tiga - mimpi (buruk)

55 9 10
                                    


"Tidak ayah! Jangan!!"

"Ini hukuman karena kau tidak mau mengalah kepada adikmu! Rasakan ini" sang ayah terus memukul tubuh sang gadis kecil yang ketakutan.

"Sakit! Aku tidak salah ayah.. dia.. dia.. akhhh"

"Cepat kurung dia!" Ucap sang ayah setelah puas memukuli anak perempuannya itu.

"Baik tuan" seorang pengawal menarik lengan sang gadis kecil. "Ayo nona!" bentak sang pengawal sembari terus menarik tubuh kecil sang gadis.

"Tidak! Ayah! Lepaskan!! Ayah!!"














"Akhh" Arista memegang kepalanya yang terasa sakit. Mimpi buruk lagi yang selalu ia temui.

"Arista? Kau baik-baik saja?" Tanya seorang lelaki yang sedari tadi memperhatikan Arista.

"Bukan urusanmu" Arista membuang wajahnya. Ternyata ia tertidur didalam kelas lagi.

"Wajahmu tampak pucat, apa perlu kuantarkan ke UKS?" Ucap lelaki itu lagi.

"Kau sungguh menyebalkan, Glenn" sekarang Arista menatap dingin lelaki bernama Glenn itu.

"Yah mau bagaimana lagi.. aku memang seperti ini Arista" jawab Glen sembari mengeluarkan senyuman hangatnya.

"Hah..." Arista kembali meletakkan kepalanya keatas meja. "Menyebalkan"

Pelajaran sudah dimulai.

"Arista! Sudah berapa kali ibu katakan! Jangan tidur didalam kelas!!" Bentak wanita tua yang sedang menjelaskan sesuatu didepan kelas.

Terdengar seluruh kelas tertawa mengejek.

"Hm.." Arista sudah terlalu biasa ditertawai seperti ini. Sekarang ia sudah dalam posisi siap belajar walaupun matanya masih terlihat sayu.

◾◽◾

Bel pulang sudah berdering dari tadi. Arista masih berajalan santai menuju rumah sederhananya. Ia baru saja mampir ke sebuah minimarket untuk membeli beberapa kebutuhan.

Cahaya orange mulai menghiasi langit sore. Sebentar lagi kegelapan akan datang. Benar, karena malam hari selalu mengingatkan Arista tentang kelamnya hidupnya selama ini.
Arista sedih?
Tidak...
Ia bahkan sudah lupa bagaimana cara menangis.

Lampu-lampu jalan mulai mengeluarkan cahayanya. Banyak orang yang berlalu lalang. Arista sadar kalau saat ini ia tidak sendiri.
Ada seseorang yang sedari tadi mengikutinya.

Sekarang Arista sudah berada disebuah gang kecil dan sepi. Ia sengaja memilih tempat sepi untuk memancing para ekor itu keluar dan menunjukkan tampang mereka.
Benar dugaannya. Ada sekitar dua orang bertubuh kekar memakai sebuah jubah hoodie hitam.

"Well.. akhirnya kalian keluar juga" Arista menatap mereka dengan penuh ejekan.

Dua orang itu tak menjawab, mereka langsung menyerang Arista, salah satu dari mereka dengan sebuah pisau. Melemparkan pisau dengan lihai kearaha Arista, dan satunya lagi menembaki Arista menggunaka pistol.
Dengan cepat Arista menghindari semua serangan itu. Arista memang terlihat seperti gadis lemah. Tapi jangan salah, karena ia dibesarkan dengan sebuah kekerasan.

Arista berhasil menghabisi lelaki pistol menggunakan pisau kecil yang selalu ia bawa di bawah rok sekolahnya, tapi ia lengah saat lelaki pisau mulai menerjang Arista dengan pisaunya. Ia tidak memiliki waktu untuk menghindar dari terjangan pisau yang sebentar lagi akan menembus perutnya. Arista sudah pasrah dan menutup matanya.



Suara nyaring terdengar diantara kedua besi yang saling bergesekan. Arista refleks membuka matanya dan melihat seorang pria berada tepat dihadapannya menangkis serangan pisau menggunakan pedang panjangnya. Lelaki itu sudah menghunuskan pedangnya pada lelaki pisau yang saat ini sudah tergeletak penuh darah.

"Anda baik-baik saja nona?" Tanya lelaki itu.

"Aku sungguh baik, Caster"

◽◾◽

Sekarang kedua orang itu sedang duduk berhadapan sembari mengesap sebuah teh. "Jadi.. untuk apa kau kesini?" Tanya Arista datar.

Caster meminum tehnya. Kemuadia menatap Arista jengkel. "Tentu saja melindungimu nona"

"Aku bisa menjaga diriku Caster, aku sudah sering bilang begitu"

"Saya tahu, tapi jika tadi saya tidak datang, saya yakin sekarang anda bisa mati"

"Bukankah itu bagus, aku jadi tidak perlu bunuh diri untuk mati bukan?"

"Saya tidak akan membiarkan anda mati dengan sia-sia" sekarang Caster mulai berdiri dan membawa cangkir tehnya.

Arista hanya menatap nanar punggung pelayannya itu. Pelayan? Apakah Caster pantas dipanggil pelayan?
Arista sudah bersama Caster sedari ia lahir ke bumi. Caster lah yang selalu melindungi Arista, sampai adik tirinya meminta agar Caster berhenti menjadi pelayan Arista dan beralih menjadi pelayannya.
Mereka berbeda jarak 7 tahun. Cukup jauh memang, karena itu Arista dulu lebih mengganggap Caster sebagai kakak, bukan pelayan

"Apa anda sudah selesai meminumnya? Agar aku bisa mencuci gelasnya." Ucap Caster yang sekarang berdiri disamping Arista.

"Tidak perlu, aku bisa melakukannya sendiri"
Arista berdiri dan mengabaikan Caster. Ia berjalan untuk mencuci cangkir tehnya.

"Nona, dua orang tadi suruhan pamanmu. Mereka sudah tau dimana kau bersekolah, tinggal menunggu waktu saat mereka akan membakar rumah ini bersamamu didalamnya" ucap Caster panjang lebar.

"Bukankah itu bagus, kau tidak perlu membelikanku peti mati karena diriku sudah menjadi abu"

"HISTORIA!" teriak Caster geram. Ia sedih melihat Historia kecilnya harus menjadi robot tak berperasaan yang selalu menginginkan sebuah kematian.

"Itu---bukan namaku" Arista menuju kamar tidurnya. Ia cukup lelah hari ini.
Saat ia mencoba memutar kenop pintu, tiba-tiba tangan hangat merengkuhnya masuk kedalam pelukan.

"Historia, sekarang kau tidak sendirian, maaf karena dulu aku meninggalkanmu. Kumohon kembalilah" bisik Caster tepat ditelinga Arista.

Hati Arista tak bergeming. Bahkan ia tak membalas pelukannya itu.
"Lupakan masalalu. Dan jangan memanggilku Historia karena sekarang namaku Arista."








Tbc

Gomen kependekan :v

Lost HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang