"Papan skor lapangan itu," kataku. "Tahu kan, yang di belakang kita kalau lagi main, yang di antara piano sama drum? Papan itu pernah jatuh sampai pecah."
Kami memakan sedikitnya setengah jam, tadi, untuk menegakkan sepeda motor-sepeda motor yang kutumbangkan di parkir. Juga mencari-cari helm milik mahasiswa yang berjatuhan dan menggelinding, memohon-mohon maaf ketika pemiliknya datang, atau helmnya tertukar, menjelaskan ini-itu. Edgar terus di sana hingga parkir itu rapi seperti semula. Menertawakanku sesekali, tapi tetap di sana, dan membantu membereskan semuanya tanpa protes.
Ia masih memasang air muka yang sama itu selama kami berhadapan di antara ujung meja panjang sudut kantin Kak Sofie. Seolah siap menertawakanku sewaktu-waktu. Kantin penuh, riuh. Asap rokoknya yang tebal bercampur dengan uap kopi yang sedang mengepul, selagi ia menungguku melanjutkan.
Satu cangkir saja, akhirnya. Persis seperti yang ia mau—aku tahu, oke, dia mendapatkannya, oke?—dan tentang ini aku lebih suka diam.
"Dulu ada yang namanya Edo," lanjutku. "Akuntansi, dua tahun di atasku, satu-satunya jagoan Matematika dan musisi andalan fakultas. Dia pendiri divisi ini, mengetuainya kali pertama. Edo ketemu Coach Amy di sekolah musik Purwacaraka yang pernah ia hadiri beberapa semester. Edo berprestasi, IPK terbaik seangkatannya, penerima beasiswa. Riwayat kemahasiswaannya tanpa cela, maka ia berhasil membujuk dekan untuk memberikan kontrak sebagai pelatih divisi musik kepada Coach Amy. Mulai saat itu, PSM tampil di acara-acara dekanat dan rektorat; wisuda, yudisium, dies natalis, reuni, pelantikan, dan penerimaan mahasiswa baru. Tapi kami hanya nyanyi, itu sebabnya mereka menyebutnya sebagai paduan suara mahasiswa. Bukan divisi musik, bukan band. Hanya Coach Amy, Edo, dan aku yang main gitar dan piano, di beberapa penampilan bila dibutuhkan."
"Itu instrumennya nggak dipakai?" tanyanya, mengulurkan rokok ke jendela agar asap tertiup ke luar.
"Waktu itu belum ada," jawabku. "Tahun lalu, ada kompetisi PSM inter-varsity se-ASEAN di Singapura. Edo bela-belain kampus mengirim tim, semua orang bersemangat. Kami juga beli alat, pedal, amplifier. Divisi memakan anggaran paling besar se-BEM fakultas."
"Tapi kalah?"
Aku mengangguk.
"Edo udah wisuda, kerja di BEJ sekarang," lanjutku. "Bukan soal kalahnya. Tapi, di bulan-bulan terakhir kepengurusan, dia jadi paling susah ditemui. Dia putus sama Ivanna, anggota senior grup vokal, dan mereka... mereka bertengkar hebat sampai papan skor jatuh. Entah siapa yang mendorong siapa. Tapi pokoknya, sejak itu Edo udah nggak mungkin kembali ke PSM lagi."
Lelah sekali menceritakannya. Kutiupi kopiku, lalu menghirupnya sedikit. Edgar menuntaskan hisapan terakhir satu batang rokok lagi, kemudian ikut menyesap kopinya.
"Itu yang terjadi kalau sesama personil terlibat personal. Sudah banyak contoh," tukasku. "Aku nggak mau jadi salah satu contoh itu."
"Ada apa sih, Gwen, dengan radius lo itu?"
"Radius apa?"
"Radius dua lengan di sekeliling lo itu—keeps people away—tanya aja semua orang. Tadinya gue kira itu karena gitar, tapi bukan."
Ia benar-benar lugas, begitu terus terang.
"Itu bola hamsterku."
"Bola hamster...." Ia langsung tertawa.
"Edgar," kuletakkan cangkir kopi, lalu bersandar lebih dekat ke meja. "You can date everyone else, aku yakin kamu sadar itu. Rianna, misalnya. Atau Margaret, atau dua-duanya, bahkan. Rianna itu terang-terangan suka sama kamu, kamu bisa—"
"Are you jealous?"
"What?!"
"Bercanda, Gwen, astaga."
Ia mengeluarkan satu batang rokok lagi. Lalu menyalakannya, merunduk dengan satu tangan yang melindungi nyala api, dan wajahnya, dan memperdengarkan desis tembakau terbakar yang keras. Saat itu baru kusadari kantin sudah sepi. Riuh mahasiswa sudah mereda sejak tadi. Di luar, halaman kampus—taman, pepohonan, setapak menuju GOR—gelap gulita kecuali di titik-titik tertentu yang berisi bola-bola lampu. Kami berbicara lebih lama dari waktu yang kupersiapkan. Aku sudah harus pulang sekarang.
"Lo sebenarnya nggak mau gabung sama band PSM sekarang, kan?" ujarnya, lebih pelan, setelah diam lama. "Kenapa? Karena Edo dan Ivanna?"
Segera, aku pun mengerti jawabnya.
Tak semua orang menyanyi atau bermain musik untuk jadi selebriti, seperti kata Edgar. Tak semua orang bermain musik untuk orang lain. Sebagian dari mereka melakukannya untuk diri mereka sendiri. Mereka lebih suka didengar oleh sedikit orang dan memainkan siapa diri mereka, daripada menjadi orang lain agar didengar banyak orang. Edgar tahu itu.
Sebab, ia salah satunya.
"Kita punya band independen di fakultas," ujarnya lagi, melengkapi segenap jawaban, tanpa kuminta. "The Orange. Gue, Aidan, Isaac, dan Rey. Kami nge-gig di belakang kampus sesekali. Didengar ya syukur, nggak didengar ya udah. Kalo hujan ya, bubar. Tapi kami nggak pernah minta anggaran dari kampus. Dibayar ya syukur, nggak dibayar ya udah. Dan kita main musik kita sendiri."
"Kalian main apa?"
"Well. Bloc Party, The Stone Roses, Mew. Tapi paling sering Radiohead...."
Tentang bola hamster, aku sudah memeliharanya sejak lama.
Kurasa, sejak Papa meninggal, dengan kesepian sejak hari itu yang membuatku terbiasa. Mama pernah bicara tentang 'kadang-kadang sulit bicara sama Gwen' sebab ada sesuatu tentangku yang membuat semua orang takut. Padahal itu tidak apa-apa, bicara saja, aku pasti mendengar. Bila itu penting, aku juga ingin tahu.Namun, barangkali hari itu Edgar benar. Bukan dengan apa yang ia katakan, melainkan dengan apa yang ia lakukan.
Tanyaku, "Aku boleh lihat kalian main kapan-kapan?"
Jawabnya, sambil tersenyum senang, "Tentu kamu boleh."
Barangkali, aku telah merentangkan radius bola transparan itu terlampau jauh. Yang Edgar lakukan adalah menggesek dindingnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Second Best
RomanceIde cerita ini datang dari obrolan dengan Kang Adhit (Adhitya Mulya) pada suatu siang, yang bilang ke saya, "Akan ada selalu ada satu nama yang selalu tertulis di hati dan tidak bisa tertulis di buku nikah." Maka kita sering pada akhirnya berakhir d...