Lumbung Desa

37 4 5
                                    

 Pernah ada masanya ketika aku hidup di antara dinding kayu lapuk yang lembap dan sunyi. Itu adalah tempat yang sangat gersang, ketika fajar dan rembulan hanya dapat kau lihat dari balik jendela kaca. Suara gemeresik dedaunan, lantunan musik dari serangga jalanan serta gemeretak roda pedati bak raib yang datang dan pergi. Hingga di suatu titik aku sadar, aku benar-benar sendiri.

 Ketika kali pertama aku bertemu dengan gadis itu, aku seolah merasa selama ini telah hidup di balik dinding cermin. Aku terlalu lama terperangkap di dalam bayang-bayang dunia fana. Tanpa sadar, waktu tetaplah berlalu. Mata polos itu kini kembali tertuju padaku setelah sekian lama menghilang. Clara mengenakan celemek putih kusam dan membawa muntu kecil di tangan kanannya. Dan dengan lembut pula, gadis itu mengoleskan sesuatu di pipiku.

"Apa ini?" Tanyaku dengan tidak senang.

"Kencur dan daun sirih, ini ramuan tradisional." Senyuman manis itu terukir di wajah Clara, "Aku pernah dengar dari salah seorang pedagang cina, kalau ramuan ini berkhasiat. Jika mengoleskannya pada luka lebam, maka rasa sakitnya akan cepat berkurang. Sekarang tenanglah, jangan banyak bergerak dulu." Dia kembali mengoleskan ramuan itu hingga terlihat seperti lumpur berwarna hijau di pipiku. Mungkin agak ketebalan, jadi aku mengusap dan membuangnya ke tempat sampah.

 Aku kembali duduk di atas dipan kayu keras, yang telah lama tak kusentuh. Di kala itu pula dedaunan maple berterbaran dari ujung ranting meniban tanah. Dan dengan adegan teater senja yang sudah hampir menyentuh paragraf terakhir, dua puluh lima binar kunang-kunang menyeruak dari balik semak belukar. Mereka melantur rendah bak suluh yang dimainkan seorang mayoret dalam parade.

"Tuan Muda?" Suara lembut nan khas itu kembali hadir, tatkala sedang kurenungkan suasana cantik desa ini setiap kali senja tiba. Clara tersenyum simpul seraya meletakkan sebuah nampan perunggu dengan sepasang cangkir keramik di atasnya. Gadis itu mengambil satu, kemudian ikut duduk di sampingku.

"Maaf kalau aku tidak sopan. Tapi, apa yang kau lakukan di sini?"

"Apa yang kulakukan di sini?" Aku mengernyitkan alis, "Entahlah. Terkadang kita tidak tahu, kan, apa yang sebenarnya kita lakukan."

"Bukan kita," Katanya dengan datar, "tapi kau."

"Aku? Yah, benar! Kau benar!" Tukasku agak ketus, "Terkadang aku tidak tahu apa yang sebenarnya kulakukan. Yah, benar sekali!" Kuambil secangkir teh hijau itu dan menyeruputnya hingga habis. Itu minuman pelepas dahaga yang nikmat. Dengan perlahan, kukembalikan cangkir itu di atas nampan.

"Kamu tidak pernah berubah, ya?" Suara Clara terdengar lebih halus.

"Ya, tidak pernah. Bahkan tidak sejak terakhir kali kita berjumpa. Dan," Aku memalingkan badan, "aku terkejut kau masih menyimpan bunga dahlia itu di kepalamu."

"Bunga dahlia?"

"Itu." Aku menunjuk jepit rambut di kepalanya.

"Ah, ini?" Clara melepas mahkota dahlia itu dari rambutnya. Dia menatapnya sejenak, seperti sedang bernostalgia. Kemudian, dengan kedua telapak tangan yang masih terbuka, dia menyodorkannya padaku, "Aku selalu menyimpanya. Hampir ketika kau tidak pernah lagi mengirim surat, aku masih bisa merasakan dirimu ada di sini. Duduk sambil menerawang ke ladang-ladang gandum di seberang lumbung."

"Dan sepertinya, kau harus menyimpan ini lebih lama lagi." Kukatubkan kedua tangannya dan mengembalikannya dengan lembut. Clara tidak terlihat terkejut ketika aku melakukan itu. Dia hanya tersenyum, kemudian kembali memasangnya di kepala. Kini dia benar-benar terlihat seperti setangkai kembang desa.

"Terimakasih," gumamnya hingga sampai di telingaku.

"Soal apa?"

"Eh!" Gadis itu terkejut, "Um... k-karena kau baik. Itu saja."

Wall of The LinesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang