Bab 3 - Ulang Tahun Abigail

8.1K 1K 31
                                    

           

Gema's

Gue dan Sugil itu ibarat air dicincang tiada putus. Dalam sebuah keluarga tidak akan tercerai-berai hanya karena perselisihan aja. Bagus, ya, bahasa gue? Barusan gue baca peribahasa dari internet--gara-gara semalam bini gue bilang gue mesti belajar peribahasa Indonesia setelah salah mengartikan omongan beliau. Si Ibu Negara kesayangan gue itu kadang nggak ada bedanya dengan seorang editor atau bahkan guru Bahasa Indonesia.

Gue, Imam, dan Kevin udah temenan dari orok. Kalau cuma berantem-berantem karena persoalan kecil, sih, biasa. Namanya lelaki, kalau nggak pernah berantem, perlu dipertanyakan pipisnya jongkok atau berdiri. Banyak banget hal yang gue laluin sama dua kunyuk ini. Dulu kita suka naik sepeda bareng, dari siang bolong sampai menjelang maghrib. Gue paling nggak berani mulangin Kevin lewat dari jam setengah enam sore. Bukan apa-apa, Ibunya Kevin itu kalau kejamnya disejajarkan dengan Hitler mungkin kastanya jauh lebih tinggi. Pernah sekali kita baru pulang main bola setelah adzan maghrib, dari ujung gang rumah, tampak sibuk mondar-mandir, bagaikan Jenderal pemimpin perang yang siap membombardir sekompi penjajah, dengan sebatang ranting pohon berukuran sedang di tangan, Bu Koce--nama aslinya susah, mesti bersilat lidah ngucapinnya--dengan tampang garangnya itu menggaung-gaungkan nama Kevin bahkan sebelum kami berada dalam jarak lima puluh meter. Gue nggak heran kalau Kevin sampai pipis di celana waktu ngeliat Ibunya nyamperin kita sambil mengayun-ayunkan ranting pohon di tangan. Gue sendiri, meskipun sebenarnya keringet dingin sampai mati mencoba untuk tetap menjadi lelaki sejati yang tangguh. Alhasil, gue dan Imam--dengan nggak enak hati--membiarkan Kevin pulang dengan diseret sambil dijewer sama Ibunya. Namun, nggak munafik juga gue merasa bersyukur banget nggak ikut kena sabetan mautnya Bu Koce kaya anak bontotnya itu.

Kalau Imam, lain lagi. Anak itu kalau sudah main sepeda lagaknya paling tengil. Sudah nggak kehitung berapa kali gue lihat dia terjun bebas dari sepedanya yang sebenarnya sudah harus dipensiunkan kala itu. Entah rantainya putus, remnya blong, atau bahkan gara-gara ulah Imam sendiri yang waktu itu lagi keranjingan nonton BMX. Kepala Imam juga pernah bocor di depan mata gue. Penyebabnya lagi-lagi gara-gara ulah tengil anak itu yang sok-sokan mau salto, tapi justru mendarat dengan kepala lebih dulu di tanah. Lagi-lagi gue yang mesti tanggung jawab ke orang tuanya Imam mulangin anaknya dalam kondisi begitu. Kalau Kevin punya Ibu yang galaknya bagai monster, Imam pun punya Bapak yang seramnya bikin kaki gemeter. Sumpah mati gue hampir pipis di celana waktu disamperin Bapaknya Imam ke lapangan.

Beda lagi sama Rama. Rama itu teman SD gue, namun seiring waktu, dia juga bisa berbaur dengan Kevin dan Imam. Sekarang Rama justru lebih sering curhat sama Kevin. Nggak tahu apa yang dicurhatin. Selain jomlo, hidupnya Rama cuma diwarnai dengan masalah. Dan walaupun gue yakin udah menjabarkan ini berulang kali sejak awal, perlu gue tekankan lagi, teman gue yang badannya sebesar gedung apartemen ini memang paling malas di antara kami semua.

Hobi kami berempat sejak dulu adalah bermain futsal. Kegiatan rutin setiap minggu yang haram dilewatkan--kecuali bagi Rama. Rama selalu punya alasan buat nggak olah raga, tapi kami punya seribu ancaman yang bisa bikin Rama langsung ngacir ke lapangan futsal dalam waktu lima menit. Kaya malam ini, bagong itu nggak bakal leyeh-leyeh di sini sehabis futsal kalau tadi kita nggak membawa embel-embel "semoga panjang umur" di chat group kami. Walaupun ujung-ujungnya kami memutuskan mampir ke warkop demi semangkuk mie instan setelah futsal.

"Cewek lu sehat, Pin?" tanya Rama seusai menandaskan semangkuk mie rebus. Sengaja Rama gue suruh duduk di pojok warkop, daripada badannya memblokir pandangan orang-orang yang mau nonton tv.

"Baik, Ma. Tumben lu nanyain cewek gue."

"Kaga, Pin. Maksudnya, kalo kaga sehat, biar gue yang bikin sehat kalo lo nggak mampu," kata Rama dengan santainya. Kevin langsung terbahak. Pun dengan gue dan Imam.

The Bridesmaids Tale #3: Bed of LiesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang