[3] Move on

102 76 16
                                    

Aku memandangi wajahku yang terlihat pucat pada cermin dihadapanku. Mataku juga memerah dan bengkak.

Bagaimana caranya aku masuk kelas dalam keadaan menyedihkan seperti ini?

Untungnya hari ini mereka tidak belajar seharian hanya bersih-bersih saja karena hari senin nanti mereka akan melaksanakan UKK.

Aku bersyukur karena sebentar lagi akan kenaikan kelas. Artinya aku akan pisah kelas dengan Cika.

Yup. Aku dan Cika sekelas. Sebangku malah. Aku mungkin tidak akan sanggup bertahan jika kami masih duduk sebangku setelah kejadian hari ini.

Semuanya tidak akan sama lagi. Aku sangat tahu itu.

Sedikit aku jelaskan tentang sahabatku. Bukan sahabat maksudku mantan sahabatku. Tolong tekankan pada kata 'mantan'

Cika Partica. Sahabatku sejak jaman SMP kelas 2. Dan saat ini kami sudah kelas 2 SMA dan sebentar lagi kenaikan kelas 3, kelas yang akan menjadi tahun terakhirku di SMA.

Sudah empat tahun aku mengenalnya dengan baik. Cika juga sudahku anggap saudaraku sendiri.

Tapi tidak kusangka dia bisa menyakitiku begitu dalam. Dia tau jika aku sangat mengagumi cowok hitam manis yang ternyata brengsek itu.

Kenapa aku katakan brengsek? Karena sosok pemuda hitam manis itu dulu pernah mendekatiku.

Aku kira dia mendekatiku karena memang keinginannya bersamaku. Tapi aku salah. Dia mendekatiku hanya sebagai pemulus rencana pendekatannya dengan Cika.

Ya Tuhan, kau tahu saat ini hatiku hancur berkeping-keping.

Dengan dia aku pernah merasa nyaman, sampai akhirnya aku sadar jika aku hanya dimanfaatkan. Perasaan tulusku hanya dijadikan sebuah permainan.

Aku membasuh wajahku sekali lagi. Membiarkan air dingin itu membasuh wajahku.

"Lo harus bangkit Al. Lo gak boleh lemah hanya karena dua manusia brengsek itu." ucapku dalam hati setelah itu aku keluar dari WC dan menuju ruang kelas yang berada di lantai 2.

• • • • • • • • • • • • • • •

Aku melangkah masuk ke dalam kelas tanpa menghiraukan beberapa temanku yang menanyakan keadaanku. Sesekali aku hanya menjawabnya dengan senyum tipis.

Sebagian teman sekelasku hanya memandangi dengan tatapan kasihan. Mereka pasti sudah tau apa yang terjadi padaku.

Sesampainya dibangkuku aku tidak langsung menyambar tas dan langsung pergi. Tidak. Jika aku melakukannya aku akan terlihat semakin lemah.

Yang kulakukan saat ini hanya duduk diam sambil membuka ponsel. Tidak memperdulikan Cika yang menatapku dengan tatapan bersalah.

Tatapan bersalah? Hoho kurasa tatapan pura-pura bersalah.

Oh c'mon, jika dia memang merasa bersalah lantas kemana saja dia dari tadi? Menjawab ungkapan itu dengan bahagia tanpa memperdulikan aku yang berada disampingnya dengan hati yang terluka parah.

Intinya saat ini, mulai dari sekarang aku hanya perlu bangkit dari keterpurukan. Mungkin memang tidak mudah. Tapi tidak ada yang tidak mungkin kan?

"Al gue minta maaf."

Aku menyimpan ponselku dalam saku seragam. Mataku menatap lurus kedepan. Tanpa menjawab atau menoleh padanya.

"Gue minta maaf sama lo."

"..."

"Gu-gue tau gue salah."

Ingin rasanya aku membalas ucapannya. Ingin rasanya aku berteriak keras di depan wajahnya.

Semudah itukah meminta maaf?

Aku menghadapkan tubuhku kearahnya. Menatap mata itu dengan penuh kebencian. Lebih tepatnya kecewa.

"Dengar sampai kapanpun gue gak bisa maafin lo. Lo itu penghianat. Dan sampai kapanpun gue gak bisa temenan sama lo lagi."

"Al gue bener-bener––"

"Gue harap ini jadi terakhir kalinya gue ngomong sama lo. Gue gak nyangka lo bisa setega ini sama gue."

Bel pulang sekolah telah berbunyi.
Dengan penuh kekecewaan aku bangkit sambil membawa tasku keluar dari dalam kelas. Untungnya hari ini pulang lebih awal dari biasanya. Jadi aku tidak harus menghabiskan waktu untuk berada didekatnya.

• • • • • • • • • • • • • • •

SM (13-6-17)

RENAISSANCETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang