Chapter 2 Satan Is The Opposite of Angel

11 1 0
                                    


Bianka dan aku berjalan menuju kantin yang ramai selesai ujian Sosiologi  pada jam pelajaran kedua tadi. Cukup puas dengan jawaban yang aku tuliskan di lembar ujian Sosiologi, tapi ga mengubah suasana hatiku yang hancur dan benci atas kejadian tadi pagi.

“Ayolah, ga seburuk itu kok.. ga terlalu banyak yang ngeliatin kamu. Plus, bad boy yang nabrak kamu tadi pagi mukanya kayak angel yang jatuh dari surga. Oh..” kagum Bian sambil mengepalkan tangan dan wajah merona merah.

Oh B, aku tahu dibandingkan orang lain manapun kalau ada banyak orang yang ngeliatin aku jatuh dan tadi pagi udah masuk dalam kategori 3 menit paling memalukan dalam hidupku.

“Serius? Kamu masih bisa kagum sama cowok sialan itu meskipun tadi pagi dia udah jatuin aku B? Di depan semua orang dengan makiannya? Angel? More like Satan!

Bahkan luka di lutut dan sikutku masih perih walaupun udah aku obati pakai obat merah di klinik sekolah.

Ketika aku dan Bian duduk di bangku kantin untuk menunggu pesanan makanan kami datang, aku melihat ke lapangan basket yang berseberangan lurus dengan kantin. Lapangan itu dipenuhi oleh jajaran lelaki bermain basket dengan menggunakan seragam sekolah. Sepertinya kakak kelas karena ga mungkin junior kelas X berani ngambil alih lapangan basket dan main sembarangan tanpa pakai seragam olahraga.

Seketika aku ingat Dama, basket adalah salah satu olahraga lainnya yang Dama kuasai selain bola.
Pubertas bukan satu-satunya hal yang akan membuat lelaki berubah secara tiba-tiba menjadi tinggi melebihi perempuan.
Basket adalah salah satu alasan Dama memiliki postur tubuh tinggi.
Tetapi aku udah ga tahu seberapa tinggi postur Dama sekarang.
Seandainya Dama sekolah di SMA yang sama denganku.
I miss him so bad..

Sejauh yang aku ingat, Dama adalah sahabat terbaik dan pelindung hidupku. Aku bersahabat dengan Dama seumur hidupku karena dulu kami bertetangga dan berteman semenjak TK. Tapi kita bukan tetangga lagi semenjak keluarga Dama pindah ke kota lain..

Meskipun aku dan Dama selisih umur 1 tahun, kami udah ga terpisahkan sejak dulu. Dimana ada Dama, disitu ada aku, begitu pula sebaliknya.
Sedari aku masih kecil, aku memiliki tubuh yang dapat dibilang gendut chubby dan menjadi sasaran empuk bagi pembully. Dama menjadi malaikat pelindungku sedari dulu. Aku ga tahu kenapa, tapi layaknya kita diciptakan untuk melindungi satu sama lain, you know..
Mungkin karena kita hampir di umur yang sama dan aku sudah bagaikan adik bagi Dama.

Aku ingat ketika dulu aku menangis karena jatuh dari ayunan di taman bermain dan Dama menghibur aku dengan memegang tanganku tanpa henti sampai aku tiba di rumah.
Dama yang selalu dimarahin oleh ibunya karena berkelahi di sekolah dan aku menangis di depan ibunya agar dia berhenti memarahi Dama.
Dama yang selalu memelukku ketika aku menangis tanpa henti saat ibuku meninggal.

Meskipun saat ini dia ga di sampingku, dia masih segalanya bagiku.

Angel, my guardian angel.

“Rin? Denger ga sih? Hello?” teriak Bian yang membangunkanku dari lamunan siang di kantin.

“Ngelamunin apa coba? Jangan bilang karna tadi pagi kamu jatuh otakmu jadi geser, soalnya lamunanmu kayak orang blo’on.” Aku tersenyum karena omongan Bian.

“Kamu denger ga sih omonganku?” ulang Bian.

“Iya otakku kayaknya geser dan jawaban dari ulangan tadi udah pasti salah semua.” aku tersenyum sambil berbohong.

“Ha-ha lucu. Bukan bagian itu maksudku, aku pengen tau kamu denger ga tadi omonganku yang aku bilang kalau itu cowok yang tadi pagi nabrak kamu sampe kamu jatuh.” sambil Bian menunjuk ke arah lapangan basket yang aku pandang tadi.

Terlihat anak lelaki bermain basket dengan lincah. Berambut cokelat dan bertubuh proposional dengan tinggi badan yang sempurna, rambut acak-acakan karena bermain basket dan hidungnya yang mancung dari kejauhan serta wajah yang kalau bisa dibilang dari kejauhan mirip Chace Crawford versi Indonesia.
But, dari kejauhan. Like.. dilihat dari kejauhan pake sedotan air mineral.

“Dia pasti anak baru, Rin. Soalnya aku ga pernah liat dia sebelumnya. Dan bener kan kataku.. cute.” ujar Bian.

Yup, itu dia setannya.” ujarku tanpa peduli lagi dan mulai makan pesanan yang sudah datang karena aku kelaparan sehabis memeras otak karena ujian Sosiologi tadi.

My AngelsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang