Sebenarnya, aku tak yakin apa aku harus datang.Sudah nyaris satu tahun sejak aku hadir di GOR. Dua semester. Dua belas bulan yang sibuk, mengantisipasi tahun senior universitas beserta kerumitan-kerumitannya yang kukira tidak akan tiba secepat ini. Cepat sekali rasanya. Aku masih ingat jelas terakhir kali berada di bawah atap gedung ini; di tengah ring basket yang berdiri di dua sisinya, sepasang tiang untuk memasang net di sisi yang lain, papan skor yang juga berfungsi sebagai papan pengumuman bila tak ada kegiatan, dan tribun, yang membuatnya terasa luas. Ratusan kursi merah yang ditanam di sana memberi ilusi berapa banyak orang yang bisa menyaksikan. Hari ini, papan skor itu terlihat baru. Itu papan skor yang tahun lalu pernah jatuh, kaca penutupnya pecah. Korban pertengkaran teman kami, Edo dan Ivanna, yang kami tak tahu penyebabnya. Yang kemudian, membubarkan semua orang yang biasa berkumpul di sini hingga dua semester lamanya.
Aku tak menyangka masih akan melihat mereka lagi.
Masih saja sama. Selalu dengan kebesaran masing-masing, aura yang membuat orang enggan terlalu dekat, dan sekilas rasa angkuh, kesan: mereka masing-masing pernah jadi yang terbaik di bidang ini. Ada Nilam, yang jazz dan klasik, kami kenal dia sebagai yang "suaranya enak". Rianna, yang cantik sekali. Ia penuh ritme, blues, ia dan beberapa orang disekitarnya senang menyebut nama itu dengan desahan hingga terdengarnya: Rihanna. Margaret, sahabat Rianna, yang juga cantik. Mereka sering mengunggah video menyanyi di internet, selalu dilihat ribuan orang. Di barisan vokal putera ada Pascal, yang rapi berkacamata, si Afghan. Lalu Billy, sahabat baik Rianna dan Margaret, yang bisa menyanyikan semua lagu di chart Top 40. Tony, yang jangkung, putih, selalu terdepan di tiap penampilan bersama paduan suara mahasiswa dulu. Ia seperti Finn dalam serial Glee; lantang, hidup, dan di bawah lampu sorot ia bisa sangat atraktif. Dan Kevin, si emo. Rambut sebahu, tato di lengan. Kevin menyanyi dan bermain bas, dan aku mengaguminya dalam hal yang terakhir.
Dan, aku.
Mereka duduk di atas kursi-kursi lipat di depan Coach Amy, di tengah lapangan, seperti kontestan pertunjukan bakat yang sering diperlihatkan televisi. Para calon artis, dan mereka semua tahu itu. Hanya masalah waktu saja sebelum semuanya bersaing di depan panel berisi tiga juri yang sesungguhnya.
Semuanya membawa satu jilid fotokopi berisi lirik lagu di pangkuan, seperti satu tahun sebelumnya.
Aku hadir membawa kartu rencana studi dan satu rangkap laporan pertanggungjawaban divisi pers, yang baru saja dicetak.
"Duduk, Gwen," tukas Coach, sebelum kusadari ia menyadari kehadiranku.
Dan, Coach Amy. Yang selalu tahu benar tiap apa yang ia lakukan. Aku berusaha tidak merasakannya, namun tetap saja lega hanya sekadar tahu bahwa dia yang masih bertanggungjawab atas kami.
Kutarik kursi di samping Nilam, menyempurnakan bentuk setengah lingkaran itu, dan baru menyadari lagi set instrumen di belakang Coach, di arah yang sama dengan arahku masuk. Sepasang amplifier, pedal-pedal efek di lantai, drum Pearl, piano Yamaha yang masih ditutup. Semuanya baru dikeluarkan lagi dari ruang inventaris di sebelah ruangan ini. Setelah satu tahun. Masih sulit juga, untuk melihat semua tanpa teringat keributan tahun kemarin.Namun yang kemudian membuatku mendongak adalah sekelompok orang-orang yang duduk di tribun di atasnya. Mereka duduk membungkuk menatap kami, sebagian gelap tertutup bayang-bayang dinding, tidak tertimpa sinar.
Itu siapa?"Kita akan tampil full band," ujar Coach, seperti menjawab pertanyaanku seketika. "More music, more voices. Kita melewatkan kejuaraan tahun ini, tapi saya ingin kalian tampil di tahun depan. Masih jauh, tapi kita persiapan dari sekarang. Kampus juga punya agenda lebih dekat, Dies Natalis. Setelah itu, wisuda, setelah itu, penerimaan mahasiswa baru. Ingat, yang nanti hadir juga alumni dari sejak kampus ini berdiri, tamu kehormatan rektorat, termasuk di antaranya dosen-dosen di universitas lain...."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Second Best
RomanceIde cerita ini datang dari obrolan dengan Kang Adhit (Adhitya Mulya) pada suatu siang, yang bilang ke saya, "Akan ada selalu ada satu nama yang selalu tertulis di hati dan tidak bisa tertulis di buku nikah." Maka kita sering pada akhirnya berakhir d...