BAB SATU

5.6K 226 29
                                    

  Teriakan, tangisan, tembakan, dan darah. Dia masih mendengarnya bahkan ketika rombongan malaikat maut hendak menjemput.

  Cahaya mulai meredup seiring berjalannya waktu. Kedua tangannya perlahan terulur ke depan, mencoba untuk meminta pertolongan, dalam ujung hayatnya dia berharap agar keajaiban kecil datang.

Keajaiban apa? Dosa menghalangi doanya. Jiwa yang terkutuk.

Menjijikkan, dasar pendosa.

Senyuman tipis terukir di bibirnya yang pucat dan bergetar. Cahaya di matanya semakin redup.

Ah, apakah ini yang dinamakan kematian?

Ribuan tahun dia hidup dan hanya memupuk dosa. Apakah ada kebaikan dalam hidupnya?

  Dalam redupnya cahaya, dia sedikit merasakan kehangatan.

  Dia menatap telapak tangan yang berlumuran darah itu, entah darahnya atau darah dari mahluk tak bersalah.

Tidak ada hal baik dalam hidupnya, dia telah menghancurkan semuanya.

  Jutaan nyawa dia bunuh setiap hari dan kini hari pengadilannya telah tiba.

Malaikat maut dikirim untuk membawanya kembali ke rumah para pendosa. Tempatnya seharusnya dia berada.

Jiwa yang terlahir hina.

"Ahh, sudah berakhir. Padahal aku sangat menyukai tempat ini." Bisik nya.

Dia menutup kedua matanya dan perlahan menghembuskan nafas terakhir. Tubuh itu sudah tidak sanggup lagi untuk bertahan, sepertinya sekarang adalah waktunya.

Semuanya telah berakhir. Maut telah datang dan kini berada disampingnya ....

MUNGKIN.

•••


Seorang gadis remaja berpakaian jubah coklat berjalan ke gerbang besar akademi yang terbuka lebar dengan langkah kaki tergesa-gesa.

Dia berhenti sejenak.

"Jadi ini tempatnya." Ujarnya sambil melihat sekeliling.

"Mungkin." Jawab seorang pemuda berambut putih.

Gadis itu membalikkan tubuhnya ke belakang dengan menyilang tangan di dada, memandang pemuda itu kesal.

"Kamu tidak suka kalau aku bisa beristirahat dengan tenang? Jalan mu lambat sekali."

Pemuda itu tidak menjawab, tidak ada ekspresi di wajahnya yang pucat. Dia terdiam saat melihat mata Violet di depannya.

"Tapi ... Ini bukan tempat yang aman untuk beristirahat." katanya lalu mengalihkan pandangan.

Gadis itu terdiam. Dia melihat sekeliling lagi. Bunga-bunga di sekitarnya bermekaran dengan indah, bahkan tetesan air terlihat jelas di setiap kelopaknya. Seseorang baru saja menyiraminya.

"Sebelum aku beristirahat dengan tenang, ada satu hal yang ingin aku lakukan."

"Jangan katakan itu." terlihat jelas terdapat sorot sedih dari sepasang mata biru safirnya. Dia tidak senang mendengar kalimat perpisahan.

"Aku tidak ingin meninggalkanmu sendirian."

Sekali lagi pemuda itu terdiam. Angin sepoi-sepoi menampar wajahnya.

"Sudah aku katakan, aku tidak butuh teman. Aku hanya membutuhkan—"

"Hei, kalian berdua! Sedang apa disitu?" Teriakan itu membuat kalimatnya terkubur lagi.

Seorang pemuda berambut pirang dengan mata sejernih lautan mendekati mereka. Meskipun tidak disengaja pemuda berambut putih itu terlanjur kesal sambil mengeluarkan pedang hitam diikuti dengan kilatan biru.

Aura mencengkram darinya membuat langkah pemuda pirang itu semakin pelan, sambil mengangkat kedua tangannya, dia menatap dengan senyuman ramah . "Tenang-tenang, aku murid di sini. Namaku Carlo dan bisakah kamu menyimpan kembali pedagang itu?"

Gadis itu memelototi pemuda disampingnya. Dia tidak ingin membuat keributan disini.

"Maafkan teman ku, dia tidak bermaksud begitu. Aku Val dan dia Lux. Sebenarnya kami sedikit bersitegang karena tersesat."

"Ah, begitu." Mata biru Carlo menatap pakaian keduanya. "Tidak mengherankan kalau kalian tersesat. Sekolah ini terlalu luas untuk hari pertama sekolah. Jadi, kalian murid baru, dari mana asal kalian?"

"Kami ... dari benua kecil, ini pertama kalinya kami ke benua Xentar. Keluarga kami mengirim kami ke sini ketika mereka mendengar kehebatan akademi Magonact." Jawab Val.

Carlo memandang Val dengan penuh minat. "Oh, benarkah? Jadi kehebatan apa yang didengar keluargamu?" Lux mengerutkan kening ketika mendengar pertanyaan meragukan dari Carlo.

Val sempat terdiam beberapa saat, sampai Carlo bersuara lagi. "Kenapa kamu tidak menjawab? Apakah kamu gugup atau ... Kamu gugup karena takut ketahuan sebagai penyusup?" Carlo menyeringai lebar sambil mencondongkan tubuhnya kearah Val. "Sebagai kepala organisasi pelindung sekolah, aku harus berhati-hati. Aku harap kalian mengerti." Carlo mengatakan dengan serius, meski senyuman miring terukir di wajahnya.

Tangan Lux perlahan hendak meraih pedangnya lagi jika pemuda di depannya tidak bisa berkompromi, tetapi Val menarik lengan baju Lux. Tindakan sembrono Lux bisa merusak rencana.

Mata violet Val balas menatap Carlo penuh percaya diri dengan senyum tipis terukir di wajahnya.

"Ayahku selalu mengatakan bahwa akademi Magonact merupakan sekolah berasrama dengan sistem pendidikan terbaik di benua Xentar, banyak sejarah yang melekat pada era pembangunan Magonact sejak perang Xentar ribuan tahun yang lalu, bahkan di sini tidak membedakan murid-muridnya meskipun mereka berasal dari ras yang berbeda."

Cukup mengejutkan mengetahui beberapa dari mereka masih mempertanyakan kesetaraan di zaman kemerdekaan.

"Banyak dari mereka yang lulus dan mendapatkan gelar hebat dari para raja, oleh karena itu orang tua kami memiliki harapan besar disini." Sambung Val sambil mengeluarkan dua gulungan dengan tali emas dari balik jubahnya untuk semakin meyakinkan Carlo.

"Akan disayangkan kalau kami pulang dan menghancurkan harapan orang tua kami. Padahal kami memiliki surat rekomendasi disini."

Carlo menghela nafas panjang. "Biar ku periksa dulu. Banyak juga dari kalian yang menunjukkan wajah memelas dengan surat rekomendasi palsu."

Tangan kanan Carlo yang mengenakan sarung tangan putih mengambil dua gulungan sedang itu dan membacanya dengan seksama.

Aku yakin ini tidak akan berhasil dan apa rencana B nya? Tebas tubuhnya? Penggal kepalanya? Tapi itu akan menghancurkan kesempatan Val untuk beristirahat. Sial! Runtuk Lux dalam hati.

Lux melihat sekeliling, meski ada label tidak membeda-bedakan antar ras, tetapi pengawasan ketat masih dilakukan, Lux berfikir mungkin untuk menghindari aksi penyusupan dan gerbang sebenarnya tidak terbuka lebar untuk mereka.

Tembok yang tebal. Lux bisa melihatnya. Tepat di belakang Carlo terdapat dinding tebal yang tak kasat mata.

"Ya, kalian boleh masuk."

Lux menegakkan bahu, cukup terkejut dengan perkataan Carlo yang mudah terperdaya dengan tipuan kecil. Jauh seperti ucapannya. Sudah Lux duga, pemuda itu hanya berlagak kuat saja.

"Ayo, tunggu apa lagi, kalian bisa masuk dan ku ucapkan, Selamat datang di akademi Magonact, sekolah elit dari semua ras." Carlo menyambut mereka dengan sangat ramah saat dinding tebal yang tak kasat mata mulai muncul dan terbuka lebar.

•••

TBC ⏳

HIDDEN IN THE ACADEMY (DROP)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang