Ketiga
Aku bukanlah gadis dari keluarga yang berlebih. Dan bahkan setelah lulus dari bangku SMA, tak ada niatan untuk melanjutkan ke Perguruan tinggi dikarenakan biaya yang tak sedikit. Pun saat beasiswa itu ada di depan mata, aku tak berminat.
Ada hal lain yang menarik minatku. Bekerja dan menghasilkan uang, setidaknya untukku sendiri.
Rasanya sudah lelah merepotkan Ibuku yang statusnya seorang janda. Jadi akan lebih menyenangkan bila aku bisa menghasilkan uang dan memenuhi kebutuhan pribadiku sendiri tanpa perlu meminta pada Ibuku lagi.
Hari-hari di mana aku mencari pekerjaan ke sana kemari, dan masih juga tak kunjung mendapatkan panggilan, saat itulah Ibuku mulai berubah. Entah mengapa, kemarahan beliau semakin menjadi-jadi. Seolah aku bebannya yang sama sekali tidak berguna.
Dan kata-kata menyakitkan itupun tak terelakan. Di mana Ibu lebih memuja-muja kakakku yang bekerja di salah satu Bank, sementara aku hanya seorang pengangguran. Kalimat pengusiran bukan sekali dua kali memenuhi gendang telingaku. Rasanya aku lelah, ingin menangis.
Tapi karenanya pula, keinginanku untuk mendapatkan pekerjaan secepat mungkin semakin kuat.
Hingga akhirnya aku mendapatkan pekerjaan di salah satu perusahaan sebagai karyawan biasa, dengan gaji yang biasa-biasa saja.Tak cukup sampai di situ, Ibu masih tak kunjung puas. Penghasilanku dibanding-bandingkan dengan penghasilan kakakku. Yang pada akhirnya semua itu membuatku muak dan memilih untuk mencari kontrakan daripada harus menetap serumah dengan Ibu dan kakakku.
Lalu di perusahaan itulah aku bertemu Kak Alfi. Dia salah satu klien yang datang ke perusahaan kami dan entah bagaimana, keberadaanku mampu menarik perhatiannya.
"Luna Anastasha?" sapanya ramah di pertemuan pertama kami sembari matanya melirik pada name tag yang kugunakan.
"Ada yang bisa saya bantu, Pak?"
"Bagaimana kalau aku memulainya dengan ajakan makan siang?"
Kak Alfi yang nampak tenang dan manis, membuatku tak mampu menolak. Ditambah teman di sebelahku menyikut rusukku sembari membisikan kalimat, "Terima saja. Kapan lagi kau bisa makan siang dengan pria gagah di hadapanmu ini."
Ew! Pernyataan macam apa pula itu.
Aku yang tak juga berkutik membuat Kak Alfi menarik bibirnya, tersenyum semakin lebar. "Restoran di seberang kantor ini saja. Bagaimana menurutmu?"
"Tenang saja, Pak. Luna pasti akan menemui anda di sana." dan itu adalah suara Kayla, temanku yang lainnya. Yang dengan semena-mena memberikan jawaban untukku.
Sementara aku masih kebingungan dan linglung, saat Kak Alfi sudah terlebih dahulu melambaikan tangannya dan keluar dari pintu utara kantor kami."Beruntung sekali kau ini." Tiara menatapku berbinar-binar.
"Apanya yang beruntung, sih? Lagian kau ini," aku melirik ke arah Kayla sembari memberenggut sebal, "seenaknya saja memberikan jawaban untuk lelaki itu. Bagaimana kalau dia bukan orang baik?"
"Ya ampun, Luna." Kayla mendesah dramatis, "kau kan hanya pergi makan siang. Di seberang kantor pula. Di mananya, sih, yang perlu kau khawatirkan?"
"Hu uh!" Tiara mengangguk setuju.
Dan hingga saat ini, aku tak pernah menyesali keterlibatan Kayla dan Tiara dalam hubunganku dengan Kak Alfi.
"Dia bagaimana di ranjang? Apakah sama gagah dengan penampilannya?"
Uh!
Demi apa, aku sama sekali tidak berminat membahas masalah ranjang dengan siapapun. Sekalipun itu Kayla dan Tiara. Tapi menyebalkannya, kedua sahabatku itu terlalu antusias ingin mengetahuinya. Yang pada akhirnya kujawab dengan jujur."Well, aku tidak tau bagaimana Pak Alfi dalam bayangan kalian. Tapi menurutku, dia tidak buruk."
"Apa maksud dari tidak buruk?" Tiara memekik, seolah tak percaya aku mengatakannya.
"Jangan bilang, mantanmu yang sialan itu jauh lebih baik?" Kayla menebak.
"Well, yeah. Kurang lebih seperti itu." sahutku sembari mengedikan kedua bahuku. Tampak tak acuh. Dan kedua sahabatku mendesah penuh drama.
"Sulit dipercaya." Tiara semakin mendramatisir keadaan. Ia menaruh satu telapak tangannya di dada kirinya sementara wajahnya nampak mengiba, "jangankan Pak Alfi, aku yang mendengarnya saja sudah sesak dada ini. Tega sekali Luna."
Sulit sekali menahan diri untuk tidak memutar bola mataku dengan sebal. Namun tak urung tingkah konyolnya membuatku tertawa.
"Paling tidak saat ini kau memiliki seseorang. Bukan biarawati lagi." Kayla terkekeh di sebelahku. Yang kemudian disetujui oleh Tiara.
"Apa kau menyukainya?"
"Tidak. Tidak. Tentu saja tidak."
Mengibaskan satu tangannya di udara, Tiara mencebikan bibirnya penuh cibiran. "Jangan bilang tidak. Bisa saja belum. Siapa yang akan tau kalau esok hari kau tergila-gila dengan permainannya di ranjang dan mengemis-ngemis kepadanya."
"Ew, itu terdengar seperti mimpi buruk." ejekku tak mau kalah.
Kayla tertawa, menengahi perdebatan kami. "Yang jelas, aku hanya ingin kau bahagia. Dan jangan lupa untuk mulai memikirkan alat kontrasepsi."
"Bagaimana dengan spiral?" Tiara mengusulkan.
"Aku kurang menyukainya."
"Pil?"
"Tidak. Itu akan sangat merepotkan."
"Suntik tiga bulan sekali?"
"Yep. Itu terdengar lebih baik." kataku mengangguk setuju.
***
Semuanya berjalan mulus. Tampak normal dan membahagiakan. Sekali waktu Kak Alfi akan menginap di kontrakanku, dan di waktu yang lain aku yang menginap di apartementnya.
Saat itu ia masih tinggal di apartementnya yang berada di pusat kota. Namun saat hubungan kami menginjak usia tiga bulan, ia memutuskan untuk pindah ke rumah yang telah dibelinya beberapa waktu sebelumnya, yang tidak terlalu jauh dari kantorku bekerja. Dan tanpa bertanya terlebih dahulu, ia sudah menyuruh orang untuk mengangkut barang-barangku dari kontrakan untuk dibawanya pindah ke rumahnya.
"Bagaimana kau bisa..." belum juga aku mengutarakan pertanyaanku saat melihat barang-baranku sudah tertata rapih di dalam kamarnya, ia sudah memelukku erat dan memberikan kecupan hangat di sepanjang garis rahangku.
"Apapun tentangmu, aku selalu mengusahakan yang terbaik."
"Kak, ini sungguh tidak perlu." aku masih sekuat hati menyanggah keinginannya, namun ia terlalu keras kepala. Berdebat dengannya tak akan membuahkan hasil, jadi pada akhirnya aku hanya tersenyum kaku saat melihat pakaianku yang telah tertata rapih di dalam lemari kamarnya.
"Kau butuh sesuatu?"
"Mandi?"
Kak Alfi tertawa jenaka, "tentu saja kau butuh mandi, Luna. Aku akan menunggumu di ruang santai."
Dan saat kemudian ia menghilang di balik pintu kamar, aku hanya menarap ngeri pada seisi kamar baruku. Yang juga sekaligus kamarnya.
Aku tak terbiasa hidup bersama dengan seorang lelaki tanpa ikatan pernikahan. Yang menikah berada pada urutan terakhir dalam hubunganku dengan Kak Alfi. Kepalaku pening seketika demi memikirkan hari demi hari yang aku lalui dengannya.
Dan yang terberat, Ibu tak boleh tau tentang ini. Entah seperti apa nanti reaksinya saat tau anak gadisnya -yang sudah tidak perawan- tingga satu atap dengan lelaki tanpa ikatan sah pernikahan.
Mengabaikan bayangan ibuku yang rasanya semakin membuatku limbung, pada akhirnya aku memilih masuk ke dalam kamar mandi dan membersihkan diriku secepat waktu yang mampu kugunakan.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
(Not) Perfect
Romance#Chicklit #Romance #Keluarga Berceritakan tentang gadis awal usia 20 tahun bernama Luna Anastasha. Tentang keluarga, cinta, dan patah hati yang dirasakannya. Seorang gadis yang tidak diinginkan, yang merasa bahwa hidupnya telah begitu buruk dan tak...