Gemeretak pedati bak raib yang berderu di jalanan utama Kota Seth. Tampak olehku, orang-orang berwajah lebar, berhidung pesek dan berkulit kusam sedang menggasak-gasak tanah. Satu di antaranya hampir menyerupai zombie dengan menggulingkan tubuhnya di atas lumpur dan debu. Mungkin karena itulah sebagian besar bangsawan menganggap bahwa orang miskin tak lebih dari sekadar parasit. Mereka tidak berguna dan hanya bisa mengganggu.
Sayangnya, kemiskinan selalu hadir di mana pun sebuah wilayah terbentuk. Seakan-akan mereka menjelma sebagai lumut yang amat kecil; yang hampir tak kasat mata oleh segelintir bangsawan Carinton. Namun pemandangan ini sudah tak asing lagi bagiku. Mungkin karena aku sudah menghabiskan paruh muda hidupku di tempat tak berguna ini, hingga sebagian jiwaku tanpa sadar sudah menerima kehadiran mereka.
Pedati kami melaju, memotong jalan seorang petani gandum berwajah masam dengan pipi kendor seperti bulldog. Tapi Jack tak mempedulikan penampilan atau bahkan kalimat gerutu orang itu. Dia hanya bisa terfokus pada jalan berbatu yang sedari tadi menjadi halang rintang baginya. Tali kekang dan pecut pun seakan menjelma sebagai tongkat sihir. Sebab Jack memainkannya dengan amat lincah dan anggun, sampai-sampai membuat kuda kami terluka karenanya.
"Hentikan, Jack! Hentikan!"
"Ada apa, Tuan Muda?" Tali kekang ditarik secepat mungkin, sehingga kuda betina itu tercekik dan menggeleng keras. Dia menghentakkan keempat kakinya yang kurus akibat gemetar, lantas kembali berdiri tegap seolah tidak pernah terjadi apapun pada tubuhnya.
"Pertama-tama," kataku seraya mendengus kesal, "panggil aku Nickolas! Gelar bangsawan itu tidak berarti apapun di mataku. Lalu yang kedua." Aku mencondongkan tubuh ke depan. "Bisakah kau berhenti bertingkah kasar pada kudamu? Lihatlah mahkluk berkaki empat itu sekarang, dia terluka dan berdarah."
Jack menoleh dengan gerakkan aneh. Matanya yang cekung; yang biasanya tertutup oleh topi lebar nan kusam kini mendelik dalam-dalam. Seolah heran dengan apa yang kukatakan hingga dia mengangkat kedua alisnya secara bersamaan. "Anda tadi bilang apa, Tuan?"
"Aku bilang, kudamu terluka, Dasar Tolol!"
"A-apa saya tidak salah dengar?" gumamnya cukup keras hingga sampai ke telingaku. Raut wajahnya tampak gelisah seolah bercampur dengan aneka rasa tersinggung akibat ucapan Si Tuan Muda. Namun, dia menyembunyikan hal itu dengan amat baik. Sikap dan pembawaannya yang santai meleburkan rasa sakit hatinya dengan amat mudah. "Maaf, Tuan Muda─"
"Nick!" tukasku cepat.
"Maaf, Tuan Nick." Dia mengoreksi. "Tapi ini hanya seekor kuda."
"Bah! Apa bedanya dengan seorang manusia?"
"B-beda! Kedua mahkluk itu berbeda, Tuan Muda. Mana mungkin anda menyamakan derajat suci seorang manusia dengan mahkluk rendahan seperti kuda." Keringat dingin mengucur lambat dari kedua keningnya. "Apa anda...?"
"Kasihan," ucapku singkat. "Aku bisa membayangkan, bagaimana jadinya jika aku dilahirkan sebagai kuda. Mungkin aku bakal diikat, dicekik, dicambuk bahkan dipalu keempat kakinya hanya untuk dipasangi tapal."
"Kalau begitu, yang anda butuhkan hanya berhenti."
"Maksudmu?"
"Maksud saya, anda sebaiknya berhenti membayangkan semua itu. Sangat tidak etis bukan, seorang manusia hebat yang termasyur dan gagah berani seperti anda membayangkan hal konyol seperti, rasanya menjadi kuda? Astaga, ampuni hambamu ini jika telah berkata kasar sampai-sampai melukai perasaan Tuan Muda!"
Aku mendesah keras-keras. "Selalu saja seperti itu! A-nkhuni aku, Ma-aghn ugh ─" Kalimat itu tidak akan pernah selesai. Bagaimana pun, aku terbatuk dengan suara serak dan nyaring sampai-sampai tanpa sadar, kumuntahkan darah kental secara liar. Pedati tua itu jadi tampak sangat mengerikan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Wall of The Lines
MaceraClara Bavlya, seorang gadis yatim piatu yang harus memikul beban berat dari utang kedua orangtuanya. Dia akan dihukum mati jika tidak segera melunasi pajak negara. Di saat-saat kritis, ia malah teringat soal liontin delima, warisan dari sang ibunda...