Audi's
"Sabar, Di... Namanya juga emosi sesaat. Nanti juga pasti baik lagi, kok."Sambil mengiris-iris wortel, sesekali mata Lana awas memperhatikan Nara yang sedang bermain di halaman belakang bersama Bono, kucing persia peliharaanku.
Tadi pagi, tepat pukul sembilan, setelah mengajukan cuti dadakan, aku langsung melakukan panggilan emergensi kepada Lana dan Kaia. Namun, berhubung cuma Lana yang punya waktu luang paling fleksibel—secara dia itu ibu rumah tangga full time—jadilah hanya Lana yang berhasil kuseret datang ke rumahku berserta buntutnya, Nara.
Sewaktu tiba di rumahku, bocah keriwil bermata besar itu langsung memeluk kakiku tepat ketika aku membuka pintu seraya berseru nyaring. Sapaan yang tak pernah absen diucapkannya.
"Moning Onti Udih!"
Sambil menggoyang-goyangkan kepalanya ke kanan dan ke kiri, setelah itu ia melepaskan pelukannya, dan mulai berlari ke sana kemari, nyaris menumpahkan segelas jus apel yang kutaruh di meja makan sebagai menu sarapan.
"Gue nggak habis pikir aja, Lan, kenapa Gema mesti bahas-bahas ke arah sana. Padahal kan ini memang udah komitmen kita sejak sebelum nikah. Gue udah bilang dengan sangat jelas dan tegas kalau gue mau nunda punya anak karena gue mau ngejar karier dulu. Nggak lama, kok. Tahun depan juga gue yakin dapat promosi."
Aku menarik napas panjang. Membantu Lana mencuci sayuran untuk makan siang kami. Sebelum datang ke sini Lana sempat berbelanja beberapa bahan makanan karena waktu di telepon tadi pagi aku mengaku belum sempat membeli sayuran segar di supermarket. Dan, berhubung pada dasarnya jiwa ibu rumah tangga Lana sangatlah kuat, Lana hampir berteriak histeris melihat kondisi kulkasku yang dipenuhi makanan cepat saji.
"Gila, gila, gila. Kondisi kulkas lo gawat darurat banget!" omelnya seraya mengacak-acak isi kulkasku. Beberapa kantung makanan beku serta makanan kemasan mendadak bertebaran di sekitar kulkas.
"Hobinya Gema," sahutku acuh tak acuh sambil bermain-main dengan Nara.
Sekarang Nara sibuk bermain dengan Bono, giliran para ibu rumah tangga meeting.
"Udah. Mungkin kalian sama-sama lagi capek aja dengan pekerjaan masing-masing. Gue yakin, kok, habis ini Gema pasti baik lagi. Cuma emosi sesaat itu."
"Ya, pasti begitu. Cuma omongannya itu nyakitin tau, nggak," keluhku sambil masih berkutat mencuci sayuran.
Tepat sedetik setelahnya, bel pintu rumahku berbunyi. Keningku mengernyit heran. Seingatku, baik aku maupun Gema tidak melakukan transaksi belanja online dalam waktu beberapa hari belakangan. Aku lantas menyisihkan sayuran ke dalam baskom, mengeringkan tanganku, kemudian berjalan ke pintu depan dengan sedikit tergesa-gesa.
Bel berbunyi sekali lagi. Pintu terbuka tepat ketika suara bel belum berakhir. Kutemukan Imam, Rama, dan Kevin berdiri di belakang Gema. Mereka tampak tertawa-tawa sebelum akhirnya menemukanku dalam keadaan kucel berbalut kaus santai dan celana pendek selutut.
"Oi, Di," sapa Kevin yang diikuti Rama dan Imam, mengekori Gema yang telah lebih dulu masuk ke dalam rumah.
Aku menutup pintu. Mengikuti jejak mereka menuju ruang keluarga.
"Kok..., kalian nggak pada kerja?" tanyaku bingung. Melihat para lelaki itu langsung dengan santainya berselonjor di sofa bed dan menyalakan televisi. Kevin menguasai remote, mengganti-ganti saluran televisi, Rama langsung menyandarkan tubuh dengan santai, berniat memejamkan mata, sementara Imam langsung bangkit dari sofa dan mulai mengoprek isi kulkasku. Aku berdecak seraya geleng-geleng kepala. Para lelaki itu memang menganggap rumahku dan Gema selayaknya basecamp mereka sendiri. Tak heran, aku pun tak keberatan.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Bridesmaids Tale #3: Bed of Lies
RomanceAudi's: Lelaki itu nggak ada yang bisa seratus persen dipercaya, bahkan ketika dia adalah suami lo sendiri. Gema's: Sealim-alimnya pria, pasti ada khilafnya. Bukan nggak sayang, cuma godaan. Meet Audi, pengacara supersibuk yang akan memperjuangkan...