Delivered | 21 Apr 17

3.9K 497 24
                                    

Perayaan hari kartini digelar seperti tahun-tahun yang lalu. Ada berbagai lomba yang wajib diikuti oleh setiap perwakilan kelas. Kalau tidak, siap-siap saja para panitia keesokan harinya akan menagih denda yang nominal angkanya tidak kecil.

Arfan memerhatikan ke arah lapangan yang sekarang sudah disulap menjadi beberapa stan untuk bazar dan di tengahnya terdapat panggung yang lumayan besar.


Ketika Satria melambaikan tangan ke arahnya, tanpa pikir dua kali Arfan langsung menuju ke sana. Ke tempat stan bazar kelasnya yang Arfan tidak tahu apa yang dijual mereka.

Arfan memerhatikan beberapa panitia yang mulai berlalu-lalang sambil berdiri di antara Satria dan Derina yang sedang sibuk mendekor meja bazar.

"Eh, si Ina sama Geri nomor urut dua. Jangan lupa nanti ke depan panggung ya!" kata Sheren--teman kelas mereka yang Arfan yakini Sheren habis dari ruang kumpul peserta.

"Iya, Sher, tenang aja," balas Derina sambil menyeka beberapa bulir keringat yang menempel di dahinya. Memang, memakai kebaya seperti ini membuat keringat cepat keluar, walaupun hanya bergerak sedikit.

"De, bazarnya nanti tinggal aja. Gue udah minta tolong orang buat jaga," kata Sheren lagi dan dibalas dengan anggukan.

Acara sudah dimulai. Murid-murid mulai berhamburan mendekati panggung dengan tak sabar. Pasalnya, lomba berpasangan ini memang selalu ditunggu setiap tahun. Masing-masing kelas wajib mengeluarkan putra-putri terbaiknya untuk mengikuti lomba ini.

Tidak jarang yang mengikuti lomba ini memang orangnya sangat good looking dan terkenal sebelum-sebelumnya.

Sambil berjalan dengan Satria dan Derina, Arfan kembali memerhatikan sekitar. Seketika pikirannya melayang pada SMS-nya si Dei. Arfan tidak tahu Dei itu nama samaran atau nama asli. Tapi nggak mungkin juga kalau nama asli. Sama aja bunuh diri dong.

Balik lagi, katanya Dei-Dei itu memakai kebaya berwarna biru. Pintarnya Dei dan bodohnya Arfan, Dei tidak memberi tahu warna biru yang lebih spesifik. Karena sejujurnya di sini--tengah lapangan, Arfan melihat banyak sekali perempuan yang memakai kebaya biru. Mulai dari biru terang sampai biru gelap.

Bodohnya Arfan adalah ia tidak menanyakan. Bahkan ia melupakan fakta bahwa perempuan jika menyangkut soal warna tidak bisa ditolerir. Gini, para kaum adam melihat warna biru ya biru. Entah itu biru muda atau biru tua, ya tetap aja biru.

Beda dengan kaum hawa, ada biru tua, biru muda, navy, sampai biru tosca.

Ah. Bahkan kadang, tosca saja mereka bingung mau memasukan di warna biru atau hijau.

Derina yang berdiri di depannya saat ini juga memakai kebaya berwarna biru muda dengan bawahan berwarna coklat tua. Kalau dipikir-pikir, menurut Arfan, Derina nggak mungkin jadi si Dei-Dei itu.

Tanpa pikir panjang, Arfan mengeluarkan ponselnya dari saku baju batiknya saat ini. Membuka fitur pesan dan melihat SMS dari Dei tengah malam tadi.

To: dei [0857331566xx]

Permintaan lo terkabul. Yg pake kebaya biru di sini banyak. Kemungkinan emang gue nggak ditakdirin untuk tahu, lo itu siapa.

Setelah pesan itu terkirim, Arfan memasukkan kembali ponselnya. Kini fokus Arfan menuju atas panggung.

Di sana, Ina dan Geri berdiri sambil sesekali tersenyum ke arah teman-teman kelasnya sendiri. Bahkan, Derina yang tadi anteng kini mulai teriak seperti cacing kepanasan.

Ina dan Geri tampak serasi. Baju keduanya memiliki warna senada, yaitu biru gelap. Sangat kontras dengan kulit keduanya yang sama-sama putih.

Satu tahun lalu,

Yang berdiri di atas sana, adalah Ina dan dirinya.

Mengetahui fakta bahwa Ina sekarang bersama Geri yang berdiri di sana, entah kenapa hati Arfan terasa sakit.

Padahal sakit yang ia rasa adalah akibat dari kemauannya sendiri.

[]

The MessagesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang