Kata ibuku, waktu kecil aku suka bicara pada daun.
Awalnya aku tak percaya, tapi Mama benar-benar punya foto ketika aku berjongkok di halaman belakang rumah, sehabis hujan, membariskan daun-daun akasia yang berjatuhan di rumput. Aku masih tiga tahun, belum bisa mengingat. Namun Mama menyimpan terus foto itu. Kurasa itulah yang menginspirasi dia hingga terus melatihku bercerita, dan terus menulis. Hingga kini, aku percaya itulah sebabnya.
Aku harus menceritakan ini kepada Matthew Hopker, selama duduk di seberang mejanya, menunggunya menandatangani laporan pertanggungjawaban divisi yang sudah di sana selama satu minggu.
"Saya akan tetap menulis, Pak Matthew," kataku. "Meski tidak duduk di redaksi lagi. Saya masih punya sedikitnya dua semester di kampus ini, masih bisa jadi kontributor sesekali. Saya sudah daftar juga untuk kompetisi jurnalistik yang bulan November. No worries."
Matthew Hopker adalah dosen bahasa Inggris, penanggungjawab lab bahasa, dan pembimbing pers mahasiswa. Kami sedang berada di ruang operator lab, yang sudah ia jadikan semacam sarang. Ia membentangkan kasur karet di tengah-tengahnya, dan menanam rak buku di tiga sisi dinding ruang itu. Rak buku itu diisi lusinan buku dan CD. Beberapa ruang ia sisakan sebagai tempat menaruh amplifier. Sisi kiri dan kanan kaca itu penuh dengan foto-foto berbingkai berisi dirinya selama masih di Inggris; London Eye, Tower of Bridge, Trafalgar Square, Picadilly Circus, dan penanda hijau di jalan yang mengarah ke Alderley Edge sebagai latar belakang.
Saat ini, Symphony no. 5 sedang berdengung lewat amplifier di dalam rak.
"Itu, gitar almarhum ayahmu, kamu bilang?" tanyanya, menunjuk gitar dalam sarung hitam yang kusadarkan di pintu. "Beliau ingin kamu jadi musisi?"
"Pak Matthew, saya senang bermain musik, but I will manage," jawabku. "Lagipula latihan dengan Coach Amy hanya seminggu sekali."
Ia memberiku tatapan yang terlihat datang dari bawah alis matanya, selama menunduk di atas kertas, sementara aku menunggu dengan tak sabar. Aku sudah harus tiba di GOR dalam beberapa menit, aku tak mau terlambat lagi.
Ia berkata, "Saya mau lihat esai kamu untuk kompetisi jurnalistik sebelum dikirim," sebelum akhirnya membubuhkan tandatangannya di sebelah tandatanganku, di atas laporan. Akhirnya selesai juga urusan ini.
"Tentu, Pak, tentu saja," jawabku. "Terima kasih banyak."
Aku membungkuk untuk memungut kembali berkas-berkas itu. Namun, ia bergeming. Kedua telapaknya menahan tiap helai kertas di atas meja dengan rapat.
"Satu hal lagi," tukasnya, dan bahuku turun dengan lelah.
Ia berputar hinga selama beberapa saat aku hanya menatap punggung kursi dan puncak kepalanya, dan ia mengaduk-aduk rak.
"Scholarships," ujarnya setelah itu, menjatuhkan sejumlah brosur di atas tumpukan laporan. "Kings College dan Westminster buka peluang tiap tahun buat para calon jurnalis. Tapi kalau kamu bersedia pergi lebih jauh; University of Edinburgh. Kampusnya mirip Hogwarts."
"Kenapa, saya perlu ketemu McGonnagal?"
"Ya, kecuali kamu maunya bertemu Umbridge," jawabnya. "Malcolm X, Gwen, yang mengatakannya. Apply yourself, don't just stand there and wait...."
Jadi aku terkurung di ruangan itu selama limabelas menit perpanjangan lagi.
Para mahasiswa sedang mengosongkan ruang-ruang kuliah ketika aku keluar. Memenuhi selasar dengan celoteh yang riuh, mengalir di tangga-tangga, hingga aku susah lewat. Dari lantai tiga tempat lab bahasa, siang terlihat terang dan terik. Sedangkan GOR terlihat begitu kecil dan jauh. Maka, aku melesat. Memapasi kerumunan di tangga, menyeberangi halaman, parkir, dan melewati regu Taekwondo yang sedang bersiap latihan.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Second Best
RomanceIde cerita ini datang dari obrolan dengan Kang Adhit (Adhitya Mulya) pada suatu siang, yang bilang ke saya, "Akan ada selalu ada satu nama yang selalu tertulis di hati dan tidak bisa tertulis di buku nikah." Maka kita sering pada akhirnya berakhir d...