbiasa. Sebab selalu begitu, meski seluruh keinginanku ada pada arah yang sebaliknya. Untuk menatapnya lagi. Aidan, tubuh ramping dan sudut siku pada bahunya, serta matanya yang hangat.
Ia berkata, "Semoga berhasil dengan universitas barunya, Gwen." Suaranya memantul di atap dan dinding-dinding auditorium. Ketika aku menoleh, ia sudah menyalakan sebatang rokok lagi. Petikan kunci-kunci sepi itu kembali terdengar. Membuat keinginan untuk pergi sejauh-jauhnya dari radius frekuensi bunyi ini, dan sekaligus berada di sana untuknya saling menumpang dan menindih siksaan yang akhirnya mendorongku ke rasa marah. Andai ada cara. Andai ada bahasa bagi kami untuk bicara, dengan peran yang berbeda dari diri kami saat ini.
Aku berhasil pergi.
Meskipun rasanya seperti mendorong tubuhku di setiap tikungan di sepanjang Lincolnshire dengan kecepatan yang membuat paru-paru terasa seperti mau pecah. Ini satu-satunya cara agar dapat pergi dari suara-suara itu, selama tahun-tahun yang terlewati dengan meredam keinginan untuk kembali pada ketinggian panggung, dan mendiamkan musik di dalam telingaku sendiri.
Namun aku harus kembali juga, pada akhirnya.
Aku hanya tak tahu masihkah ia bersedia menerimaku lagi.
*
KAMU SEDANG MEMBACA
The Second Best
RomanceIde cerita ini datang dari obrolan dengan Kang Adhit (Adhitya Mulya) pada suatu siang, yang bilang ke saya, "Akan ada selalu ada satu nama yang selalu tertulis di hati dan tidak bisa tertulis di buku nikah." Maka kita sering pada akhirnya berakhir d...