Aku perlahan menyusuri tangga lantai empat universitas. Langkah kakiku mulai lemas dibuatnya. Delapan belas anak tangga dikali empat lantai sukses membuatku ngos-ngosan ketika sampai ke perpustakaan.
"Memang, sih, kampus terkenal, tapi ada saja bobroknya." Aku mendengus sambil mengutuk dalam hati. Masih terbayang-bayang tulisan "LIFT RUSAK" terpampang jelas di dua pintu lift Gedung A yang membuatku harus naik turun tangga seharian ini. Bukan, bukan karena berat badanku yang berlebihan atau bagaimana. Malah bisa dibilang akulah yang paling kurus di antara teman-teman dekatku (aku mahasiswi semester tiga dan beratku hanya 48 kilogram!).
Ini karena fisikku memang terbilang sangat gampang lelah. Itulah mengapa dari kelas satu sekolah dasar sampai kelas tiga SMA, aku sangatsangatsangat membenci pelajaran olahraga.
Beruntung di perkuliahan, pelajaran olahraga hanya diberikan di semester awal. Tapi akibat sudah lama tidak menggerakan badanku, juga jarang menggunakan tangga (iya, aku sangat bergantung pada lift), badan terutama kakiku jadi mudah lelah seperti ini.
"Harus cepat, harus cepat." Aku mempercepat langkah kakiku.
Ada satu buku yang harus kupinjam demi menyelesaikan tugas labolatorium. Jumlah buku itu tidak banyak, jadi aku khawatir akan kehabisan dan itu membuatku harus meminjam dari orang lalu memfotokopinya. Ugh, aku tipe orang yang sangat tidak suka baca fotokopian hitam putih tebal-tebal!
Pintu perpustakaan kudorong pelan, menghindari segala bunyi-bunyian tidak diinginkan yang bisa membuatku dimarahi oleh Ibu Hye, penjaga perpustakaan.
Suasana perpustakaan cukup ramai, namun tidak ada suara obrolan sama sekali, seperti sedang upacara. Yang ada hanya suara lembaran buku dibalik dari sana-sini dan suara keyboard komputer yang sedang digunakan oleh Ibu Hye di mejanya.
Perpustakaan universitas kami sangat besar. Terdapat dua lantai di mana tersusun ribuan buku dalam ratusan rak kayu halus berwarna coklat. Rak kayu tersebut kelihatan mengilap disinari matahari yang berasal dari jendela tinggi dan lebar di kedua sisi perpustakaan. Chandelier mewah yang terletak di langit-langit perpustakaan menambah kesan 'Hogwarts' di perpustakaan ini.
Jangan mengataiku berlebihan saat aku membanggakan perpustakaanku ini, kalian akan kaget sendiri kalau datang ke sini. Percayalah!
Aku menuju meja Ibu Hye untuk menanyakan letak buku yang kucari, "Siang, Bu, maaf saya mengganggu. Farmakologi di rak mana, ya?" tanyaku setengah berbisik.
"Lantai satu, bagian E nomor 32. Hari ini banyak mahasiswa Farmasi yang menanyakan itu. Kalian ada tugas?" Ibu Hye memalingkan wajahnya dari layar komputer, menatapku dari kacamata bulatnya.
Aku mengangguk kecil sambil tersenyum. "Iya, kami dapat tugas labolatorium. Terima kasih, Bu. Saya duluan," ucapku melangkah pergi.
Langkah kaki menuntunku ke bagian belakang lantai satu, di mana bagian E berada. Tidak jauh dari sana, kulihat beberapa teman seangkatanku sudah memegang buku itu. Ketika pandangan kami bertemu, kami saling melambaikan tangan, dan aku langsung berlari kecil mendekati mereka.
"Masih ada? Bukunya?" tanyaku sedikit panik.
"Sepertinya tinggal satu. Buruan, gih. Kami duluan, ya!"
Tanganku membuat gestur 'ok' dan kembali melambaikan tangan kepada mereka seraya berjalan mendekati rak bagian E.
Betapa senangnya aku ketika melihat satu-satunya buku berjudul "FARMAKOLOGI DASAR" di sana.
Saking senangnya, aku tidak menyadari kalau ada seseorang di sampingku. Belum sempat aku menyentuh buku itu, ia sudah meraih buku itu ke dalam genggamannya.
Otomatis kami saling berpandangan.
Rubah?
Ah, bukan, bukan. Dia hanya seorang laki-laki yang kira-kira sepuluh sentimeter lebih tinggi dariku, dan bermata sipit, sampai-sampai aku mengira dia adalah rubah tibet...
Omong-omong, cara kami berpandangan bukan ala-ala drama ketika laki-laki dan perempuan merasakan cinta pertama-di mana mereka berpandangan berlama-lama lalu entah dari mana muncul background song yang romantis.
Jelas tidak seperti itu.
Aku bertemu mata rubah itu, bahkan tidak sampai dua detik, ia sudah mengalihkan pandangannya pada buku di genggamannya, lalu pergi begitu saja. Tidak tersenyum. Tidak berkata apa-apa. Seakan-akan aku yang tadi di sebelahnya ini hantu atau semacam benda mati yang tak berguna.
Aku bahkan berdiam diri sejenak, kaget atas tingkah Si Rubah barusan.
Halooooooo, aku tak tahu kau siapa tapi bisakah setidaknya kau katakan maaf?
Jengkel. Entah aku jengkel karena aku tidak dapat buku dan harus bertemu lagi dengan fotokopian hitam putih atau jengkel karena Si Rubah tadi tidak punya sopan santun.
Dengan lesu, aku berjalan kembali menuju pintu depan perpustakaan yang terletak persis di sebelah meja penjaga perpustakaan. Dari jauh kulihat Si Rubah sedang mencatat namanya di buku peminjaman yang diserahkan Ibu Hye.
Tidak mau bertemu dengannya lagi lantaran kesal, aku memutuskan berpura-pura melihat-lihat buku di rak di sampingku-padahal dari sudut mataku, aku memperhatikan dia.
Barulah ketika ia menutup buku, meletakkan pulpen, dan memasukkan buku yang ia pinjam ke dalam tas ranselnya lalu pergi, aku mendekati meja Bu Hye.
"Bu, bukunya sudah habis di rak, ternyata. Apakah benar-benar tidak ada lagi?" tanyaku masih penasaran.
"Kalau sudah tidak ada di rak, berarti memang sudah habis. Saya juga belum mendapatkan pengembalian buku itu hari ini. Barusan sekali, ada yang meminjamnya."
Raut wajahku benar-benar lesu sekarang.
"Tapi saya heran, anak yang tadi meminjam..." Bu Hye sedikit menyerngit menatap buku daftar peminjaman.
"Ada apa, Bu?"
"Untuk apa mahasiswa Jurusan Musik meminjam buku Farmakologi?"
"Eh?" Aku mengerutkan dahi.
Dia Jurusan Musik? Mau apa dengan buku berbau sains!? Apa tadi dia salah baca judul buku karena matanya yang terlalu kecil?
Aku keheranan. Please, deh, kau tidak akan bisa menemukan not balok di dalam buku Farmakologi! Ah, mungkin juga ia hanya sekedar iseng membacanya? Bosan dengan musik dan teorinya?
"... Yongguk." Suara Bu Hye membuyarkanku.
"Maaf?"
"Yongguk. Nama anak itu Kim Yongguk."
KAMU SEDANG MEMBACA
Butterfly (Kim Yongguk)
FanfictionHari itu adalah hari paling membahagiakan. Hari di mana untuk pertama kalinya aku bertemu Kim Yongguk; dia yang kemudian tanpa jeda menghias hari-hari awamku, dia yang membuat segala yang buruk tak pernah terlihat buruk. Dia sempurna. Saking sempurn...