(Not) Perfect 4

239 15 0
                                    

Keempat

"Kau bahagia bersamaku?"

Mengangkat wajahku dari dekapan dadanya, aku menatapnya yang balas menatapku dengan kesungguhan hatinya.

Aku selalu tau ia mencintaiku. Ia selalu tak letih mengatakannya hampir setiap kali kami bercinta. Mempertegas semuanya dengan kedalaman yang mampu diberikan kejantanannya di dalam kewanitaanku.

Tapi aku terlalu angkuh untuk membalasnya.

"Tentu saja," kataku pada akhirnya, "siapa yang tak akan bahagia bila dicintai olehmu?"

"Kupikir orang itu kau,"

"Maksudmu?"

"Lupakan saja," katanya sembari mengulas senyum. Aku tau ke mana arah pembicaraannya. Jadi aku tak ingin terlalu memaksakan jawaban darinya, alih-alih malah bergelung lebih dalam pada dekapannya. "Aku senang kalau kau bahagia bersamaku."

Aku hanya bergumam menanggapinya. Obrolan yang begini ini, yang selalu membuatku kurang nyaman. Aku hanya ingin hubunganku dengan Kak Alfi berjalan seiring waktu. Mengenai perasaanku, barangkali aku bisa melunak untuknya. Barangkali, yang entah itu kapan.

Tapi tidak disaat hubungan kami baru menghitung bulan.

"Luna, aku ingin kau berhenti bekerja."

"Tidak!" suaraku memekik seketika. Bahkan aku terlalu terkejut dengan responku sendiri yang cepat sekali tanggap dari kalimat yang baru saja dikatakannya. Aku bahkan sudah menjauhkan tubuhku darinya. Menatapnya dengan tak percaya.

"Aku bisa memenuhi semua kebutuhanmu."

"Bukan itu masalahnya. Mengapa kau tak bisa mengerti, sih?" aku mengerang frustasi. Bagaimana bisa ia mulai mengambil alih kehidupanku? Belum lama ini ia membawa semua barangku ke rumahnya, memaksaku tinggal di bawah atap yang sama dengannya.

Mungkin aku masih bisa menerima hal tersebut dengan berpikir positif. Paling tidak, aku tak lagi perlu mengontrak.

Tapi, sial!
Meninggalkan pekerjaanku untuknya, hanya karena ia mampu membiayai hidupku, begitu?

"Kau tak berhak, Kak."

"Aku hanya ingin kau lebih santai, Luna." ia berusaha menggapai satu lenganku. Namun aku menepisnya perlahan, membawa kedua telapak tanganku untuk menutupi wajahku.

Rasanya aku ingin menangis. Sungguh-sungguh ingin menangis.

Tapi Kak Alfi seolah tak goyah dengan ekspresiku yang frustasi. Aku bisa merasakan bagaimana genggaman tangannya di lenganku mengeras, seiring emosi yang mulai menjalar di dalam darahnya.

"Pikirkan keinginanku."

"Lalu apakah kau memikirkan keinginanku juga?" aku sudah terlalu penat mengikuti semua permainannya tentang hubungan kami. Semuanya terlalu cepat bagiku.

"Aku hanya ingin kau berhenti bekerja. Bagian mana yang menurutmu salah?" kilatan amarah itu nyata di matanya. Aku cukup terkejut juga mendapati dirinya bisa sedemikian emosi hanya karena perkara aku yang tak ingin meninggalkan pekerjaanku.

"Bagian mana katamu?" aku menatapnya dengan berani.

"Aku sangat mampu membiayai hidupmu. Bahkan bila kau ingin aku menanggung keperluan Ibumu di kampung. Aku sangat mampu."

Aku mencibir dengan sinis.
"Aku tau kau mampu. Tapi, Kak.." berusaha menurunkan nada suaraku, aku melanjutkannya dengan kaku, "hubungan kita tidak sejauh bayanganmu."

Aku meninggalkan Kak Alfi di atas ranjangnya. Beranjak menjauh, memunguti pakaianku sembari mengabaikan ketelanjanganku. Siapa peduli? Dia bahkan mengetahui tiap jengkal tubuhku lebih dari pada diriku sendiri.

(Not) PerfectTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang