Satu.

32 7 8
                                    

Babak baru, 17 tahun kemudian

Ketika angin menerpa rambut coklat tuaku, yang melambai bagai jari jemari menari-nari, aku merasa bahagia walau dendam masih kusimpan sejak 17 tahun lalu. Aku berjalan pelan dan hati-hati di sekitar tebing, untuk bermain-main. Di sinilah aku bermain. Rasa nyaman selalu menjalariku saat kulihat danau di lembah pada siang maupun malamnya. Pepohonan dan semak belukar tumbuh dengan ganasnya sampai hendak menari-nari seperti ada yang menggerakkannya.

Dengan langkah tak bersuara, Zilla menghampiri dan berdiri tepat di sampingku. "Seliseya, apa kau masih ingat pedang emas kaum serigala yang menghilang diambil oleh sekelompok manusia tak bertanggung jawab itu?"

Deg! Jantungku kini berdetak lebih cepat dari biasanya, tengkukku mulai memanas setelah mendengar perkataan Zilla, mataku berubah menjadi sorot menakutkan lebih dari kaum vampir jenis apapun, ditambah kuku yang mulai meruncing dengan ganas serta taring muncul lebih tajam dari sebelumnya. Aku menoleh pada Zilla dengan tatapan tajam. "Zilla, aku masih mengingatnya--sampai saat ini. Bayangan kematian masih terlihat jelas di benak dan di hadapanku saat ini."

Zilla tersenyum puas. "Seliseya, bagaimana jika kita keluar dari hutan belukar ini, ya, anggap saja untuk mencari manusia-manusia jahat itu."

Sang tetua tiba-tiba saja menghampiri keberadaanku dengan Zilla, membuat kami berdua terkejut. Angin tiba-tiba saja memanas, awan menutup mengarah pada kami--seperti ingin mengutarakan segala pikirannya, titik hujan perlahan-lahan turun membasahi kulit kami.

"Zilla, Seliseya, Dewi Bulan merestui kepergian kalian," ucap Tetua sambil memandang keadaan langit. Beberapa detik kemudian sorot matanya tertuju pada kami.

Kilatan bergemuruh, sahutan angin menggebu-gebu, hujan terus turun dengan deras membasahi seluruh alam dan makhluk hidup yang berada dibawahnya. Aku mengusap air hujan yang membasahi wajahku, begitupun dengan Zilla sambil mendengar ucapan yang diberikan tetua.

"Aku--setelah hujan turun, aku akan pergi mencari manusia-manusia itu, Guru," seruku berjalan di depan mereka dengan memandang langit penuh dengan amarah.

Ho ho ho! Tetua kini menghampiriku sambil menatap kedua mataku, sedangkan Zilla tetap berdiri tegap sambil sesekali mengusap wajahnya yang dibasahi air hujan, matanya berubah menjadi berwarna merah pekat. Aku menunduk, tetua menyodorkan sebuah barang dari kantung celana yang dikenakannya. Barang itu berkilauan bagai sinar yang menyilaukan. Aku meraihnya dengan mata terpejam menahan sinar itu dari mataku.

Aku kembali menatap tetua. "Tetua, kau--ini apa?" Sinar dari barang itu kini memudar. Zilla menghampiriku.

"Seliseya, ini adalah permata pusaka. Permata ini berguna untuk apa saja yang kau inginkan. Bukan hanya itu, permata ini bisa menyembuhkan, mematikan seluruh makhluk hidup yang ingin kau lenyapkan, dan ini juga bisa untuk menghidupkan makhluk yang ingin kau selamatkan dari kematian," jelas tetua.

Di bawah derasnya hujan ditambah kilatan yang semakin bergemuruh dan suara-suara lolongan serigala berjenis shifter. Zilla tersenyum kearahku. "Aku akan selalu membantumu, Seliseya. Aku ingin pedang emas milik kaum serigala itu kembali dan melenyapkan para manusia kejam itu."

Aku tersenyum puas mendengar ucapan Zilla mengenai hal tersebut. "Walau kau vampir, kau akan membantuku? Kau tidak terpaksa sedikitpun?"

"Tidak, aku tidak terpaksa. Hei, kau tahu, kan, kalau membunuh ataupun membantu teman itu adalah hobiku?" Goresan senyum dibibirnya membuatku makin percaya bahwa dia benar-benar ingin membantuku. Vampir seperti dia memang sangat langka, hei, maksudku--dia vampir yang baik.

Revenge Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang