(Not) Perfect 5

195 16 0
                                    

Kelima

Aku tak suka menangis.
Sangat. Tidak. Menyukainya.

Aku pernah menjadi remaja yang rapuh. Yang hari-hariku dipenuhi dengan drama menguras air mata. Aku pernah mengurung diriku berhari-hari di dalam kamarku tanpa ada yang peduli. Aku bahkan pernah begitu mendramatisir keadaan sampai-sampai mengikuti adegan di film-film, seperti menangis di bawah hujan deras dan berharap hujan membasuh semua lukaku.

Dan semuanya sia-sia. Tidak mengubah apapun dari kesakitan yang kurasakan pada keadaan yang harus kualami.

Sejak saat itulah aku mulai mengontrol diriku. Tidak membiarkan diriku menangis lagi. Semenyedihkan apapun, aku tak seharusnya menjadi cengeng dan menunjukan pada orang lain betapa menyedihkannya diriku.

Aku tidak pernah menangis sebelumnya. Tidak pada siapapun, sejak beberapa tahun belakangan.

Lalu tiba-tiba aku merasa begitu rapuh, begitu kesal hanya karena seorang Kak Alfi dan permintaannya.

Aku tidak ingin melemah.
Aku sungguh tidak ingin hidupku tergantung pada orang lain.
Menaruh kepercayaan pada orang lain, adalah hal terakhir yang ingin aku lakukan.

Lalu Kak Alfi datang dan menawarkan segalanya dengan cuma-cuma. Yang semuanya terasa salah bagiku. Aku tak terbiasa diperhatikan sedemikian rupa. Tak terbiasa harus merepotkan orang lain hanya agar aku bisa tetap melanjutkan kehidupanku.

Biar bagaimanapun, aku dibesarkan di dalam keluarga yang cukup acuh dan egois. Hingga aku belajar dari keluargaku untuk menjadi egois dan tak mengharapkan kepedulian dari siapapun.

Bahkan dari kisah cintaku di masa lalu. Menjadi kekasih dari salah seorang anak terpandang dari salah satu tetangga desa, dengan kami yang saling mencintai dan berencana akan segera menikah setelah aku lulus SMA sementara ia sudah lulus dengan gelar Sarjananya. Lalu yang kuterima adalah penolakan dari keluarga kekasihku hanya karena aku bukan berasal dari keluarga terpandang seperti mereka.

Kalian ingat saat kukatakan bahwa aku telah kehilangan keperawananku saat usiaku belasan tahun?
Nah, dialah lelaki sialan yang beruntung itu.

Aku sudah sangat memahami kehancuranku sendiri sampai-sampai aku tak berminat untuk menghancurkan apapun yang masih tersisa di hatiku.

***

Aku masih diam meringkuk di balik selimut dengan demam yang belum juga reda. Padahal aku sudah meminum obat turun panasku sejam yang lalu. Sementara Kak Alfi sudah meninggalkan aku untuk bekerja, meskipun  aku harus memaksanya dan meminta ia mengabaikan demamku selama ia berada di dalam kantornya.

Tapi lelaki itu cukup keras kepala. Ia menghubungiku sejam atau dua jam sekali untuk sekedar memintaku memasukan termometer ke dalam mulutku dan mengecek berapa derajat suhu demamku.

"Ini menyebalkan." kataku sembari mencebikan bibirku saat menatap Kak Alfi dari layar ponselku.

Sementara ia tersenyum dengan tenang. "Demammu sudah lebih turun." katanya kemudian. Bibirnya terlihat berkedut menahan tawa saat balik menatapku yang tak juga mengendurkan raut wajahku yang sebal kepadanya. "Bisa tidak, sih, kau hanya cukup menurut tanpa berwajah masam?" dan akhirnya tawa itu menyembur dari mulutnya.

"Apanya sih, yang lucu?" aku menggerutu. Namun sudut bibirku turut berkedut hanya karena ia tertawa.

Terkadang, tawa pun bisa menular ya?

"Kau imut sekali saat sedang mencebikan bibirmu."

"Kupikir imut dan cantik sudah seperti nama tengahku."

Kak Alfi semakin terbahak.
"Rasanya aku ingin cepat pulang saat kau semanis ini."

Dan aku bersemu karenanya. Aku tidak ingat kapan terakhir kali kami bisa sesantai seperti saat ini. Mengobrolkan sesuatu dan tertawa karenanya. Yang sayangnya aku malah dalam kondisi mengenaskan dengan demamku.

Hari kami membaik setelah ia menjemputku di apartement Kayla. Aku yang sudah tenang dengan tangisanku, pada akhirnya menurut saat Kak Alfi menuntunku turun menuju mobilnya yang sudah terparkir di halaman apartement.

Aku tak lagi membantah atau memaksakan kehendakku untuk tetap bekerja pada hari itu. Mengingat penampilanku juga sangat kacau dengan mata yang membengkak, pada akhirnya Kak Alfi membawaku kembali pulang.

Dan esok harinya aku demam.

***

Pada akhirnya memang aku yang memutuskan untuk mengundurkan diri dari pekerjaanku. Tanpa ada lagi paksaan dari Kak Alfi.

Kak Alfi bahkan mengerjapkan matanya beberapa kali, cukup terpaku dengan pernyataanku di malam hari saat kami tengah berpelukan.

"Aku bersungguh-sungguh." kupertegas pernyataanku lagi.

Saat akhirnya ia menarik satu lengannya dari balik tengkukku, ia menyandarkan kepalanya di sana dalam posisi menyamping. Menatapku seolah takjub.

"Aku masih sulit percaya."

Aku tertawa jenaka. "Bagaimana caranya agar kau percaya?"

Ia tampak berpikir sejenak sembari mengerutkan dahinya, sementara tatapannya masih terpaku pada wajahku.
Saat pada akhirnya ia mengatakan kalimatnya, aku menghambur ke arahnya dan memeluknya erat.

"Peluk aku." katanya sembari tertawa. "Kita harus merayakannya, huh?"

"Baiklah.. Baiklah.." sahutku sembari merenggangkan rengkuhanku di lehernya, dan memberikan jarak yang cukup untuk dapat memandangnya.

"Apa yang kau inginkan, Luna?"

"Kencan?" ide tersebut muncul begitu saja di dalam kepalaku. Aku bahkan tidak menyaringnya terlebih dahulu. Memikirkan akan seperti apa kencan yang kuinginkan dengan lelaki super sibuk di sampingku ini.

Lalu saat melihat alisnya yang menaik dengan heran, aku tau, bahkan ia pun merasa bingung dengan keinginanku.
"Kita sudah sering melakukannya. Yang lain saja."

"Tidak, Kak. Kita belum pernah melakukannya." tekanku sembari memberikan senyuman manis penuh makna.

"Bukankah hampir tiap malam kita berkencan dan dinner di luar? Kau tak ingin sesuatu yang spesial selain kencan?"

Aku tertawa menanggapinya. "Bukan kencan yang seperti itu yang kumaksud."

"Dan lalu?"

"Kebun binatang!" seruku girang.

Ia mengerang. Menatapku dengan matanya yang melebar sedemikian rupa. "Kau bercanda." desisnya kemudian.

"Berharap saja begitu." tawaku tak kuasa kutahan demi melihat wajahnya dengan ekspresi yang sangat berharga. Kak Alfi tampak sangat ngeri dengan ide untuk berkencan di kebun binatang, dan aku tak ingin membayangkan apapun selain memiliki semangat untuk pergi ke sana.

"Kau akan menyesal, sungguh."

"Nah, sekarang tugasmu mengosongkan sehari penuh untuk kencan kita."

"Lunaaa..." wajahnya memohon padaku.

"Please..." dan aku balas memohon kepadanya.

"Baiklah, kau menang."

Ia setengah menggerutu saat pada akhirnya ia menarikku ke dalam pelukannya lalu memberikan kecupan di sepanjang garis wajahku. Ia juga mengatakan betapa ia jatuh cinta kepadaku dan menghargai pengorbananku untuk meninggalkan pekerjaanku. Kak Alfi berjanji untuk membahagiakanku dan memenuhi semua kebutuhanku, juga kebutuhan ibuku di desa.

Dan aku tak membantah.

Yang saat ini tengah kucoba adalah memberikan sedikit kepercayaan kepadanya. Sedikit saja. Yang semoga tak sampai hati untuknya mengecewakan aku.

Dan aku, akan berusaha membuatnya bahagia saat bersamaku.

Tak perlu ada cinta. Yang terpenting adalah kenyamanan. Dalam segala hal.

Semoga...

***

(Not) PerfectTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang