Ketika manusia telah hidup di bawah tangan-tangan tahayul yang memantrai, mereka akan semakin terjerumus dalam mitos-mitos kuno yang telah usang. Mereka telah kehilangan masa depan, dan tenggelam dalam buku-buku kumuh yang tampak tebal dan juga berat; yang di dalamnya berisi bahasa mahkluk asing dan aksara lidi yang memuakkan. Dan karena itulah aku selalu berpikir, apa aku lahir di zaman yang salah? Dan kurasa jawabannya adalah ya, aku lahir di zaman yang salah.
Dengan langkah berat dan juga pipi lebam, aku keluar dari colosium. Berdiri di tepi jalanan berbatu yang tidak cukup rata, sembari menunggu salah seorang kusir yang kerap kali melintas di daerah ini. Aku melambaikan tangan, lantas satu kereta kuda beratap rendah menghampiriku. Derap langkah kudanya melaju, agak diperlambat kemudain berhenti tepat di hadapanku.
Seorang pria paruh baya dengan jenggot dan kumis lebat, berada di dalam jubah kulitnya yang tampak tebal. Dia punya rahang yang besar, juga rambut ikal panjang menyentuh hampir bahu. Dia juga memiliki kulit yang hitam, selaras dengan matanya yang kelabu. Dan dengan pundak yang lebar, dia menoleh padaku seraya berkata, "Naiklah."
Seperti yang telah dia katakan, aku naik ke atas kereta kuda(di bangku belakang tentunya). Menatap sekitar jalanan ibu kota yang tengah ramai oleh manusia yang saling bertegur sapa. Mereka tampak berseri-seri tatkala musim panas akan segera tiba. Dan bertepatan pula ketika para petani akan memanen gandumnya yang telah menguning di petakan ladang. Ini akan menjadi panen yang besar, andai dia(yang kuragukan keberadaannya) tidak mengganggu.
"Ah, Tuan Muda." Seru orang itu ketika matanya tertuju pada pantulan cermin di samping kereta. Dia berbalik, kemudian bertanya, "Hendak kemanakah kita, Tuan Muda?"
"Desa Seth," Ujarku lantas berdeham. Kalau boleh jujur, aku bukan tripikal orang yang suka dipanggil Tuan Muda. Itu terdengar meresahkan. Aku lebih suka dipanggil 'Nick' sebagai nama baptisku. Dan ketika aku menuturkan itu, beberapa menit kemudian, setiap orang yang bicara denganku akan terkena amnesia dan kembali memanggilku dengan sebutan 'Tuan Muda'.
"Sudahkah anda dengar beritanya?" Tanya sang kusir ketika kereta kami meluncur di jalanan.
Aku mendesah, kemudian berdangka, "Dia?"
"Oh, anda sudah dengar." Dia menghentakkan tali kekang kuda dengan keras, seperti halnya seorang sipir menyabet salah seorang narapidana di penjara. Namun, dengan lebih lihai, pria paruh baya ini mengendalikan emosi kuda. Menyeretnya ke kanan dan ke kiri, melewati bar-bar jalanan yang tampak sepi pengunjung.
"Kudengar mereka menemukan cipratan darah hitam di sekitar mayat," Ujarku ragu-ragu,
"apa itu benar?""Entahlah, Sir. Saya sendiri hanya mendengar berita ini dari orang-orang kota. Beberapa mengatakan bahwa itu hanya dilebih-lebihkan. Tapi sebagian lagi percaya, bahwa dia benar-benar ada di sana─menunggu dan merenggut nyawa orang-orang tak berdosa." Kereta kuda yang kunaiki berbelok ke kiri, menuju gerbang tinggi, perbatasan ibu kota di wilayah selatan.
"Kudengar, Raja mengirim tamtama." Ujar sang kusir menambahkan.
"Tamtama?"
"Yah." Sang kusir mengangguk.
"Si Tua itu! Untuk apa dia melakukannya?"
"Entahlah, Sir. Yang Mulia Raja selalu serius dalam menanggapi segala perihal. Tentunya dia tak mau melihat rakyatnya menderita. Sekarang, duduklah. Kita akan melewati gerbang perbatasan."
Kereta yang kutumpangi sampai di gerbang keluar. Pintu tinggi yang menjelma sebagai jembatan angkat raksaksa dari gundukan kayu yang diikat. Walau jembatan telah diturunkan, sang kusir tetap harus melapor kepada kedua prajurit penjaga gerbang. Prajurit itu bicara singkat, melihatku, lalu membungkuk dengan hormat. Mereka kembali menegakkan tubuh seraya berkata, "Maaf atas ketidaknyamanan ini, Tuan Muda. Semoga selamat sampai tujuan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Wall of The Lines
AbenteuerClara Bavlya, seorang gadis yatim piatu yang harus memikul beban berat dari utang kedua orangtuanya. Dia akan dihukum mati jika tidak segera melunasi pajak negara. Di saat-saat kritis, ia malah teringat soal liontin delima, warisan dari sang ibunda...