Bab 2 - Kado Untuk Abigail

8.9K 1.2K 47
                                    


Audi's

Ting tong. Ting tong.

Bel rumah berbunyi dua kali dengan nyaring dan tergesa-gesa. Pasti Gema. Cuma dia yang akan membunyikan bel rumah dengan cara tidak sabaran seperti itu. Antara usil, atau memang dia sedang kebelet buang air.

Aku bergegas menghampiri pintu, memutar kunci logam keemasan dalam dua kali sentakan, kemudian pintu terbuka. Wajah suamiku terpampang dengan ekspresi malas-malasan.

"Lagi ngapain, sih, kamu? Lagi buang air, ya, makanya lama bukanya?" Gema mendorong pintu lebih lebar agar tubuhnya dapat masuk. Aku memutar bola mataku mendengar pertanyaan Gema, membiarkan Gema mengunci pintu depan, kemudian kembali berkutat di depan TV, menonton siaran langsung sidang kasus pembunuhan berencana salah seorang anggota DPR.

"Gimana, tadi? Orangnya jadi mau beli tulang?" tanyaku tanpa mengalihkan perhatianku dari layar kaca datar berukuran 85 inch.

Gema berdiri tiga langkah dari TV, sedikit menghalangi pemandanganku dengan gerakannya melepaskan dasi dan kancing kemeja satu per satu. Sesaat Gema memandangi layar televisi.

"Yang, ini pembunuhnya udah ketangkap?" tanya Gema penasaran.

Aku mengangguk. Kemudian melirik Gema yang kini telah melepaskan kemeja putih polosnya dan menyisakan singlet dengan warna senada.

"Yang, aku nanya, lho," sergahku tak sabaran.

"Apa? Kamu nanya apa, tadi?" Gema berjalan mendekatiku. Ia duduk di sampingku dan menyelonjorkan kakinya. Satu tangannya terentang menguasai sandaran sofa.

"Tadi siapa yang mau beli tulang? Jadi beli, nggak?" aku mengulangi pertanyaanku.

Gema menoleh. "Hah? Oh, anaknya temannya Pak Suherman, Yang."

"Memang mobilnya dia apa?" tanyaku lagi.

"Mazda 2, persis punya Mama."

"Terus, harganya cocok? Jadi beli?"

Gema mengembuskan napas panjang. Ia merentangkan tangannya, melakukan sedikit peregangan.

"Jadi, kayaknya. Cuma dia bilang baru bisa transfer minggu depan sekalian ambil peleknya, soalnya minggu ini dia ada keperluan ke Singapore buat berburu bazar... apa, ya, tadi? Kayak kamu, gitu, deh orangnya. Demen belanja!"

Kepalaku mundur beberapa senti. Keningku ikut-ikutan mengerut seperti Gema. "Yang beli perempuan?" tanyaku agak terkejut. Mati-matian aku berusaha menyembunyikan nada curigaku. Berharap intonasiku terdengar cukup riang dan bersahabat seperti sebelumnya.

Untuk beberapa detik, Gema terlihat sedikit panik. Tandanya terlihat dari gerakan tangan Gema yang menggaruk-garuk alisnya --aku yakin sebenarnya tak gatal. Sebenarnya, Gema bukan tipe orang yang pandai berbohong. Kalaupun dia berusaha menutupinya, suatu saat hal itu pasti akan kuketahui. Teori ini sudah teruji beberapa kali selama tujuh tahun masa hubungan kami. Seperti sekarang, saat dia keceplosan mengisyaratkan kalau cutomer-nya sore tadi berjenis kelamin perempuan.

"Iya. Perempuan, Yang," aku Gema pada akhirnya.

Tarik napas, Audi. Sabar....

Aku mengulaskan senyum di wajahku. Sebisa mungkin terlihat seperti seorang istri yang memang sedang menanyakan kegiatan suaminya hari ini, seperti pasangan normal lainnya.

"Oh, ya? Cantik? Masih muda?" Aku bertanya lagi. Nada suaraku terdengar semanis lelehan karamel yang dicampur dengan sianida, mematikan. Nyamuk sekalipun tak akan berani berada dalam radius tiga meter dariku. Gema tak berkutik.

The Bridesmaids Tale #3: Bed of LiesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang