6: Shattered

1.3K 311 77
                                    

Jujur aku capek lihat mereka yang terus bertengkar dan pura-pura bersama di depanku hanya untuk membuat ilusi bahwa keluarga ini baik-baik saja. Tapi aku tahu dengan jelas di luar sana, mereka sudah punya kebahagiaan masing-masing dan mereka ada di sini hanya mencoba membuatku tidak merasa sebagai barang sisa.

Tapi sebenarnya, aku lebih baik jadi barang sisa daripada melihat kepura-puraan mereka.

"Sampai kapan kalian berpura-pura?" aku menatap mereka tanpa emosi dan sebelum mereka bisa berbicara, aku sudah berkata, "aku tahu kalian sudah punya keluarga baru di luar sana. Kalian tidak perlu pura-pura lagi hanya dengan alasan kebaikan aku."

"Minhyun...."

"Kalau kalian masih peduli sama aku, bercerailah," aku menghela napas panjang. "Aku tidak butuh keluarga palsu. Aku hanya butuh kepastian aku anak broken home."

Because sometimes, broken doesn't mean always bad.

Aku keluar dari rumah dan membawa mobil entah ke mana. Jonghyun bukan opsi karena pasti dia sama Sera. Kalau ke tempat Minki adanya malah emosi duluan dan ke tempat Dongho dicoret dari opsi sejak awal.

Karena kalau ada Dongho pasti ada Feli dan aku benci harus menunjukkan kelemahanku sama cewek. Meski aku tahu kalau dia gak bakalan ember ke siapa pun, tetap saja aku tidak mau.

Pada akhirnya aku berhenti di sebuah tempat di pinggir pantai yang banyak jualan makanan. Tempat yang aku tahu biasanya sering dilewati anak-anak yang suka balapan liar dan tempat maksiat anak-anak di bawah umur.

Aku berapa kali disapa cabe dan ekspresiku sudah gak ramah duluan. Tapi bukannya pergi malah makin betah ngajakin aku ngobrol padahal aku tidak merespon.

"Lo ngapain di sini?" suara itu membuatku noleh dan cewek itu dengan entengnya lagi ngunyah jagung bakar. Cewek-cewek cabe yang dari tadi mencoba mengobrol denganku langsung pergi gitu saja.

"Lo yang ngapain di sini?"

"Don't flip the question," dia duduk di sampingku dan masih lanjut ngunyah aja. "I think someone like you don't like night life."

"And why I'm not shock meet you here?"

Gak ada yang ngomong lagi. Aku sibuk sama pikiranku, yang duduk disampingku sibuk sama jagung bakarnya. Tapi begitu mendengar suara mengaduh, aku menoleh dan dia tampak kesal karena ada yang sengaja menabraknya.

"Gak usah buat masalah ya Somin," aku gatau kenapa ngomong gitu dan mereka menatapku. "Gue udah menggadaikan kelulusan di kampus dan kayaknya gue gak siap gadaikan surat kelakuan baik gue di kantor polisi."

Narik cewek itu menjauh dari sana dan bawa ke mobil meski beberapa kali dia mencoba memberontak. Begitu aku lepasin, dia natap aku galak.

"Lo kenapa harus sok peduli sama gue?"

"Gue juga gak mau peduli."

"Then, don't."

"Kalau gitu lo gak usah muncul di hidup gue."

Cewek itu natap aku kesal dan aku hanya menghela napas. "Mau diantar pulang apa gak?"

"Dan kayaknya aku mendengar dengan jelas lo barusan nyuruh gue enyah dari kehidupan lo," jawaban sinis Somin membuat gue mendengus.

"Lo cewek. ini udah jam 11 malam dan semalas-malasnya gue berurusan sama cewek, lo masih masuk kategori itu."

"Gak usah, gue ke sini sama temen."

Tapi sepuluh menit kemudian pulangnya sama aku juga karena temannya bilang dia gak bisa jemput. Dia awalnya berkeras mau pulang naik gojek saja dan aku tungguin, hanya untuk mendapati kenyataan gak ada driver yang mau ambil orderannya. Kalau bisa dikatakan sial, HP-nya mati karena kehabisan daya.

"Rumah lo di mana?"

"Regency."

Aku sempat merasa kaget, tapi pikiranku bilang ya perumahan itu luas dan aku gak bakalan mungkin ketemu sama beliau. Tapi dunia kayaknya senang menyiksaku karena saat aku sampai di depan rumah Somin, aku melihat Ibuku yang baru datang.

"Weh, rumah gue di sana!" amuk cewek itu karena aku menjalankan mobilnya.

"Berisik!"

Cewek itu diam dan aku tahu bentak orang yang gak tahu apa yang terjadi itu salah. Aku markir mobil di dekat taman lalu menyandarkan kepalaku di kemudi.

"Weh, lo kenapa?!" aku bisa mendengar suara panik cewek itu tapi aku tidak mau ngomong apa-apa di titik ini.

Aku capek dengan keadaanku dan capek berpura-pura tegar.

"Lo cowok kenapa nangis sih?" aku bisa merasakan kepalaku dipukul pelan dengan benda yang tidak begitu keras.

"Jadi nangis itu juga memandang gender? Gak adil."

Aku bisa mendengar helaan napas dan kepalaku masih dipukul pelan dengan kecepatan konstan. "Ini tisu dan coba lain kali jangan naruhnya di belakang sana. Susah digapai tahu."

"Lebih susahan digapai punya keluarga bahagia tapi aslinya broken home atau itu?"

Somin diam dan sialnya aku menceritakan semuanya. Padahal dia cewek, aku gak kenal dia dengan dekat dan malah ceritain semuanya.

"Lo nangis berarti gak rela," komentarnya dan gue lagi narik tisu banyak-banyak karena hidung mampet karena nangis.

Halah, kebiasaan jelek memang ini.

"Jadi lo pikir semua anak-anak broken home rela keluarganya hancur?"

"Then why you ask your parent to separated?"

"Because I know they have other hapiness and I'm tired to blind for that bullshit."

Ini ngomongnya gak ada buat penyemangat atau apa, karena yang ada kita berdua saling lempar sarksm. Tapi di saat bersamaan, aku lega karena itu artinya aku gak perlu dengar kalimat bernada kasihan karena bukan itu yang aku butuhkan.

Aku cuma mau didengar.

"Yaudah, dijadiin pelajaran aja," Somin tiba-tiba aja bersuara saat aku balik nganterin dia pulang ke rumahnya. "Nanti kalau lo nikah sama seseorang, pastiin lo sayang sama dia dan gak melakukan kesalahan yang sama."

Aku gak ngomong apa-apa dan biarin dia turun tanpa salam atau dia ngucapin makasih. Karena aku ngasih dia tumpangan dan gantinya malah dia harus dengerin hal yang gak perlu dia tahu.

Impas, gak usah ngomong makasih.

Impas, gak usah ngomong makasih

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Jangan nangis Minhyun. Aku tahu kamu terpukul bisa masuk final line tapi member NU'EST lainnya gak masuk. Kamu bisa berjuang selama 18 bulan ke depan, ingat tujuan awalmu demi menyelamatkan NU'EST dari disbanded.

Just not complain I'm update every work like crazy 'cause I'm in emo mood. Now I think, I'm understand why my bestie only can write good story when heart breaking.

Writing is perfect therapy for heart breaking and in this case, just see Minhyun crying triggered me so bad.

Brute | Hwang Minhyun ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang