Securah Kata

121 10 43
                                    

 Mungkin hanya aku─dan memang hanya dirikulah yang baru menyadari, bahwa kegelapan terkadang dapat terasa sangat mengerikan. Ketika semua yang kulihat dan kutonton, kini mulai lenyap dalam warna kelam di balik kelopak mata yang terpejam. Indra pendengaranku terasa semakin tajam, menyusuri bunyi-bunyian niskala di sekitarku. Terkadang, terdengar dentuman keras yang berganduh di antara deru derai manusia.

 Dalam keadaan terpejam pun, masih dapat kurasakan suara napas banyak orang berdesir di telingaku. Beberapa sedang sibuk menggenggam pedang kayu dengan lunglai; tanpa tenaga dan tanpa semangat. Mereka mengeritkan gigi, menghantamkan kayu dengan kayu, kemudian melompat mundur dengan kuda-kuda loyo di kakinya. Sementara itu, beberapa lainnya tengah duduk menonton di tepi lapangan, seperti halnya burung parkit yang tengah memandangi majikannya. Dan sebagaimana diriku menangkap segala hal yang terpampang jelas dengan keramah-tamahan yang luar biasa. Sudah cukup puas bagiku untuk bungkam dan menikmati suasana.

Ketika kubuka mataku, pemandangan ini tak kunjung berubah. Sebagaimana terpampang dan terekam jelas di antara lantunan merdu gemersik dedaunan pohon akasia. Diriku menatap lekat-lekat pada sosok lelaki bertubuh gemuk yang tengah berdiri tepat di hadapanku. Lelaki itu punya mata dan rambut berwarna kelabu layaknya orang asia. Dia juga bertelanjang dada, dengan kulit lembu hangat terpaut pada lehernya.

Sementara itu, puncak dari pedang kayu yang ia genggam terus bergetar bak pegas yang naik turun mengikuti gerak pundaknya. Dan dengan tubuh bermandikan keringat, dia hanya bisa bergeming. Sorot mata cokelat penuh keragu-raguan itu masih tertuju padaku.

"Bocah!" Teriakku dengan lantang, "Apa kau takut?"

"T-tidak. Maksudku, t-tidak sama sekali. M-maksudku...!"

"Maksudku? Bah! Cepat majulah, Dasar Babi!"

Setelah mengatakan itu, menarik pedang kayunya dengan sikap siaga. Tampang ketakutan itu masih terpancar dari selarap mata kelabunya. Dan dengan kondisi yang masih gemetaran, dia mulai maju selangkah demi selangkah, mendekat padaku.

Walau dengan demikian, hal itu tak mengubah apapun darinya. Dia tetaplah Si Babi gemuk dengan pipi tembam yang tak berani menyabetkan pedangnya padaku. Dengan bersikap seolah-olah dia mampu menggenggam sebilah pedang kayu, bukan suatu hal yang merubah cara pandangku terhadap dirinya.

"Aku tak dibayar untuk terus berdiri dan memandangmu seharian." Ujarku lebih ketus, "Kalau mau pulang, pulang saja sana! Mereka yang tak mampu mengangkat pedang, tak akan pernah mendapat kesempatan untuk berdiri di negeri ini. Kau tahu! Dasar Babi"

"Aku bukan babi!" Suaranya tersendat, mengikuti napasnya yang tersengal.

"Ya! Kau babi! Dan tak ada babi yang mampu menghunuskan pedangnya ke hadapan ku. Jadi, sekarang, kau mau terus berdiri di sana sambil gemetar ketakutan. Atau mulai mengayunkan pedangmu padaku? Dasar Babi! Dasar Babi!"

"T-tidak bisakah kau diam?"

"Tak bisakah ku diam!" Tukasku seraya mengernyitkan alis, "Oh, aku sudah berlama-lama di sini. Berdiri memandangimu seharian tanpa mengucap sepatah kata pun. Hingga di satu waktu, aku mulai lelah denganmu. Dan, oh, kau bertanya padaku, tak bisakah ku diam? Oh!"

"Bukan, maksudku..."

"Maksudku, Babi! tidak bisakah kita selesaikan masalah kita di sini? Guru sangat tidak suka membuang-buang waktu. Dan begitu pula diriku." Dengan gerakan pasrah, kujatuhkan pedang kayu dari dalam genggaman tanganku. Hingga kayu itu benar-benar meniban tanah, lawanku masih bergeming di tempatnya. Mulutnya melongo, dengan rahang besar berisi lemak yang terbuka; tak mampu mengatakan apapun.

"Tu..,"

"Aku sudah selesai denganmu!" Sergahku dengan suara parau, "Aku jadi penasaran. Apa orangtuamu berada dalam kesulitan finansial? Hei! Jangan melamun terus, Dasar Babi! Aku sedang bicara denganmu. Hei!" Aku mendekatinya, ketika dia mulai menurunkan pedang kayu dari udara dengan gerakan loyo.

Wall of The LinesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang