Hanya Denganmu

18 4 6
                                    

Hjjjjjjghijjjkk Emma

Emma mendapati Daphne dan Ethan sedang menonton serial Walking Dead yang diputar ulang sewaktu membuka pintu rumah. Mereka duduk bersisian di sofa. Pundak mereka nyaris bersentuhan. Sewaktu-waktu makhluk-makhluk menjijikkan itu muncul di layar, Daphne dapat dengan mudah menyurukkan wajahnya ke balik pundak Ethan. Dan pemuda itu pasti akan senang hati menenangkannya. Dia tidak akan pernah membiarkan sang balerina pujaan berkutat dengan rasa takutnya sendirian.
Emma merasa perutnya mual akibat khayalannya sendiri. Dia tidak selalu bisa meredam cemburu pada sepupunya itu, meskipun Emma mulai mencurigai hubungannya dengan Shane Galsworthy. Mereka benar-benar kompak. Gadis-gadis Granny yang malang sebab terjebak di dalam hubungan persahabatan yang rancu.
“Em?” Suara Granny menyapanya. Kerutan di keningnya bertambah saat cucu perempuannya itu tidak membalas. Tatapannya lurus ke arah televisi. Perempuan itu menggeleng-gelengkan kepalanya. Emma tidak menyukai apapun yang berbau horor, tapi ketika kebetulan menontonnya tanpa sengaja, dia justru membuka matanya lebar-lebar. “Emma?” panggilnya dengan suara lebih keras.
Emma menoleh, kaget.
“Sejak kapan kau berdiri di situ?”
“Er… sejak…” Emma gelagapan. Dia semakin tidak bisa berkata-kata ketika Ethan dan Daphne menoleh ke arahnya bersamaan. “Baru saja,” jawabnya dengan suara yang lebih keras dari yang seharusnya. Lalu buru-buru menutup pintu untuk menutupi keterkejutannya.
Granny kembali menggeleng-gelengkan kepalanya menanggapi kelakuan cucunya itu kemudian meneruskan langkahnya menuju kamarnya dengan membawa segelas mug berisi susu hangat yang akan diminum sebelum tidur.
“Hai, Em. Aku menunggumu sejak tadi.”
Ethan berdiri dari duduknya. Menghampiri Emma yang masih berdiri terpaku di depan pintu. Daphne hanya melambaikan tangan sekilas lalu kembali menghadap ke televisi. Dia bergeming saat zombie-zombie itu muncul dengan tampilan yang membuat mual di perut Emma semakin hebat. Dia benci makhluk itu meskipun tahu benar itu hanya tipuan make up belaka.
Ternyata khayalan itu sungguh menyebalkan. Dia bisa menjebakmu ke dalam kekonyolan. Seperti yang baru saja dialami Emma. Dia bahkan lupa kalau sepupunya itu bukan penakut sepertinya.
“Kenapa lama sekali?”
“Ada banyak pekerjaan di toko. Amy tiba-tiba harus pulang karena sakit perut. Grace mendadak memesan dua lusin blueberry muffin untuk anaknya yang tinggal di New York, padahal sudah habis sejak pagi. Jadi aku harus membuatnya dan…” Emma menghela napas lalu tersenyum samar. “Sudahlah. Hari ini sangat melelahkan.”
“Butuh pelukan?” Ethan merentangkan tangannya lebar-lebar. Sepasang mata Emma melebar. Dia tahu, pelukan Ethan bukan hal yang asing atau sama sekali baru baginya. Tapi belakangan ini, Emma justru mendadak tersengat listrik atau diterpa gelombang yang dahsyat saat pemuda itu melakukan hal yang biasa saja. Mungkin memang sedikit berlebihan, tapi itulah yang terjadi. Sejak menangis di parkiran kampusnya, Emma merasa gejalanya semakin parah.
Emma menggeleng. Dia berjalan melewati Ethan yang menurunkan tangannya dengan wajah kecewa. Menuju tangga. Dia tidak mau lebih lama lagi berada di ruangan itu. Kombinasi Ethan dan Walking Dead cukup membuat jantungnya kewalahan. Dia harus segera menyingkir kalau tidak ingin terkena serangan mematikan.
“Tunggu dulu, Em,” kejar Ethan.
Dia berbalik.
“Mau dengar berita bagus?” Senyum pemuda itu melebar. Sepasang matanya menyimpan sesuatu yang tampaknya menyenangkan, jadi Emma menggangguk pelan.
“Dia tidak mau memberitahuku, Em. Seharusnya kau datang lebih cepat. Untungnya aku bukan jenis orang yang mudah penasaran,” sela Daphne pura-pura kesal lalu kembali menonton televisi. Dia mendesah sewaktu acara makhluk mengerikan itu ternyata sudah berakhir. Dia mengambil remote lalu mematikan televisi. “Aku bisa menunggu cerita utuhnya sampai waktu sarapan besok.”
Emma menggeleng pelan.
“Baiklah, sudah waktunya tidur. Sampai nanti, Ethan,” pamit Daphne lalu beranjak dari sana. Tersenyum saat melintasi keduanya yang terpaku. Daphne tidak pernah benar-benar menyadari betapa kedua sahabat itu saling bergantung satu sama lain hingga hari ini. Mungkin hanya butuh waktu atau sedikit keberanian untuk mengakui bahwa perasaan yang tumbuh di antara mereka lebih dari kasih sayang persahabatan.
Daphne tertawa dalam hati. Ceritanya pun tidak jauh berbeda.
“Em?”
“Berita apa?” sahut Emma tersadar dari keterpakuannya. Mencoba untuk menyuguhkan senyuman antusias. “Kamu mendapatkan pekerjaan?”
“Itu juga berita bagus. Tapi, bukan?”
“Jadi?”
Ethan menarik tangan Emma dan mengajaknya duduk di sofa. Dia tidak ingin mengambil resiko jika tiba-tiba gadis itu kehilangan keseimbangan setelah mendengar penuturannya. “Aku akan tampil solo di Open Mic Night di Nine Grapes.”
Emma mencerna kalimat Ethan. Open mic terdengar familiar. Mereka juga cukup sering mengunjungi Nine Grapes Music and wine bars di Peekskill. Open Mic Night salah satu acara mingguan yang membuat bar itu selalu penuh. Banyak pemain musik, penulis lagu atau penyanyi yang mencoba peruntungannya di sana. Tapi, tampil solo?
Ethan tidak pernah berminat.
Setidaknya sebelum malam ini.
“Aku ingin mencobanya setelah bertemu dengan Dennis Frabotta. Sekarang dia kuliah di New Paltz.”
“Di SUNY?” State University of New York. Universitas tempat ayahnya mengajar sebelum memutuskan pindah ke London.
“Iya. Kau ingat dia, kan?”
Emma mencoba mengingat-ingat.
“Kami pernah berdebat soal intro lagu yang hampir mirip.”
Senyum  Emma mengembang. Dia ingat cowok berkacamata besar itu. Sekilas dia sama sekali tidak terlihat seperti seorang penyanyi sekaligus pencipta lagu yang menciptakan beberapa lagu keren yang membuatnya cepat dikenal dan berkali-kali diundang tampil di Nine Grapes.
“Intro lagu kalian memang mirip tapi akuilah lagunya lebih enak didengar.”
Ethan cemberut. Dia agak kesal kalau mengingat insiden di hari itu. Dan untuk pertama kalinya, Emma berpihak pada orang asing.
“Maaf.”
Ethan mendesah.
“Aku senang Dennis bisa mengubah pendirianmu. Kamu pasti bisa sekeren dia atau lebih baik lagi. Aku benar-benar heran kalau kamu menganggap kemampuanmu itu biasa-biasa saja dan hanya cukup menjadi pemain pengiring atau pemain pengganti. Dan mungkin kamu lupa memiliki suara yang bagus. Tidak akan ada yang tahu kalau kamu cuma menyanyi di kamar mandi.”
“Tapi, kamu tahu.”
“Iya. Rasanya menyebalkan menjadi satu dari sedikit orang yang tahu.”
Ethan menatap gadis di hadapannya yang selalu memandangnya lebih tinggi daripada dia menilai dirinya sendiri. Gadis yang kerap kali hilang kesabaran menghadapi sifatnya yang keras kepala, tapi tak pernah bosan mempercayai mimpi-mimpinya. Dennis Frabotta memang mempengaruhi pendiriannya, tapi Emma adalah alasan utama. Dia ingin gadis itu merasa bangga memiliki setidaknya sahabat seperti dirinya, tapi tidak bisa kalau lebih sering menjadi penggangguran daripada mendapatkan pekerjaan.
“Kamu mungkin sudah lupa, tapi ayahku pernah menawarimu beasiswa ke SUNY,” kata Emma membuka percakapan setelah sekian detik berjeda. Nada suaranya menjadi sedih setiap kali membicarakan ayah yang belum juga memberinya kabar. “Kurasa aku bisa menanyakannya lagi. Kalau aku bisa menghubunginya. Entah kapan itu.”
Emma terkesiap sewaktu Ethan meraih tangannya dan menggenggamnya.
“Satu-satu, Em.” Pemuda itu menggeleng-gelengkan kepalanya sambil tersenyum. Tak ada tanda-tanda Ethan akan melepaskan tangannya. “Pertama Open Mic Night, lainnya menyusul. Aku mungkin tertarik untuk kembali bersekolah, tapi… kita lihat saja nanti.”
“Tapi…”
“Aku tidak mau berdebat.”
“Baiklah.”
“Kamu harus datang. Tolong, kosongkan agendamu di Kamis malam. Aku akan menjemputmu pukul delapan.”
“Aku lihat dulu.” Lalu buru-buru Emma menarik tangannya dari genggaman pemuda itu dan membuka tas di pangkuannya. Dia harus mencocokkan jadwal. Semoga…, batinnya terus merapal doa. Tak membutuhkan waktu lama untuk menelurusi setiap kolom harian di dalam agendanya. Saat telunjuknya sampai di kolom hari Kamis, Emma tersenyum.
“Apa aku harus membawa pompom supaya mereka tahu kalau kamu juga memiliki penggemar?”
Wajah Ethan sontak berubah kecut.
“Atau muffin-muffin lezat supaya…”
“Kau tahu ada aturan tidak boleh membawa makanan dan minuman dari luar, kan?” potong Ethan mulai kesal.
Emma tertawa.
“Ah…” Sepasang mata mengerjap senang. “Aku ajak saja balerina pujaanmu.”
“Em?”
Emma mengubah duduknya. Sepenuhnya menghadap ke arah pemuda itu. Ethan tahu benar kalau sesuatu di pikiran Emma bukan sesuatu yang diharapkannya di momen seperti ini. Saat Ethan hanya ingin melewati penampilan solo pertamanya bersama gadis itu. Nine Grapes akan dipenuhi oleh puluhan orang tapi yang penting baginya hanya satu.
“Kamu sudah mengabari Lilian? Dia pasti senang mendengar kabar ini. Ayolah, Ethan… ini acara penting dan aku ingin mengumpulkan teman-teman kita,” desak Emma. Pikirannya sibuk menyusun rencana dan membayangkan betapa serunya Nine Grapes dengan kehadiran mereka.
Ethan menggeleng pelan.
“Aku tidak akan memberitahu siapa pun, Em.” Emma menelan ludah. Rencananya terburai satu persatu. “Ini hal baru buatku dan aku mungkin akan merasa takut. Karena itu…” Ethan berhenti sejenak. Dia membutuhkan waktu untuk menyempurnakan kalimatnya. Bagian yang mungkin akan mengubah apa pun yang ada di antara mereka. “Aku hanya ingin kamu yang ada di sana.”
Panggung, penonton dan sorotan lampu bukan hal baru. Tapi Ethan tak pernah ingin menjadi sorotan. Setelah bermain sebaik mungkin, dia akan turun panggung dan menghilang. Membiarkan orang-orang yang menggunakan jasanya mendapat popularitas. Tapi Kamis malam di Nine Grapes panggung itu miliknya.
Karenanya Ethan membutuhkan sepasang mata yang selalu menatapnya penuh dukungan untuk melalui setiap detiknya yang berharga.
Hanya Emma.



Tunggu lanjutannya yah...

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 14, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Stolen HonorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang