"Gue nggak bermaksud berubah, Na." Arfan kembali duduk di depan Ina sehabis membayar pesanan mereka. Tatapan Arfan yang semula datar berubah menjadi lembut. "Gue cuma merasa bersalah."
"Hah? Bersalah karena apa?"
Arfan berdehem. "Gue bilang suka sama lo. Itu yang bikin gue ngerasa bersalah."
"Itu nggak salah sama sekali Zharfan. La -"
"Gue ngomong gitu karena mikir bikin gue lega aja. Emang setelah itu gue ngerasa lega, tapi gue lupa kalo akan berdampak pada persahabatan kita, Na. Dan itu membuat gue merasa bersalah."
"Gue masih nggak ngerti. Mana letak salahnya, Fan? Perasaan itu nggak ada yang salah."
Mereka berdua masih berpandangan dengan raut muka yang sulit dijelaskan. "Gue merasa bersalah banget ketika lo juga menanggapinya dengan serius. Sedangkan gue mau menghapus perasaan konyol itu."
"Jelas gue juga serius lah! Orang gue juga suka sama lo, Fan," semprot Ina tanpa sadar.
Kedua alis Arfan bertaut. Sedangkan Ina mengusap keningnya yang mulai pening. "Lo emang nggak se-peka, itu ya," lanjut Ina dengan santainya.
"Dan lo se-enggak malu itu, ya."
"Bodo amat. Tapi kenapa harus ngejauh sih, Fan? Lo tau sendiri gue nggak bisa jauh-jauh dari lo."
"Karena itu satu-satunya cara biar gue lupa sama lo, Na."
"Dan akhirnya, gimana?" tanya Ina sambil tersenyum miring.
Arfan tahu, tanpa dijelaskan pun, Ina sudah tahu bahwa perasaan untuk dirinya masih ada sampai sekarang. Namun, jelas gengsi Arfan lebih besar dan ia lebih memilih berbohong. "Lo seharusnya udah tau jawabannya. Karena kemarin gue juga udah bilang."
"Bagian yang mana? Masa lalu?" tanya Ina sedikit menantang.
Tatapan Arfan berubah datar kembali. "Tuh lo tau."
Bukannya sedih, Ina malah cengengesan melihat ketidakjujuran Arfan. Ina heran, kenapa gengsi Arfan itu se-gede itu? Sampai-sampai besarnya perasaan tertutup oleh besarnya gengsi.
"Fan."
"Apa, lagi?"
"Asal lo tau. Kadang, masa depan juga ada di belakang."
Arfan berkedut menahan senyum. Ina yang melihat itu hanya mampu menyengir tak berdosa dan ingin sekali berkata, "Mampus, makan tuh gengsi!" Tapi, Ina sadar diri dan tidak ingin merusak suasana.
Ina mengikuti Arfan yang sudah berdiri. Kemudian, dengan senang hati Ina menerima uluran tangan dari Arfan.
Mereka berdua berjalan meninggalkan mie ayam Pak Min dengan senyuman yang terpasang di bibir masing-masing. Tangan mereka masih berkaitan satu sama lain seraya menyusuri jalan setapak dengan ditemani bintang-bintang di atas langit.
[Selesai]
KAMU SEDANG MEMBACA
The Messages
Короткий рассказFrom: 0857331566xx Sejujurnya, gue nggak pernah ngelakuin hal yang se-gila ini. Cukup jadi orang yang sms lo setahun sekali itu udah cukup bagi gue. Kalo lo tanya, terus kenapa gue sms lo sekarang padahal ulang tahun lo udah lewat minggu lalu, gue j...