I wish i could turn back time

542 42 8
                                    

"Plaaaaak!"

Sebuah tamparan keras mendarat di kepala Jeremy. Ia terhuyung kebelakang seraya mengelus pelipisnya yang sakit dan berdenyut-denyut.

"Dasar anak bodoh! Memijat pundakku saja kau tidak becus!" Ayah Jeremy memaki Jeremy sampai semua urat-urat di lehernya terlihat menonjol keluar. Matanya melotot. Dengan murka ia memandang Jeremy yang hanya mampu berdiri di sudut ruangan dengan tubuh gemetar.

"Kau ini... terlalu lemah untuk dapat disebut sebagai seorang lelaki, Jemmy..." Ayah Jeremy berhenti berbicara sejenak. Ia menaikkan kedua kakinya ke atas meja. Mengambil sebatang rokok, membakarnya, menghisapnya dalam-dalam lalu menghembuskannya ke atas.

Ia kemudian melanjutkan ucapannya kembali. "Kau ini lelaki yang lemah dan bodoh. Aku sungguh menyesal telah membesarkanmu selama ini. Kau tahu? AKU!!! AMAT!!! SANGAT!!! MENYESAAAL!!!"

Ayah Jeremy berteriak dengan suara yang sangat keras. Sampai-sampai Jeremy dapat merasakan dinding rumahnya ikut bergetar saat Ayahnya berteriak kepadanya.

Jeremy tak sanggup lagi menahan bendungan air yang sejak tadi sudah terkumpul di sudut matanya. Ia mulai menangis.

Ayah Jeremy memandang anak lelaki satu-satunya itu dan berbicara dengan ketus. "Oh ayolah Jemmy, sekarang kau mulai menangis seperti bayi. Sungguh menyedihkan. Aku sungguh terharu. Seharusnya kau ikut pergi saja bersama ibumu ke neraka. Sekarang pergilah ke dapur dan buatkan aku makanan. Oh dan satu lagi, beer-ku sudah hampir habis. Ambilkan yang masih baru dari dalam kulkas, dan enyahlah kau segera dari hadapanku!!!"

Jeremy tak menyia-nyiakan kesempatan itu. Sambil mengelus pelipisnya yang masih terasa berdenyut, ia segera pergi ke dapur dan mengerjakan apa yang diperintahkan oleh ayahnya. Menjaga jarak sejauh mungkin dari ayahnya adalah pilihan yang amat melegakan untuk Jeremy.

***

Keesokan paginya, Jeremy keluar dari kamarnya dengan perasaan heran. Keadaan rumah nampak sepi. Biasanya, pagi-pagi sekali ayahnya sudah berteriak memanggil Jeremy untuk segera melayani dirinya. Tapi pagi ini berbeda. Suasana nampak sepi.

Terlalu sepi malah.

Jeremy berjalan perlahan ke arah dapur, dan terkejut bukan kepalang saat menemukan tubuh Ayahnya terbaring di lantai dapur dengan tubuh yang penuh dengan luka bersimbah darah.

Jeremy segera menghampiri dan melihat disekujur tubuh Ayahnya nampak banyak terdapat lubang bekas tusukan pisau. Bukan hanya itu saja, mulut Ayahnya telah terbelah dari ujung telinga yang satu sampai ke ujung telinga lainnya. Dan dari mulut Ayahnya yang menganga lebar itu, Jeremy dapat melihat lidah Ayahnya juga telah terpotong habis hingga ke pangkal tenggorokan.

Jeremy terperangah.

Ia berlutut di sebelah jasad Ayahnya. Seakan masih tak percaya dengan apa yang telah dilihatnya, Jeremy mulai menangis. Jeremy menangis tersedu-sedu sampai tubuhnya bergetar hebat.

"Ayah.. ayah.." dengan sedih Jeremy mulai memanggil-manggil Ayahnya yang telah terbujur kaku dihadapannya.

Jeremy menunduk memandang jasad ayahnya. Ia mulai berbisik dalam isak tangisnya.

"Ayah, aku tahu disepanjang hidupmu engkau sangat membenciku. Namun seandainya waktu dapat terulang, aku ingin engkau hidup kembali Ayah..." Ucapan Jeremy terputus.

Ia menyeka air mata dengan punggung tangannya. kemudian melanjutkan kata-katanya kembali seraya tersenyum jahat.

"Agar aku dapat membunuhmu sekali lagi"

Tamat

PLOTTWISTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang