Halaman 36 : Sherina

3.2K 194 3
                                    

Vale Pov.

Krriinngg.....Krriinngg.....
Suara jam beker memenuhi ruang kamarku. Tepat pukul 07.00, aku terbangun dari lelapnya tidur malamku. Bicara tentang malam, aku masih memikirkan Marcel yang berjuang keras untuk membawa Sea kemari.

Tak ingin banyak melamun, aku segera bangkit menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Hanya setengah jam aku selesai mandi dan berpakaian. Aku mengenakan jaket hitam dibalut warna pink, celana olahraga, juga sepatu sport yang bermerk Adidas. Jaket, celana, dan sepatu yang kukenakan itu satu set. Cukup untuk berolahraga pagi ini.

Ahh, beberapa uang yang ketaruh disaku celana, handuk kecil, dan botol minuman berisi air laut juga wajib untuk dibawa. Jaga-jaga jika haus. Kebiasaan orang selalu mandi setelah berolahraga tapi tidak denganku. Entah kenapa, tubuhku tidak lepasnya dari kata 'air'. Tenang, setelah olahraga aku pasti mandi lagi kok.

Setelah mengunci pintu dan pagar, aku melangkahkan kaki-ku menuju Taman Jogging. Berlari-lari kecil dipinggiran jalan dikompleks menuju Tamjog cukup membuatku merasa lelah. Jaraknya lumayan dekat, karena letaknya di pertigaan jalan. Nah, cukup 10 menit aku sudah sampai di Tamjog.
.
.
.
.
.

Hosshh....Hosshh...
Nafasku memburu, keringat terus menetes membasahi dahiku. Sudah 4 kali aku berlari memutar sekeliling Taman. Sialnya, saat aku tengah berlari, eh, pengunjung lain malah memotret diriku. Apalagi saat mereka berkata, "Barbie kok bisa berlari?"

Aku duduk di kursi Taman dekat pohon. Meluruskan kaki-ku sembari menyeka keringat di dahi. Cuacanya sangat mendukung. Andai saja aku ditemani Marcel, jadinya kan aku tidak sendirian. Andai....

Setelah meminum air dibotolku, aku merasa ada suara tangisan dibalik pohon. Aku langsung menaruh botol air-ku di kursi dan segera melihat siapa yang sedang menangis di Taman ini.

Aku menengok di balik pohon, ternyata ada seorang gadis seumuran denganku sedang menangis sesegukan. Tanpa ragu, aku menghampirinya. Bajunya robek, rambutnya urakan, dan tidak memakai alas kaki.

"Hei. Kau kenapa?" Aku tersenyum. Sedangkan ia menatapku sayu. Matanya sembab dan hidungnya memerah.

"Pergi! Pergi!" Ia berteriak kencang dan mendorong diriku untuk menjauh.

"Kau kenapa? Bisakah aku menolongmu?" Aku maju dan duduk disampingnya. Ia sempat menolak, tapi aku segera memeluk tubuhnya. "Cup, cup, cup, disini ada aku. Kau tak perlu takut, aku orang baik."

"Lepas....Aku ingin bunuh diri! A- Aku ingin mati! Aku tidak berguna....Hiks, hiks,.."

"Tenanglah. Jangan sia-siakan hidupmu, kawan. Ingatlah, hidup kita hanya sekali dan kehidupan tidak bisa diputar ulang kembali."

Ia menengok kearahku. "Tapi untuk apa aku hidup?"

"Untuk membahagiakan keluarga, itu tentu." Jawabku yakin.

"Keluarga? Hahaha,.." Ia tertawa getir. "Ibuku telah meninggal dunia saat aku lahir dan Ayahku menganggapku telah membunuhnya. Ayah membenciku teramat dalam, hingga sekarang saat aku telah beranjak dewasa, ia ingin menjualku ditempat bordil. Aku tak tau sanak saudaraku begitu juga teman,"

"Tunggu, apa itu tempat bordil?"

Ia menunduk dalam lantas menengok kearahku. "Tempat yang berisikan wanita penghibur yang ramai dimalam hari. Mereka menjual tubuh mereka kepada para pria berhidung belang. Semua itu demi uang. Mereka biasa disebut jalang, wanita yang menjual harga diri, kesucian, serta diri mereka sendiri tanpa takut akan akibatnya."

Aku langsung memeluknya. Sepertinya dugaanku salah. Ternyata ia lebih dewasa dariku. Rambutnya hitam legam, matanya coklat, dagu-nya sedikit terbelah, dan kulitnya putih dengan luka lecet dibagian lengan.

Prince Of Sea [REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang