Latihan usai dengan penanda waktu yang sama: langit gelap, lalu-lintas jalanan kota Jakarta yang tak bergerak, para mahasiswa yang menyerbu keluar pintu kelas, sekre, lab, tangga-tangga, secara bersamaan seperti sekawanan burung lapar menuju kantin Kak Sofie di belakang tempat parkir. Tempat itu akan penuh orang, penuh asap rokok, hingga nanti jauh setelah matahari terbenam. Mahasiswa terlalu lelah untuk menembus kemacetan agar bisa tiba di rumah segera, dan terlalu lapar untuk menunggu lalu-lintas jalanan terurai.
Ritual pasca latihan hari itu tetap berjalan seperti biasa tanpa keluhan. Kami merapikan kursi-kursi, menepikan semua instrumen ke sudut, memasangkan cover di atasnya, dan menarik partisi. Tanpa keluhan, meski lelah, suara habis dan perut lapar. Para mahasiswa yang berkumpul di tribun sudah bubar.
Itu sesaat sebelum seorang petugas berseragam dan topi merah KFC hadir di pintu tribun.
Ia mengetuk cukup lama hingga semua kepala menoleh, menatap lama dengan tak yakin, apa delivery ini datang ke alamat yang tepat. Kami juga sama tak yakinnya. Semua tahu, pada tahun ini, PSM harus ekstra hemat. Mana mungkin memanjakan anggotanya begini.
Namun Rianna dan Margaret menyongsongnya, membumbungkan harapan semua orang. Rianna membayar, memberi tip. Margaret kemudian dibantu Billy, menenteng kantong-kantong plastik bergambar wajah tersenyum sang kolonel yang ramah itu, yang berisi botol-botol soda dingin, kotak-kotak kentang goreng, dan ember-ember kecil penuh sayap ayam. Para personil grup vokal langsung merubunginya begitu tiba di tengah, tempat muatan diturunkan.
"Lihat tuh, Isaac sampe drooling," tukas Aidan, mengangkat cangkir kopinya dari atas piano, langsung menerima tonjokan Isaac di lengannya.
Rianna lalu berdiri, berkeliling mengedarkan wings bucket untuk diambil masing-masing satu oleh orang-orang di grup vokal.
Rianna—sejak latihan dimulai—aku belum bertemu dengan matanya. Barangkali karena hal dengan Edgar tadi. Dia terlihat terang-terangan berusaha untuk terus di dekat Edgar, selama dua setengah jam di tengah lapangan ini.Barangkali, karena hal lain juga, yang aku tak tahu, tapi aku tak perlu memastikan itu sebelum mengemasi tas, memasukkan kembali gitar ke tempatnya, dan bergegas. Tak perlu tinggal terlalu lama. Lagipula, ini sudah malam.
"Mau share?" tanya Edgar, tahu-tahu. Ia hadir di belakangku. Kebagian drumstick ayam, bukan sayap, entah bagaimana, dan kulit ayam cokelat keemasan matang terlihat sedikit mengelupas di daging paha yang masih panas, yang renyah nikmat itu. Yang aromanya mengaduk-aduk isi perutku--yang tak ada isinya--ketika ia ulurkan.
"Nggak, makasih," kataku.
Kuraih gitar, lalu berdiri dan memungut tas kuliah di lantai. Bergabung saja dengan rombongan mahasiswa lapar di kantin. Makan, minum kopi, lalu pulang. Selesai urusan. Nilam melihatku beranjak, dan aku baru akan berpamitan ketika kulihat Edgar menghampiri Maya dan Rianna.
Mereka mengobrol.
Maya dan Rianna tertawa, pasti Edgar sedang mengeluarkan lelucon. Pasti garing. Tapi mereka tertawa lagi. Lalu Rianna mendorong ember sayap ayam, yang sedang dipeluknya, dan Edgar memasukkan tangan ke sana.
Segera setelah itu ia kembali kepadaku.
"Mau paha apa sayap?" tanyanya, seperti pramusaji di belakang konter restoran. Dengan tak peduli, dan sambil mengulurkan dua potongan ayam goreng di atas balutan tisu. Rianna—yang mengikuti tadi punggungnya dengan ekor mata—segera berpaling lagi. "Tapi pahanya udah digigit. Tapi dikit, kok."
"Nggak perlu bilang-bilang juga kali, Ed," sela Aidan. Cekikik di belakangnya terdengar sebelum tanpa kumengerti, apa yang lucu. "Gigit paha bilang-bilang, ya ampun, dasar jomlo. Mending pahanya siapa, ini pahanya ayam."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Second Best
RomanceIde cerita ini datang dari obrolan dengan Kang Adhit (Adhitya Mulya) pada suatu siang, yang bilang ke saya, "Akan ada selalu ada satu nama yang selalu tertulis di hati dan tidak bisa tertulis di buku nikah." Maka kita sering pada akhirnya berakhir d...