(Not) Perfect 2

337 16 0
                                    

Kedua

Tak banyak hal yang bisa aku lakukan setelah Kak Alfi berangkat bekerja. Bi Ina seperti biasa datang pada pukul delapan pagi, mulai membenahi seisi rumah dan tetek bengek pekerjaan lainnya yang tak ingin kupedulikan.

Kami cukup kenal, saling menyapa, melempar senyum. Dan hanya sebatas itu. Kupikir ia tidak menyukai keberadaanku di sekitar Tuannya.
Well, peduli apa. Toh bukan aku yang memaksa Kak Alfi untuk mengijinkanku tinggal di rumahnya. Lelaki itu sendiri yang terus berada di sekitarku dan dengan rendah hatinya, ia ingin menolongku.

Tentu saja, sesuka Bi Ina saja ingin menganggapku bagaimana. Aku tidak mau terlalu ambil pusing.

Jadi sementara ia sibuk dengan kegiatan rumah tangga, aku memilih untuk fokus pada layar laptopku. Membalas beberapa chat dari temanku di media sosial sampai mulai menyibukan diri dengan ceritaku sendiri.

Punggungku pegal. Tentu saja, pikirku miris. Saat aku terjaga dengan wajah telungkup di atas meja dan laptop di depan hidungku. Ya ampun, aku tertidur. Melirik pada sudut layar laptop, dan terkejut mendapati waktu cepat sekali berlalu.

Kupikir aku harus segera menelpon Kak Alfi, mengabarkan bahwa aku tak bisa menyediakan makan siangnya karena alasan klise, ketiduran, dan meminta ia membeli makan siangnya di luar rumah.

"Baiklah," sahutan ringan di seberang sana membuatku menghela napas lega. Setidaknya Kak Alfi masih belum akan sampai di rumah dengan kelaparan. Ia bisa membeli apapun di sepanjang jalannya menuju rumah. "Kau sendiri mau makan apa, Na?"

"Apapun deh," sahutku setengah bingung. Masih ada sisa-sisa kantuk di mataku.

"Oke." ia menggumamkan beberapa jenis makanan yang hendak dibelinya, yang hanya kusetujui dengan mengangguk-angguk.

"Jadi itu saja?" ia bertanya lagi, seolah menegaskan apa lagi yang aku butuhkan.

"Yep. Itu saja." balasku mantap.

"Tunggu aku di rumah ya, Na. Aku akan segera sampai."

"Oke."

"Dan Luna?"

"Ya?"

"Sambut aku dengan sesuatu yang basah." suaranya serak mengundang. Dan seketika membuatku tersipu.

Kak Alfi sialan!

***

Kak Alfi itu pendiam, yang tidak terlalu suka berinteraksi dengan orang lain tanpa ada keperluan. Selain kebutuhannya akan ranjang, kupikir aku tak perlu merasa kalah saing dengan segala kesibukannya di luar rumah. Ia bukan seorang lelaki yang akan berselingkuh bila masih ada wanita yang berdiri di sisinya.

Sejauh khayalanku, saat ini hanya ada aku. Dan ia tergila-gila padaku. Satu hal yang tak ia berikan kepada wanita selainku, Cintanya yang tulus.

Dan sebuah tawaran untuk menikah.

Hell, ya.. Kak Alfi pernah memintaku untuk menikahinya saat hubungan kami baru menginjak usia lima bulan. Yang dengan bodohnya, kata teman-temanku, aku malah menolaknya dengan mengalihkannya pada lelucon garing.

Tapi Kak Alfi mengerti. Dia tidak marah dan hanya tetap menunggu sampai aku siap. Begitu katanya.

Dan entah kapan aku akan siap.

"Kupikir aku ingin bekerja di luar rumah saja." kataku sesaat sebelum menyuap makan siangku.

Tangan Kak Alfi seketika terhenti di udara saat ia sendiri akan menyuapkan nasi ke dalam mulutnya. Sepertinya ia cukup terkejut dengan arah pembicaraanku, namun ia juga sangat pandai menguasai dirinya untuk kembali normal.
"Kenapa? Apa rumahku kurang nyaman untukmu?"

"Tidak juga, sih." kataku santai, "aku hanya bosan, kau tau."

"Well, bagaimana dengan mulai ikut aku menemui rekan bisnisku? Sementara aku meeting di kantornya, kau bisa menghabiskan waktumu dengan ke salon atau berbelanja apapun kebutuhanmu."

Aku tertawa pelan. Mengambil segelas air minum untuk kuteguk, aku kembali menatap Kak Alfi yang masih sibuk dengan makan siangnya.
"Kau kan tau, bukan hanya hal seperti itu yang aku butuhkan. Aku hanya ... Well, benar-benar jenuh?"

"Luna, aku tidak ingin kau bekerja. Kau bisa lakukan apapun yang kau mau, tapi tidak dengan bekerja di luar rumah." kali ini suaranya terdengar lebih tegas. Tak ingin dibantah.

Tapi aku terlalu cerewet dan banyak kemauan yang tak terbendung.
"Tapi aku butuh bekerja di luar, Kak."

"Kita bahas ini nanti saja. Aku sudah selesai." makan siangnya belum benar-benar habis saat ia mendorong piringnya menjauh dari hadapannya. Dan aku hanya bisa menghela napas.

Ini tak akan berhasil, pikirku pesimis.

"Kau mau ikut?"

"Apa?"

"Seperti yang kubilang tadi. Kau bisa ke salon atau ke mall."

"Baiklah, aku akan bersiap-siap terlebih dahulu." kataku pada akhirnya, mengalah.

Setelah membereskan piring bekas makan siang kami, aku memutuskan untuk segera kembali ke kamar. Mempersiapkan diri untuk keluar bersama Kak Alfi. Tapi belum juga aku berhasil mengganti pakaianku, Kak Alfi sudah berdiri di ambang pintu kamar kami. Melangkah pelan dan menutup pintu kamar.

"Kupikir kau sedang terburu-buru." kataku, mengabaikannya. Masih terlalu sibuk memilih pakaian yang hendak kugunakan dari dalam lemari. Sementara aku tau jelas ke mana arah pandangannya tertuju.
"Menyukai apa yang kau lihat, huh?"

Dan dia melangkah mendekatiku sembari terkekeh. "Bagaimana kalau kau tunda saja acara mengganti pakaianmu. Jujur saja, ya.. Aku menyukai apa yang kulihat."

"Well, aku sangat tau kau menyukai seorang gadis yang tak berbusana." mengingat yang kugunakan hanya bra dan thong.

Jadi, saat aku berbalik dan membalas tatapan matanya, ia dengan sekali gerakan menarik tubuhku merapat padanya dan melumat bibirku tanpa jeda. Sementara satu tangannya menyanggah pantatku dan meremasnya.

"Sepuluh menit, oke?" katanya meminta persetujuanku saat ia melepaskan ciumannya dengan nafas kami yang terengah-engah.

"Oh, yeah. Sesukamu saja." balasku kemudian sembari menaiki tubuhnya dan melingkarkan kakinya di pinggangnya. Dan siang ini, aku berakhir bersama dengannya di atas ranjang.

***

Faktanya, tak pernah cukup bila hanya sepuluh menit.

"Sial. Aku bisa terlambat." ia menggerutu dan mulai menarik kemeja dari dalam lemarinya. Mengingat kemeja sebelumnya sudah tercampakan di atas lantai kamar kami.

"Yeah, sepuluh menit." kataku mencibir. Masih bergelung di bawah selimut dengan tubuh polos.

"Kau ikut?" tanyanya saat sudah menemukan kemejanya dan mulai sibuk dengan kancingnya.

"Aku butuh mandi. Kalau kau bersedia menunggu."

"Oh, tidak, Sayang." Kak Alfi menatapku menyesal, "nanti malam saja aku akan pulang lebih awal. Dan kita bisa makan di luar. Bagaimana?"

"Aku menunggu." balasku sembari tersenyum manis. Meskipun pada faktanya aku merasakan hatiku kembali kecewa.
Well, aku hanya terlalu jenuh.

Kak Alfi berangkat beberapa menit kemudian sementara aku hanya terdiam di atas ranjangnya sembari menatap langit-langit kamar. Pikiranku berkelana pada setahun yang lalu sebelum bertemu Kak  Alfi. Tahun-tahun kelam dalam hidupku.

(Not) PerfectTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang