22. Ancama, kekhawatiran, dan kebencian.

38.7K 1.3K 7
                                    

"Jenis kerja sama seperti apa yang Anda harapkan dari perusahaan kami Nona Jenner?" Kata Liam.

"Saya sudah mendengar tentang pencapaian Anda setahun terakhir ini. Dan saya sangat mengapresiasi kan kinerja Anda sebagai CEO dari perusahaan COM.YU juga saya sudah melihat pencapaian luar biasa dari proyek-proyek Anda. Dan salah satu dari proyek itu membuat saya tertarik." Kata Jen dengan senyum bisnisnya.

"Hmm... Baiklah. Saya sudah menebak proyek yang Anda maksud ini, jika melihat dari perjalanan Karir Anda... Di bidang entertaiment, perusahaan JNE ini ingin membuat kontrak untuk proyek pembangunan Mall kami. Apa saya keliru?" Kata Liam.

"Tidak. Anda benar, seperti yang diharapkan dari seorang CEO muda sukses seperti Anda. Apa Anda bersedia melakukan kerja sama ini?" Kata Jen.

"Sebenarnya saya belum menemukan titik terang untuk perusahaan kami jika bekerjasama dengan JN Entertaiment, tapi akan coba saya diskusikan dengan Tim kami."

"Baiklah saya akan menunggu keputusan Anda. Tapi saya sangat berharap Anda mau bekerja sama, mengingat ada beberapa model dari agensi kami yang sudah Anda pakai sebagai maskot produksi proyek Anda sebelumnya, dan bisa saja agensi kami menariknya kapan saja." Kata Jen dengan nada mengancamnya.

Liam tersenyum miris, lalu menatap getir ke arah Jen, ".........sama seperti dulu. Kau memang licik dan ambisius... Jen."

"Hmm, aku lebih suka menyebutnya sebagai strategi." Kata Jen dengan seringainya.

Untuk beberapa detik mereka hanya saling tatap, lalu Suboon mengetuk pintu,

"Tuan Liam. Anda mendapat telfon dari kediaman Anda." Kata Suboon dari luar ruangan.

"Akan saya urus," kata Liam, tetap menatap ke arah kakaknya.

"Sepertinya itu telfon dari Ibu... Hahh~ mungkin saya sudah harus pergi sekarang, masih banyak hal yang harus saya urus." Kata Jen sambil berdiri dan berjalan ke Arah pintu.

Lalu Jen kembali berbalik, "Ah! Dan sebaiknya Anda memutuskan tawaran kerja sama ini degan cepat, sebelum hal yang tidak diinginkan terjadi...
Sampai jumpa adikku yang manis.." Kata Jen lalu meninggalkan Liam seorang diri diruangan itu.

"Kau seharusnya tak pergi saat tau bahwa ibu yang menelfon, kakak. Dia sangat merindukan mu" Gumam Liam.

Liam lalu keluar dari ruangan itu.

-----

Dilain sisi Emily baru saja keluar dari ruangan Liam, dan langsung berpapasan dengan Jen saat mereka tanpa sengaja masuk dalam lift yang sama.

"Anda ingin ke lantai berapa?" Tanya Emily degan senyum ramahnya.

"......" Untuk beberapa saat Jen hanya menatap dengan pandangan merendahkan, kepada Emily.

"Nona?" Tanya Emily lagi.

"Bisa kau menemaniku ke lantai paling atas gedung ini? Emily Vergara... Ah tidak," kata Jen sambil menutup mulutnya dengan segaja, "maaf maksud saya Emily.. Hartman." Kata Jen ketus.

".........." Emily tak tau apa maksud dari nada menyinggung yang dilakukan wanita ini, tapi satu hal yang ia tau. Bahwa wanita ini bukan orang sembarangan, ia juga sadar bahwa akan ada hal yang tidak mengenakkan yang akan terjadi sebentar lagi.

"Tentu saja Nona." Kata Emily meng-iya-kan ajakan Jen dengan senyuman ramahnya. Emily lalu menekan tombol paling atas yang bertulis 'up'. Padahal ia baru akan berencana pulang dengan damai kali ini, tapi harus ia tunda karena permintaan wanita asing Disampingnya.

-----

Jika dibandingkan degan suasana tegang yang dialami Emily, berbanding terbalik dengan Liam yang uring-urungan diruangannya.

"Kemana lagi dia? Apa ia menghindari ku lagi? Bagaimana cara ku bisa  Tenang jika dia terus saja menghindar seperti ini.." Kata Liam, semenit setelah ia menerima telfon dari ibunya yang menanyakkan kabar menantunya. Liam bertanya pada Suboon mengenai keberadaan Emily, tapi Suboon hanya berkata, "saya tidak tau tuan. Mungkin dia sudah pulang." Kata Suboon.

"Jika benar dia sudah pulang.. Aku harus menghubungi ibu." Kata Liam, lalu mengambil handphone bermereknya yang berwarna putih.

Tut... Tut... Tu-....

"Halo?" Suara seorang wanita parubaya diseberang Telefon.

"Ah halo ibu.. Ini aku Liam." Kata Liam.

"Ya ada apa? Kenapa menelfon lagi, ibu sedang masak." Kata ibu Liam dengan nada suara yang membesar dan mengecil. Tanda ia sedang kesulitan memegang Telefon.

"Ibu apa Emily ada dirumah?" Kata Liam.

"Emily? Belum... Apa terjadi sesuatu?" Kata ibu liam yang terdengar khawatir.

"Tidak ibu. Bukan apa-apa, nanti akan ku hubungi lagi." Kata Liam. Sebelum mematikan Telefon.

Diseberang Telefon, ibu Liam berhenti memasak untuk beberapa saat. Lalu menekan beberapa nomor telfon di keyboard telfon antik itu.

Satu percobaan tak berhasil tersambung pada telfon pemilik nomor.

Begitupun pada percobaan kedua dan seterusnya...

"Kenapa perasaanku jadi gelisah begini." Kata ibu Liam sambil memukul-mukul ringan dadanya. Sorot matanya menunjukkan saat ini dia sedang merasa tidak nyaman. Ibu Liam khawatir pada Emily.

-----

Suara nada dering favorit Emily berkaki-kali terputar.

Tapi ia tak bisa meraih handphone merah itu, walau saat ini handphonenya sudah ada didepan mata.

"Kau lihat? Sepertinya wanita tua itu sangat menghawatirkan mu. Dia bahkan tak menyerah menelfon dirimu berkali-kali." Kata Jen, yang menggoyang-goyangkan sebuah handphone merah milik Emily.

"Mengapa handphone itu ada pada Anda?" Kata Emily, ia berusaha setenang mungkin. Jika salah bertindak saja, ia yakin wanita didepannya bisa saja melakukan hal yang lebih jauh lagi.

"Hmm... Entahlah, kenapa ya? Aku hanya menemukannya tertinggal begitu saja, diatas meja sebuah ruang meeting Hotel di Jepang beberapa waktu lalu, saat aku jadi stalker seseorang." Kata Jen dengan raut wajah yang sengaja ia buat seolah-olah ia juga bingung mengenai hal itu.

"Siapa Anda yang sebenarnya? Dan apa yang Anda rencanakan?" Kata Emily dengan senyum ramahnya.

Raut wajah Jen berubah datar, baginya ekspresi yang Emily tunjukkan saat ini tidak sesuai dengan yang ia harapkan.
"Berhentilah berpura-pura baik padaku?!" Teriaknya dengan lantang, dan frustasi.

Original Story By;
Sheriligo

Secretary Wife IDEAL ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang