Pembalasan Setimpal

182 17 6
                                    

Kecoak, Evan, dan Troy.

Adalah tiga hal yang paling aku hindari dari apapun di dunia ini.

Aku memiliki phobia terhadap kecoak. Melihatnya saja sudah membuatku bergidik ngeri. Sayangnya, aku justru harus berurusan dengan mahluk menjijikan itu lebih sering dari yang pernah aku bayangkan selama hidupku.

Sementara Evan dan Troy, mereka terkenal sebagai dua mahasiswa yang paling sering berbuat onar di lingkungan kampusku. Evan merupakan si Biang keonaran, sedangkan Troy tidak lebih dari seorang pesuruhnya saja.

Mereka selalu memilihku untuk dijadikan korban keisengan mereka. 'Boy yang malang', begitulah mereka selalu menyebut namaku, disaat aku harus pasrah melayani semua keisengan mereka terhadapku.

Tiada hari yang ku lalui tanpa 'penyiksaan' dari mereka. Mereka pernah memasukan selusin kecoak ke dalam kemejaku, menaruhnya di rambutku sewaktu pelajaran di kelas sedang berlangsung, dan mengoles wajahku dengan kotoran dari binatang tersebut!

Aku bahkan ditugaskan harus membawakan mereka sarapan setiap kali ke kampus. Jika tidak, mereka akan semakin mengerjaiku dengan lebih brutal lagi.

Well, aku hanya bisa bersabar. Tenagaku tidak cukup kuat untuk melawan mereka berdua. Lagipula badan mereka terlalu besar untukku. Jadi yang dapat aku lakukan saat ini hanyalah bersabar dan terus bersabar menerima segala perlakuan mereka terhadapku. Meskipun mereka sering membuatku malu di depan umum, aku hanya bisa bersabar...

Bersabar menunggu sampai saatnya tiba...

***

'BYUUURRR!!!'

Evan terlihat gelagapan saat aku menyiramkan sebuah ember berisi air dingin ke wajahnya. Ia terbangun dari pingsannya dalam posisi terduduk di sebuah kursi kayu sementara pergelangan tangan dan kakinya terikat erat pada kursi tersebut. Di belakang kepalanya terlihat sebuah benjolan sebesar bola tenis. Ia menatap liar ke sekitar, dan berhenti tepat ke arahku yang sedang berdiri dihadapannya.

"B..B.. Boy!?" Evan mengecilkan matanya dan menatapku seolah tak percaya dengan penglihatannya.

Ia berada di dalam gudang bawah tanah rumahku. Ternyata mudah saja membayar seseorang untuk membuatnya pingsan dan membawanya kesini. Hawa di dalam gudang terasa lembab dan dingin. Air yang kusiramkan ke wajahnya menggenangi lantai yang terbuat dari beton dan membuat udara disekitar menjadi semakin bertambah dingin.

"Halo, Evan" Aku menyapanya dengan intonasi yang lambat. "Nyenyak tidurnya?" Tanyaku datar sambil tersenyum singkat kepadanya. Wajahnya memandangku dengan terkejut.

"A..apa-apaan ini? Lo nyulik gue Boy!? Gila! lo udah berani macem-macem sama gue!? Lepasin gue sekarang atau lo bakal mati nanti ditangan gue!" Evan berteriak mengancamku dengan murka. Ia meronta berusaha melepaskan diri dari tali yang mengikatnya. Namun hanya berakhir sia-sia. Tali itu terlalu kuat untuknya.

Aku memandangnya dengan sinis. Aku tak habis pikir, dalam keadaan seperti ini ia masih saja bertingkah sombong kepadaku. Akhirnya aku memutuskan untuk mengajaknya 'bermain' ke tingkat yang lebih tinggi lagi.

Aku berjalan dengan santai ke sudut ruangan dimana terdapat lemari kayu yang cukup besar. Disana Ayahku biasa menyimpan berbagai macam alat-alat perkakas miliknya. Aku sedang sibuk memilih-milih alat apa yang akan aku gunakan, sementara Evan di belakangku juga sedang sibuk berteriak dan bersumpah bahwa ia akan membalas perbuatanku suatu saat nanti.

Aku baru saja ingin mengambil sebuah tang besar, saat mataku tiba-tiba tertuju pada sebuah gergaji mesin yang tergeletak di bawah lemari. Letaknya memang agak sedikit tersembunyi sehingga aku tidak melihatnya tadi.

PLOTTWISTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang